Fenomena Sub Budaya Bhurmaen di Madura

Sabtu, 28 Agustus 2021 08:14 WIB

 

Menjadi pemerhati masalah sosial dan pembangunan menjadikan Fajar Surahman, mahasiswa Doktoral Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), sangat tertarik dengan beragam fenomena sosial. Ia pun mengangkat tema pada studi penelitian disertasinya tentang Fenomena Sub Budaya Bhurmaen. Menurutnya, fenomena ini merupakan bagian dari masalah sosial atas kondisi kemiskinan yang dialami “komunitas bhurmaen”  di kota kelahirannya.  Bahkan di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fajar pun diuji disertasinya pada 23 Oktober 2020 secara daring. Fajar menjelaskan, dalam pandangan agama, kemiskinan itu adalah dekat dengan kekufuran. Sebagai bentuk dari kekufuran tersebut tidak sedikit ditemui orang-orang rela mengorbankan harga dirinya.Misalnya mereka seringkali mendatangi perempatan jalan, emperan pertokoan, perkantoran, tempat-tempat wisata. Bahkan mendatangi rumah-rumah penduduk sekitar hanya untuk menjalankan aktivitas peminta-minta sebagai bhurmaen.

Bhurmaen merupakan entitas sosial dalam termenologi masyarakat Madura yang disematkan pada orang atau komunitas masyarakat tertentu. Masyarakat yang dalam kesehariannya terbiasa suka meminta-minta. Baik itu berupa hasil panen atau uang. Modus operandinya mendatangi rumah-rumah penduduk. Berdasarkan hasil studi riset Fajar terungkap fakta bahwa aktivitas bhurmaen bukan lagi semata-mata hanya masalah ekonomi. Namun sudah bergeser terwujud semacam sub budaya (sub-culture). Manusia sebagai pencipta kebudayaan sesungguhnya memiliki kemampuan daya akal, intelegensia dan intuisi, perasaan dan emosi, kemauan, fantasi serta perilaku. Sementara dialektika fundamental (Berger dan Luckman, 2013) berproses pada tahapan eksternalisasi. Yaitu proses pencurahan diri manusia secara terus menerus kedalam dunia melalui aktifitas fisik dan mental.

Tahapan obyektivasi yaitu tahap aktifitas manusia menghasilkan realita obyektif yang berada diluar diri manusia. Tahapan internalisasi yaitu tahap di mana realitas obyektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali. Oleh karena itu, menguatnya pola pikir para bhurmaen yang telah mengakar kuat secara turun-temurun mental peminta-mintanya. Sehingga walaupun sempat digulirkannya program pemberdayaan oleh pemerintah dalam usaha mengatasi prilaku komunitas bhurmaen berupa bantuan modal usaha dan pemeliharaan hewan-hewan ternak. Namun tidak juga mencapai tujuan yang efektif karena beberapa bulan setelah penyerahan, ternyata hewan ternak itu bukannya dipelihara agar dikembangbiakkan melainkan dijual.

Sedangkan penyerahan bantuan modal usaha tidak digunakan sesuai peruntukannya. Mereka beranggapan penghasilan sebagai bhurmaen lebih nyaman ketimbang pelihara hewan peliharaan.
Pola Perilaku Kontradiktif Fenomena bhurmaen yang terjadi di Madura menunjukkan pola perilaku yang kontradiktif dengan nilai-nilai sosial yang sesungguhnya beririsan dengan nilai agama. Nilai-nilai tersebut sebagai bentuk kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Madura.

Adapun nilai-nilai sosial sebagaimana dimaksudkan yakni: Pertama: Filosofi yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Madura terkait etos kerja, “abental ombe’, asapo’ angin, apajung iman” (berbantal ombak, berselimut angin, berpayungkan iman). Maknanya, bahwa kegigihan seseorang dalam bekerja yang tidak pernah menyerah karena baginya bekerja bagian dari keimanan. Kedua: filosofi terkait prestise dan eksistensi diri, “etembheng pote matah ango’an pote tolang” (daripada putih mata lebih baik putih tulang). Ini  mengandung makna ungkapan tentang prinsip pertaruhan menjaga harga diri agar tidak jatuh dari perilaku yang menyebabkan terhina dalam kehidupan sosialnya. Termasuk juga dalam membela kerabat dekatnya dan agama yang dianutnya. Ketiga: Filosofi terkait kedisplinan dan konsistensi dalam etika sosial, “ngico’ tengka lanjheng tobet” (menciderai prilaku akan lama bertobatnya) yang mengandung makna sikap kewaspadaan seseorang dalam bertindak yang menyangkut etika sosial, karena sekali tercederai atas tindakannya maka penyelesaiannya sangat rumit. Keempat: Nilai agama yang mengisyaratkan bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, yang mengandung makna bahwa memberi adalah lebih baik daripada meminta. Memahami begitu kuatnya falsafah dan spirit hidup yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Madura tersebut.

Maka menjadi dilematis ketika dikontekstualisasikan dengan keberadaan prilaku “masyarakat bhurmaen” di wilayah Madura.

Realitas tentang bhurmaen yang terjadi pada komunitas bhurmaen di Madura dalam perjalanannya terjadi pandangan yang berbeda-beda dari masing-masing individu. Pandangan yang berbeda tentang keberadaan bhurmaen itu sendiri sejatinya lahir dari proses konstruksi para individu dalam konteks sosialnya. Konstruksi sosial (social construction) menurut Berger dan Luckmann (2013), merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Teori ini lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor kreatif dari realitas sosialnya. Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Individu menjadi seorang penentu dalam dunia sosial yang telah dikonstruksi masyarakat berdasarkan kehendaknya.

Beberapa Temuan PentingHasil penelitian Fajar Surahman, dalam hal ini terdiri dari beberapa temuan sajian penting. Pertama, Peran dan Identitas Bhurmaen. Dalam konteks ini mengandung 2 (dua) konstruksi makna. Yakni, Perilaku Menyimpang dan Perilaku Pragmatis. Kedua, Proses Konstruksi Sub Budaya Bhurmaen. Dalam konteks ini mengandung 3 (tiga) konstruksi makna. Yakni, penyesuaian dan pencurahan diri (proses eksternalisasi), Pembiasaan dan Legitimasi (proses objektifasi), Pengulangan Tindakan (proses internalisasi). Ketiga, faktor-faktor Pembentukan Sub Budaya Bhurmaen. Dalam konteks ini mengandung 3 (tiga) konstruksi makna. Yakni, memudarnya karakteristik identitas kedaerahan, ketidakmandirian ekonomi, mentalitas miskin.

“Tentang temuan penelitian di lapangan, maka saya menarik benang merah kepada 3 (tiga) poin penting dalam realitas sosialnya. Pertama, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura. Kedua, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang dijadikan pegangan oleh para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura. Ketiga, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan pengakuan (legitimasi), kepercayaan, dan keyakinan para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura," ungkap Fajar Surahman. (*)

Sumber: www.timesindonesia.co.id

Shared: