Pada era yang penuh tantangan disrupsi ini, pendidikan Islam berada dalam keterpurukan, tertinggal jauh dari sistem pendidikan Barat. Supremacy knowledge yang dikuasai barat di semua lini kehidupan membuat negara-negara muslim masih bergantung pada dunia Barat. Pada tataran implementasi, praktik pendidikan Islam juga mengalami banyak problematika, termasuk implementasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di jenjang sekolah.
Praktik pembelajaran PAI di sekolah menuai banyak kritik dan tantangan, di antaranya PAI belum terintegrasi dengan keilmuan lainnya, materi tentang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama semata. PAI diajarkan sebagai dogma serta kurang mengembangkan rasionalitas dan kecintaan pada kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, orientasi mempelajari Al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman makna; serta, PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Pada tataran implementasi di sekolah, pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pun masih menyisakan beragam problematika. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SMPN 2 Kepung Kediri, dari pandangan diatas Septiana Purwaningrum, Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat problem tersebut menjadi sebuah penelitian disertasi dengan tajuk “Inovasi Bahan Ajar Pengayaan Pendidikan Agama Islam Berbasis Multidisipliner Di Sekolah”.
Septiana menemukan sejumlah problematika dalam pembelajaran pengayaan PAI. Penulis mengungkapkan problematika pembelajaran pengayaan PAI di SMPN 2 Kepung Kediri tergolong kompleks. Ini mencakup aspek perangkat pembelajaran (RPP dan buku teks PAI) yang cenderung masih tekstual, normatif, dan dikotomik, kondisi subyek penelitian (guru PAI yang tidak memberikan pengayaan dan siswa yang tidak mendapat layanan pengayaan), serta belum adanya buku khusus pengayaan materi PAI dan Budi Pekerti SMP.
Melalui penelitian ini penulis berusaha mengatasi problematika pembelajaran PAI di SMP dengan memberikan kontribusi berupa pengembangan bahan ajar pengayaan mata pelajaran PAI dan Budi Pekerti. Bahan ajar pengayaan dikembangkan dalam bentuk modul cetak yang memiliki distingsi berbasis multidisipliner (materi dikembangkan dari berbagai sudut pandang bidang ilmu lainnya) dan mengacu pada Kurikulum 2013 yang merekomendasikan pendekatan saintifik, pengembangan karakter, dan mengedepankan prinsip keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills).
Dalam disertasinya, penulis menjelaskan bahwa apa yang ia teliti dapat dikategorikan sebagai sebuah inovasi bahan ajar pengayaan PAI karena dianggap sebagai barang baru oleh subyek penelitian di lokasi penelitian. “Sebagai sebuah inovasi produk, saya telah melakukan serangkaian tahap difusi inovasi sebagaimana model penelitian Rogers pada tahun 1983, mulai dari tahap pengetahuan, persuasi, keputusan, pelaksanaan, sampai tahap konfirmasi.
Pengguna sepakat menerima inovasi produk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor keuntungan modul pengayaan PAI sangat dibutuhkan oleh guru PAI, kompatibel (modul yang dikembangkan memenuhi tujuan pengayaan dan tersusun sesuai kurikulum yang berlaku (Kurikulum 2013), trialabilitas, yakni inovasi mudah diterima karena modul ini mudah digunakan dan tidak membutuhkan media penunjang lain untuk mempelajarinya; dan melibatkan calon pengguna (guru PAI dan siswa) dalam serangkaian proses penyusunan dan uji produk, sehingga mereka benar-benar mengetahui tentang spesifikasi produk yang dikembangkan”.
Kontribusi pengembangan teori PAI
Penulis memaparkan bahwa kontribusi yang diberikan riset ini ada dua yakni inovasi produk dan pengembangan teori PAI Multidisipliner. Pertama, inovasi produk dari hasil penelitian pengembangan ini berupa “Modul Pengayaan Mata Pelajaran PAI dan Budi Pekerti Berbasis Multidisipliner untuk Siswa SMP Kelas VIII”.
Kedua, riset ini berhasil menggabungkan dua teori tentang integrasi keilmuan, yakni “Teori Dialog-Integrasi Barbour (1990)” dan “Teori Multilevel Readings Guessoum (2011)” sebagai model untuk menyusun materi dalam bahan ajar pengayaan PAI SMP berbasis multidisipliner. Temuan secara teoritis diskursus ini penulis visualisasikan dalam bentuk gambar sebagai berikut:
Roda Warna PAI Multidisipliner
Roda warna PAI Multidisipliner di atas melambangkan materi PAI di sekolah (SMP) yang tersusun secara multidisipliner. Tiga warna dasar (Merah, kuning, dan biru) melambangkan pembagian disiplin ilmu. Garis pemisah masing-masing disiplin ilmu tersebut menyatu, menunjukkan integrasi, bukan pemisahan yang berjarak dan menimbulkan dikotomi. Di bagian tengah ada warna dasar (putih) yang bertuliskan “Tauhid”.
Itu menunjukkan bahwa dasar atau asal semua ilmu adalah dari Allah serta mempelajari Islam dan sains pun juga dalam rangka mengenal dan menuju Allah. Lapisan warna pada masing-masing disiplin ilmu itu menunjukkan pembacaan berlapis (multilevel readings). Pembacaan berlapis sesuai tingkat pemahaman, tingkat pendidikan, dan perkembangan sains itu sendiri. Adapun garis panah melingkar di luar melambangkan dialog (keterhubungan/interkoneksi) masing-masing disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.
Garis berpanah yang menunjukkan interkoneksi sengaja dibuat berlawanan dengan arah jarum jam untuk menjaga keseimbangan agar searah dengan pergerakan benda-benda di jagat raya ini, seperti: rotasi bumi dan galaksi; putaran arah tawaf; putaran peredaran darah manusia dalam tubuh; putaran sitoplasma yang mengelilingi nukleus; putaran sperma mencari indung telur; sampai pada terbentuknya molekul-molekul protein juga dari kiri ke kanan yang berlawanan dengan arah jarum jam. Contoh benda-benda di dalam tubuh manusia dan yang ada di alam yang bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, sekaligus sebagai contoh materi multidisipliner.
Implikasi Teori
Adapun implikasi teoritik yang didapatkan dari penelitian yang Septiana rumuskan terkait masalah integrasi ilmu (multidisipliner) yang pertama menguatkan teori “Dialog-Integrasi” dari Barbour di tahun 1990. Materi PAI yang sudah dijabarkan di buku siswa Kemendikbud (2017) diperluas dan diperdalam penjabarannya untuk materi pengayaan dengan cara diintegrasikan atau dikoneksikan dengan perspektif berbagai bidang ilmu lainnya, seperti ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, sosial, psikologi, buadaya, matematika, pendidikan, manajemen, sejarah, dan lainnya
Selain itu menguatkan teori Multilevel Readings dari Guessoum pada tahun 2011 dimana dalam mengintegrasikan sains dengan agama perlu merekonstruksi pola pemahaman menggunakan tafsir berlapis untuk mendapatkan pemahaman yang terbuka dan komprehensif tentang keberagaman temuan sains yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ini juga mengkritik teori “Konflik dan Independensi” Barbour di tahun 1990 yang menyebutkan bahwa agama dan sains tidak dapat dipersatukan, sedangkan Independensi Barbour menyebutkan bahwa agama dan sains berada pada wilayah yang tidak sama.
Tentu tidak demikian, karena ilmu menurut Islam sejatinya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt. Baik ilmu yang bersumber dari ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an) maupun ilmu yang bersumber dari ayat-ayat kauniyah (alam semesta), keduanya dapat dipertemukan karena keduanya merupakan ayat-ayat Allah Swt. (D)
Sumber: www.timesindonesia.co.id