Etnis Tionghoa di Madura: Kajian Interaksi Sosial Etnis Tionghoa dengan Etnis Madura di Sumenep Madura

Sabtu, 28 Agustus 2021 07:30 WIB

 

Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten yang berada di ujung pulau Madura. Secara sosiologis, Kabupaten Sumenep memiliki beragam etnis yang hidup berdampingan, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Setidaknya ada beberapa etnis yang ada di Sumenep, yaitu, etnis Madura, Jawa, Arab dan Tionghoa.

Penelitian ini fokus kepada etnis Tionghoa karena berangkat dari kajian literatur bahwa di berbagai daerah seringkali terjadi konflik antar etnis yang disebabkan persaingan perdagangan, ego etnis maupun faktor sosial lainnya, sehingga dalam pandangan peneleti ini terjadinya konflik etnis karena bangunan interaksi sosial kurang baik.

Di Indonesia, puncak gerakan anti Tionghoa muncul pada peristiwa yang terjadi tanggal 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Peristiwa tersebut mempertontonkan sebuah aksi kekerasan terhadap etnis Tionghoa, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggranan hak asasi manusia kategori berat. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan fisik yang terjadi itu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari sikap anti Tionghoa tersebut (Pardede, 2002).

Temuan menarik di Sumenep, sejak etnis Tionghoa menetap di Sumenep sejak tahun 1270 M tidak terjadi konflik etnis dengan kata lain pondasi interaksi sosial antar etnis khususnya etnis Tionghoa dengan etnis Madura terjadi harmonisasi, meskipun disadari bahwa potensi konflik atau disharmoni akan muncul kapan saja. Etnis Tionghoa di Sumenep sebagian besar bermukim di wilayah kota Sumenep dan beberapa kecamatan, seperti Pasongsongan, Dungkek, Batang-Batang, Lenteng, dan Kalianget. Khusus di wilayah kecamatan Batang-Batang terdapat kampung yang disebut paccenan atau pecinan.

Peccenan ini merupakan sebuah nama perkampungan etnis Tionghoa di Kecamatan Batang-Batang. Dalam sejarahnya, mereka masuk ke Sumenep melalui pelabuhan Dungkek yang kemudian banyak bermukim di wilayah peccenan hingga sekarang. Keturunan Tionghoa di Dungkek semua beragama Islam dan pemukiman mereka rata-rata berarsitektur Tionghoa, sedangkan etnis Tionghoa di Kota mayoritas non muslim.

Aktivitas sehari-hari etnis Tionghoa di Sumenep berkisar pada dua sektor usaha, yaitu perdagangan dan kesehatan. Bidang usaha perdagangan tersebar di berbagai kecamatan dan kota Sumenep. Mayoritas mereka mempunyai usaha ekonomi berupa toko yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari toko kelontong, toko kue, hingga toko elektronik.

Sektor strategis lainnya yang menjadi usaha golongan etnis Tionghoa adalah sektor kesehatan yaitu dokter spesialis dan pemilik apotek. Di Sumenep, dokter spesialis sebagian besar digeluti oleh etnis Tionghoa. Seperti: dr. Widodo Oetomo (dokter senior), dr. Dian Marcia, Sp.A, dr. Dominicus Husada, Sp.A (spesialis anak), dr. Wongso Suhendro, Sp.OG (spesialis kandungan), dr. Susianto (penyakit dalam), dan dr. Shinta W. Oetomo. Bahkan, dr. Shinta W. Oetomo ini pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep pada tahun 2007. Salah satu apotek terbesar di Sumenep adalah Apotek Kimia Farma, milik dr. Widodo Oetomo.

Selain penguasaan ekonomi, kehadiran etnis Tionghoa di Sumenep menjadi pembeda dalam keyakinan beragama. Kebanyakan dari mereka menganut agama Konghucu, Budha, Katolik, dan Kristen. Bagi mereka yang beragama Konghucu dan Budha, mereka melaksanakan ritual sembahyang di Klenteng desa Pabian Kota Sumenep. Sementara mereka yang beragama Katolik melaksanakan ritual agamanya di Gereja desa Pabian Kota Sumenep, dan mereka yang beragama Kristen Protestan melaksanakan ritual keagamannya di di Gereja desa Kolor Kota Sumenep. Sedangkan etnis Tionghoa yang beragama Islam melaksanakan ibadah di masjid terdekat dari komunitasnya.

Dalam hal praktik keagamaan, etnis Tionghoa yang beragama muslim, seperti yang tinggal di daerah Pasongsongan, cenderung mengikuti tradisi Muhammadiyah ketimbang Nahdlatul Ulama. Berbeda dengan mereka yang tinggal di Pasongsongan, etnis Tionghoa Muslim yang tinggal di daerah Dungkek cenderung mengikuti tradisi Nahdlatul Ulama. Ini artinya, dalam praktik keagamaan, etnis Tionghoa yang beragama Islam tidak memiliki tradisi beragama yang homogen, melainkan heterogen.
Konsekuensi adanya heterogenitas di antaranya adalah bertemunya berbagai agama, kebudayaan, suku, dan ras di daerah yang menjadi sasaran migrasi (Rantau), dan pertemuan ini akan menyebabkan terjadinya interaksi sosial (social interaction).

Interaksi sosial sangat dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mencapai kehidupan sosial yang sempurna sesuai dengan watak manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin dekat dengan manusia lainnya. Tegasnya, tidak ada masyarakat kalau tidak adanya interaksi sosial. Keberadaan interaksi sosial antar etnis, agama dan suku dapat memunculkan beberapa bentuk interaksi sosial seperti  kerja sama, persaingan, konflik dan akomodatif. Dalam pandangan Sarwono dan Meinarno yang dimaksud kerja sama dalam interaksi sosial adalah suatu kegiatan yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan dan ada unsur saling membantu satu sama lain.

Adapun yang dimaksud persaingan yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk meniru atau melebihi apa yang dilakukan atau dimiliki oleh orang lain. Selanjutnya yang dimaksud dengan konflik adalah suatu ketegangan yang terjadi antara dua orang atau lebih karena ada perbedaan cara pemecahan suatu masalah. Terakhir yang dimaksud dengan akomodasi, suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk mengurangi ketegangan, perbedaan, dan meredakan pertentangan dengan melakukan kompromi sehingga terjadi suatu kesepakatan dengan pihak lain yang bersangkutan. Dalam konteks interaksi sosial antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Indonesia memunculkan beberapa bentuk interaksi sosial. Pertama bentuk interaksi sosial kerja sama seperti yang terjadi di Bangka Belitung dan Pakraman Bali. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Satya (2016) dan Raga & Mudana (2014) dalam penelitiannya. Adapun bentuk interaksi sosial yang sifatnya persaingan seperti yang terjadi di Banjarnegara.

Walaupun Etnis Tionghoa dan etnis Jawa di Banjarnegara tidak pernah terjadi konfik, namun dalam persaingan dagang sangat ketat sekali. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Riyanti (2013) bahwa etnis Jawa lebih cenderung bekerja sama dengan sesama etnis dalam hal perdagangan daripada dengan etnis Tionghoa. Begitu pun juga sebaliknya. Persaingan dagang antara etnis Jawa dan Tionghoa sangat ketat sekali di Banjarnegara.
Kesimpulan temuan dari penelitian ini bahwa proses terbentuknya interaksi sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis Madura di Sumenep melalui tiga proses.

Pertama, melalui perdagangan yang rata-rata etnis Tionghoa pemilik modal/toko kalangan etnis Tionghoa, sedangkan pekerja dari etnis Madura. Perdagangan juga dibangun dengan membangun mitra bisnis antar kedua etnis yang mempunyai kesamaan kebutuhan pasar. Interaksi sosial bidang jasa terjadi ketika etnis Tionghoa menjadi dokter sedangkan etnis Madura sebagai pasiennya.Kedua, melalui proses akulturasi budaya dan mixed bahasa, yaitu pencampuran dua budaya, seperti tradisi pelet kandung, shalawatan dan canmacanan. Etnis Tionghoa muslim juga melakukan tradisi/budaya Madura, etnis Tionghoa non muslim juga melakukan acara shalawatan dan orang Madura dalam beberapa acara seringkali menampilkan canmacanan  seperti barongsai.

Selanjutnya yang ketiga, terciptanya interaksi sosial antara etnis Tionghoa dan Madura di Sumenep juga melalui pernikahan campur. Pernikahan campur kedua etnis ini sangat berpengaruh dalam membangun harmonisasi.Dari tiga proses terbentuknya interaksi sosial ini, terbentuk suatu interaksi sosial yang asosiatif yang menekankan pada kerjasama, penyesuaian dan perpaduan.Terdapat beberapa simbol yang dijadikan bukti bahwa terbentuknya interaksi sosial yang asosiatif antara etnis Tionghoa dengan Madura Sumenep, seperti simbol bangunan Masjid Jami’ Sumenep, Labeng Mesem dan Keraton Sumenep yang arsitekturnya terakulturasi dari beberapa budaya.Selanjutnya juga terlihat pada eksistensi daerah Pacenan di beberapa kecamatan di Sumenep. Selain itu juga Desa Pabian dengan adanya bangunan Masjid, Klenteng dan Gereja yang lokasinya sangat berdekatan sebagai simbol kerukunan antar etnis dan agama.

Terbentuknya interaksi sosial yang asosiatif karena dibangun dengan modal sosial yang kuat baik dari intern etnis Tionghoa dan etnis Madura itu sendiri seperti adanya filosofi hidup yang dijadikan pegangan saling bertautan. Yakni sama-sama menghargai sebagai manusia ciptaan Tuhan, sikap terbuka antara satu sama lainnya, dan sikap jujur yang dibangun sejak kecil dan ini menjadi modal dasar membangun interaksi sosial yang asosiatif, maupun modal sosial yang sifatnya ekstern seperti dukungan dari pemerintah, peran tokoh agama, dan FKUB sebagai lembaga kontrol.(*)

Sumber: https://www.timesindonesia.co.id

Shared: