Agama pada satu sisi membawa misi sekaligus mengajarkan perdamaian secara universal, akan tetapi di sisi lain ia juga dapat menjadi bahan bakar konflik. Bahkan Charles Kimball dalam karyanya menyebutkan bahwa ada 5 hal yang menjadikan agama dapat menjadi bahan bakar konflik dan bencana, yaitu ketika suatu agama secara tunggal dan absolut mengklaim kebenaran (absolutely truth claim), adanya ketaatan buta kepada pemimpin agama (blind obeidience), agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke zaman sekarang. Agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara dan adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.
Dalam konteks inilah, pendidikan agama menempati posisi vital untuk mempromosikan agama sebagai agen kedamaian, atau justru sebaliknya sebagai bahan bakar konflik. Huns Kung dalam karyanya menyatakan bahwa perdamaian dunia ditentukan oleh perdamaian agama. Jika dunia ingin damai, maka agama harus menjadi generator untuk mewujudkan perdamaian tersebut.
Selama ini, eksemplar tentang konflik yang mengatasnamakan agama masih terjadi dimana-mana. Bahkan konflik tersebut juga terjadi di lembaga pendidikan. Beberapa kasus intoleransi berlatar belakang agama masih ditemukan, diantaranya adalah adanya kewajiban penggunaan jilbab dan mengikuti kegiatan kegamaan bagi siswi non-Muslim di SMPN 3 Genteng Banyuwangi di tahun 2017, larangan penggunaan jilbab di SMPN 1 Singaraja Bali pada tahun 2014. Kemudian ada edaran yang mewajibkan siswa mengenakan busana Muslim di SDN 3 Karang Tengah Yogyakarta di tahun 2019.
Kasus lainnya, ada instruksi kepala sekolah SMAN 8 Yogyakarta yang mewajibkan kepada semua siswa termasuk siswa Kristen dan Katolik untuk mengikuti kemah di hari Paskah (adanya protes dari guru Kristen dan Katolik tapi tidak ada tanggapan di tahun 2021) serta masih banyak contoh lainnya. Itu artinya, pendidikan agama dianggap gagal dalam mewujudkan perdamaian di Indonesia.
Melihat akan banyaknya konflik tersebut, Umar Al Faruq yang merupakan salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat tema tersebut menjadi sebuah penelitian dengan tajuk Karakterisasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Agama Islam di Sekolah Berasrama.
Penelitian yang mengambil model studi fenomenologi ini dilaksanakan di SMA Selamat Pagi Indonesia Batu ini bahwa SMA Selamat Pagi Indonesia Batu sebagai salah satu lembaga pendidikan dinilai telah berhasil dalam membentuk karakter peserta didik tentang moderasi beragama. Sebagai role model sekolah multikultural menawarkan pendidikan agama yang cukup distingtif. Dari potret observasi yang ia lakukan, terdapat 40% peserta didik beragama Islam, 20% Protestan, 20% Katolik, 15% Budha, dan 5% Hindu. Kebhinekaan agama tersebut mampu disulam dan dirajut secara toleran oleh SMA SPI Batu melalui pembentukan karakter peserta didiknya.
“Selama ini, telah banyak berbagai penelitian atau studi yang dilakukan oleh peneliti terdahulu tentang SMA SPI Batu, namun studi-studi tersebut belum menyentuh pada proses karakterisasi,” ujar Umar, Rabu (6/4/2022).
Selain itu saat dikonfirmasi tujuannya dalam penelitian ini dirinya mengungkapkan bahwa penelitian disertasinya bertujuan untuk memahami proses pembentukan karakter moderasi beragama bagi peserta didik di sekolah multikultural SMA Selamat Pagi Indonesia Batu.
Selain itu, juga untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengalaman peserta didik dalam proses pembentukan karakter moderasi beragama serta pembentukan karakterbagi peserta didik di sekolah tersebut.
Dari beberapa tujuan penelitian yang dikemukakan Umar, diperoleh beberapa hasil penelitian di mana proses karakterisasi moderasi beragama di SMA SPI Batu dilakukan melalui doktrinasi nilai-nilai moderasi beragama yang disampaikan oleh para guru dan pembina ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) dan ketika proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Selain itu, karakterisasi moderasi beragama juga dilakukan melalui budaya literasi, keteladan guru dan pembina serta penanaman dan pemberian pengalaman kepada peserta didik tentang nilai-nilai universal.
Pada saat yang sama, motto sekolah PAKSA (Pray, Attitude, Knowledge, Skill dan Action) dan penerapan aturan yang ketat turut berperan penting dalam proses karakterisasi moderasi beragama.
Hasil berikut adalah pengalaman peserta didik Muslim dalam membangun moderasi beragama di SMA SPI Batu dapat ditemui melalui sikap dan perilaku yang baik dan toleran saat belajar bersama di sekolah, berinteraksi sosial di lingkungan sekolah dan asrama serta simpati dan empati dengan non-Muslim
Pemaknaan peserta didik Muslim juga dibina sebagai pembentukan karakter moderasi beragama dalam hal bentuk ketaatan pada ajaran kitab suci Al-Quran, bentuk keteladanan terhadap Nabi Muhammad SAW, bentuk pengamalan dari nilai-nilai pancasila yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran toleransi dan tepo seliro (tenggang rasa) di tengah kebhinekaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Menganggap non-Muslim sebagai saudara, sebagai aturan yang wajib untuk dipatuhi, sebagai sarana untuk saling mengenal dan mencari teman, sebagai hal yang baru serta sebagai hal yang biasa.
Selain temuan di atas Umar juga mengusulkan beberapa proposisi dimana untuk membentuk karakter moderasi beragama peserta didik, diperlukan proses karakterisasi dalam bentuk habituasi melalui lingkungan asrama dan institusi pendidikan formal yang inklusif, lalu juga konfigurasi karakter peserta didik yang moderat lahir dari konfigurasi pengalaman peserta didik yang toleran serta pemaknaan peserta didik terhadap moderasi beragama ditentukan oleh pengalaman peserta didik dalam memahami ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an dan keteladanannya kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk living kehidupan sehari-hari.