Seiring bertambahnya penyandang disabilitas, pemerintah terus berupaya untuk memenuhi hak penyndang disabilitas. Secara konstitusional hak para penyandng cacat diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) dan pasal 34 Ayat (3) serta Undng-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat. Disebutkan dengan jelas dalam UU tersebut bahwa kaum penyandang cacat atau difabel memiliki hak yang sama dengan warga negara yang lain. Diantaranya adalah tersedianya pelayanan pendidikan yang layak oleh pemerintah bagi seluruh warga negara.
Pemerintah telah memfasilitasi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di lembaga pendidikan inklusif. Lembaga Pendidikan inklusif merupakan lembaga pendidikan yang menggabungkan pendidikan reguler dengan pendidikan luar biasa dalam sistem yang dipersatukan. Dalam proses pembelajarannya siswa yang berkebutuhan khusus mendapat bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus (GPK).
GPK memiliki peran penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif. Sikap ramah, sabar, lembut, penuh perhatian, kasih sayang serta memahmi ABK dengan baik sangat diperlukan. Interaksi sosial yang terjalin dengan baik dan memberi makna terhadap individu akan berdampak posistif terhadap individu dalam mencapai suatu tujuan. Tokoh teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead menjelaskan bahwa manusia termotivasi untuk bertindak berdasarkan pemaknaan yang mereka berikan kepada orang lain, benda, dan kejadian.
Makna dan simbol penting untuk dipelajari selama interaksi berlangsung. Untuk mengetahui makna dari simbol membutuhkan kemampuan berpikir. Semakin banyak simbol yang direpresentasikan dan mampu dipahami itu akan semakin mendorong kemampuan berpikir manusia. Kemampuan itu akan mampu mewakili hal-hal termasuk objek sosial yang ingin direpresentasikan dengan tepat.
Berdasarkan latar belakang tersebut Uminayati mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat fenomena pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan judul Interaksi Sosial Guru Pembimbing Khusus (GPK) Dengan Anak Berkebuhan Khusus (ABK) dengan mengambil kasus Studi di Lembaga Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri Tongas Wetan 1 Kabupaten Probolinggo. Saat ditanya apa tujuannya dalam mengambil penelitian ini Uminayati mengungkapkan bahwa hal yang ingin dikaji adalah tentang bagaimana bentuk serta makna dari interaksi social para guru pembimbing khusus dengan para anak berkebutuhan khusus yang ada pada lembaga pendidikan inklusif SDN Tongas Wetan I Kabupaten Probolinggo serta mendeskripsikannya. “Sedangkan untuk metode saya menggunakan paradigma penelitian dengan definisi social dengan mewawancarai, mengobservasi serta mengambil dokumentasi dari subjek yaitu mereka para GPK yang sedang mendampingi siswa ABK yang ada di SDN Tongas Wetan I Probolinggo” Ujar Uminayati.
Bentuk Interaksi Sosial Guru dengan ABK
Bentuk interaksi sosial para guru pendamping khusus dengan ABK di lembaga pendidikan inklusif SDN Tongas Wetan 1 dilakukan dalam bentuk kerja sama. Dalam kerja sama tersebut GPK memberikan dukungan secara psikologis dalam bentuk support, berfikir positif dan lapang dada dengan takdir Tuhan Yang Maha Esa. GPK selalu memberi semangat agar ABK tidak menyerah dengan keadaan. GPK juga memberikan dukungan sosial yang diberikan dalam tiga demensi yaitu (a) Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan. (b) Cognitive support, meliputi informasi, pengarahan, dan nasihat. (c) Matterials support, meliputi bantuan/kemudahan akses dalam memberikan pelayanan terhadap ABK sebagaimana salah satu subyek penelitiannya mengatakan “Saya berupaya memberikan pemahaman terhadap ABK untuk selalu berfikir positif tidak menyerah dengan keadaan dan selalu bersemangat dalam belajar Bu, dengan bimbingan langsung dan akhirnya membuahkan hasil walau prosesnya panjang, bisa membedakan laki-laki dan perempuan dan bisa bertahan belajar 5-10 menit itu sesuatu yang luar biasa” ujar salah satu GPK yang menjadi subyek penelitiannya.
Uminayati juga menjelakan dimana beberapa subyeknya juga menggunakan media lain seperti melalui permainan ABK lebih bersemangat dan mudah menerima perintah. Dengan permainan anak-anak terlihat ceria dan dapat bertahan lama dalam menerima materi. Contoh permainan yang di lakukan diantaranya, kelereng, halma, congklak, egrang, bakiak, mencocokkan kepingan puzzle, bermain boneka, bermain menangkap busa sabun, permainan jual beli, bermain masak-masakan, lompat tali dan permainan tradisional lainnya.
Interaksi GPK dengan ABK berlangsung melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Non verbal dilakukan melalui gaya tubuh, bahasa tubuh, serta gerakan-gerak.an yang mendukung pesan agar semakin mudah dimengerti oleh anak. Guru juga menyisipkan cerita-cer.ita yang bisa memotivasi siswa untuk terus belajar. Guru berusaha membangkitkan kepercayaan diri siswa dengan pujian dan penghargaan ketika siswa dianggap mampu melakukan instruksi yang diberikan guru. Pujian serta motivasi agar ABK lebih percaya diripun dilakukan. Efeknya, siswa ABK merasa nyaman, dan mampumenerima pesan yang disampaikan guru dan lebih jauh lagi bisa melaksanakan apa yang diperintahkan.
Uminayati juga menjelaskan bentuk interaksi lainnya yang dilakukan dengan ABK yaitu menggunakan bahasa isyarat untuk memberikan pemahaman terhadap siswa ABK Ketika Bu Anita ingin berinteraksi dengan ABK saat akan menyampaikan perintah tidak hanya menggunakan simbol berupa bahasa lisan tetapi juga dengan gestur tubuh dan bahasa isyarat. Hal itu bertujuan untuk semakin mempertegas apa yang diperintahkan GPK kepada ABK. Sebagai contoh ingin memerintah ABK cuci tangan maka Bu Anita akan mengucapkan “silakan cuci tangan dulu” sambil memberi isyarat menggerak-gerakkan tangannya seperti orang yang sedang mencuci tangan diikuti senyum dan tatapan mata yang tulus. Dengan interaksi seperti itu perintahnya akan mudah dipahami dan diikuti oleh ABK.
Makna interaksi sosial GPK dengan ABK di lembaga pendidikan inklusif SDN Tongas Wetan 1 Kabupaten Probolinggo terdiri dari makna simbol verbal dan makna simbol non-verbal. Makna simbol verbal adalah makna simbol yang diungkap secara lisan oleh ABK yang bermakna untuk meminta pertolongan, menunjukkan kemarahan dan menunjukkan kesenangan/kegembiraan. Makna simbol non-verbal terdiri dari 1. Bahasa tubuh yang bermakna sebagai a. Bahasa kemarahan, b Bahasa kegembiraan, c. Bahasa kesedihan 2. Bahasa isyarat yang terdiri dari a. Makna bahasa kepala b. Makna bahasa mata, dan c. Makna bahasa gerakan tangan.
Kemampuan GPK memahami makna simbol-simbol yang dikomunikasikan ABK akan menyediakan respon berupa tindakan GPK sesuai makna yang ada pada simbol tersebut. GPK yang mampu merespon simbol yang dikomunikasikan ABK melahirkan interaksi positif yang berdampak pada meningkatnya motivasi belajar ABK. Sebaliknya GPK yang tidak mampu memahami simbol yang dikomunikasikan ABK akan melahirkan interaksi negatif dan berdampak pada menurunnya semangat belajar ABK.
Proposisi Penelitian
Interaksi sosial yang terjalin antara GPK dengan ABK terus dipupuk dan dikembagkan dengan baik dalam lembaga pendidikan inklusif maka akan tumbuh konsep diri yang positif sehingga berdampak pada semangat dan rasa percaya diri siswa untuk berkembang secara maksimal. Dilain sisi kemampuan sikap sosial dan kepribadian GPK ditingkatkan sebagai upaya meningkatkan pelayanan GPK dalam memberikan bimbingan terhadap ABK maka akan berdampak pada rasa senang dan semangat ABK dalam kegiatan belajar. Serta jika makna positif dalam berinteraksi diciptakan akan meningkatkan semangat dan gairah individu dalam mencapai satu tujuan.
Sumber: www.timesindonesia.co.id