KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENGAMALAN TAREKAT TIJANIYAH

Selasa, 29 Maret 2022 00:07 WIB

Kajian kontinuitas dan perubahan pengamalan Tarekat Tijaniyah dalam konteks pendidikan pesantren, sampai saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Pada umumnya, kajian-kajian tentang Tarekat Tijaniyah, lebih dominan pada dinamika perkembangan, perubahan, dan pertentangan yang dihadapi oleh kelompok tarekat tersebut.

Sebagai sebuah konsep dan aliran dalam tasawuf, Tarekat Tijaniyah seringkali mendapat perlawanan dan pertentangan. Untuk mengambil contoh kasus konkret, di Ilorin, negara bagian barat Nigeria, pengamal Tarekat Tijaniyah, Mallam Muhammad Wali, mendapat perlakuan kurang baik, akibat kekonsistenan dirinya mengamalkan Tarekat Tijaniyah. Di Turki juga demikian, pengikut Tarekat Tijaniyah mendapat perlawanan dan pertentangan dari pengikut rezim Kemalis (Dollar, 2012; Solagrebu, 2018).

Sementara di Indonesia, pertentangan pada keberadaan Tarekat Tijaniyah terjadi di pesantren Buntet, pusat Tarekat Tijaniyah di Cirebon, mendapatkan respon negatif dari kerabat keluarganya sendiri, yaitu pesantren Benda Kerep yang anti-Tijaniyah. Di Jawa Timur pun demikian, Tarekat Tijaniyah yang dibawa oleh Kiai Djauhari ke desa Prenduan, Kabupaten Sumenep, Madura, juga mengalami penolakan dari tokoh agama dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini, Tarekat Tijaniyah di Prenduan terus berkembang, dan sudah melewati tiga generasi berbeda, dari Kiai Djauhari, lalu Kiai Tidjani dan sekarang oleh Kiai Ahmad Fauzi.

Melihat fenomena tersebut, Iwan Kuswandi yang merupakan salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agma Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkatnya menjadi sebuah penelitian disertasi. Penelitian yang mengintrepretasi aktualisasi makna keyakinan inti dan nilai inti Tarekat Tijaniyah oleh Kiai Djauhari, Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi ini rencananya akan diujikan dalam Ujian Promosi Doktor yang akan dilaksanakan pada Sabtu, 19 Maret 2022.

Iwan menerangkan bahwa penelitian ini dilaksanakan di pondok pesantren Al-Amien Prenduan dengan subjek penelitian adalah Kiai Djauhari, Kiai Tidjani, dan Kiai Ahmad Fauzi, sebagai muqaddam tarekat Tijaniyah dan pimpinan pesantren Al-Amien Prenduan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pemikiran ketiga kiai tersebut dalam memaknai pengalaman dan obsesinya sebagai pengamal Tarekat Tijaniyah berdasarkan latar historis keluarga, masa hidup, domisili, afiliasi, latar belakang intelektual serta cita-cita masa depan mereka. Di samping itu, untuk mengkonstruksi bentuk konstruksi sosial yang dilakukan oleh ketiga Kiai tersebut sebagai pengamal Tarekat Tijaniyah di lembaga pendidikan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduanyang dipimpin oleh ketiga kiai tersebut di periodenya masing-masing.

Aktualisasi Makna Keyakinan dan Nilai Inti Tarekat Tijaniyah

Iwan menuliskan dalam disertasinya bahwa aktualisasi makna keyakinan inti dan nilai inti Tarekat Tijaniyah di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, yang dilakukan oleh Kiai Djauhari, Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi adalah dengan menggunakan metode keteladanan, serta menginternalisasikan amalan Tarekat Tijaniyah dalam tradisi pesantren, yang kemudian melahirkan beberapa motif di kalangan pengikutnya di dalam tarekat saat masuk dan talqin ke dalam Tarekat Tijaniyah. Motif-motif tersebut dinamakan motif talqin Tijani dimana terdiri motif tradisional dimana motif ini memperlihatkan bahwa tujuan masuk Tarekat Tijaniyah yang ada di pondok pesantren Al-Amien adalah karena warisan dari keluarga atau masyarakatnya.

Selain itu, ada juga yang karena motif afektif, dengan kata lain karena ingin ketenangan diri sebagaimana pengamal Tarekat Tijaniyah yang ada di sekitarnya. Ada juga karena motif nilai, karena ingin menebus dosa, ada juga karena motif rasional, karena keutamaan Shalawat Fatih.

Iwan mengungkapkan bahwa dirinya menemukan hal yang menarik untuk dikaji, beberapa motif tersebut, di dalam pengamalan Tarekat Tijaniyah di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, saling dikaitkan, tidak cukup dengan satu motif saja. Hal ini yang sering dilakukan oleh Kiai Tidjani selaku muqaddam Tarekat Tijaniyah. Saat ada beberapa orang yang berhasrat masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah, tidak serta merta Kiai Tidjani langsung mengabulkan permintaan tersebut. Terlebih dahulu Kiai Tidjani menanyakan alasan utama masuk Tarekat Tijaniyah. Seperti yang dialami oleh Kiai Khoiri, ia mau masuk karena ingin melanjutkan tradisi ayahnya sebagai pengamal Tarekat Tijaniyah. Kemudian Kiai Tidjani memintanya terlebih dahulu, untuk memikirkan kembali secara matang, sebelum benar-benar masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah. Dengan begitu, jadi ada motif tradisional pertama kali, lalu diperkuat dengan motif rasional.

Pengalaman dan Obsesi hidup Muqaddam Tijaniyah dan Pimpinan Pesantren

Pewarisan tarekat dari generasi ke generasi selanjutnya merupakan upaya konkrit dari sebuah legitimasi. Hal ini dikarenakan konstruksi nilai agama tidak bisa lepas dari peran seorang tokoh di dalamnya, karena keberadaannya merupakan basis legitimasi untuk ditiru oleh pengikutnya. Seorang tokoh agama tidak lahir begitu saja, ia adalah hasil dari konstruksi masyarakat yang menginginkannya. Namun yang tak kalah pentingnya, kesesuaian ajaran agama yang disampaikan dengan perilaku pembawa ajaran tersebut, sangat signifikan pengaruhnya terhadap pengakuan akan ketokohannya

Latar belakang keluarga Kiai Djauhari, Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi adalah keluarga yang menjadi pengamal tarekat. Latar pendidikan Kiai Djauhari di pesantren tradisional (Annuqayah Guluk-guluk, Tebuireng Jombang dan Sidogiri Pasuruan), sedangkan Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi adalah lulusan pesantren modern (Pondok Gontor Ponorogo). Ketiganya pernah menimba ilmu di Saudi Arabia walaupun dengan jenis dan jenjang yang berbeda. Kiai Djauhari aktif berpolitik praktis melalui partai Masyumi, sedangkan Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi, keduanya memilih sikap netral dalam politik.

Konstruksi Sosial Sebagai Pimpinan Pesantren dan Muqaddam Tarekat

Melalui hasil penelitiannya Iwan memandang bahwa dalam kapasitas sebagai pimpinan pesantren, ketiga kiai tersebut secara berkelanjutan menuju dan menjalankan makna yang sama dalam proses internalisasi nilai Tarekat Tijaniyah ke dalam pendidikan pesantren. Walaupun ketiganya kemudian berbeda dalam forum atau bentuk aktualisasi di lapangan. Pada periode Kiai Djauhari, santri dianjurkan bertarekat, sedangkan pada masa Kiai Tidjani dan Kiai Ahmad Fauzi, santri tidak dianjurkan bertarekat secara formal masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah. Dengan begitu, konstruksi sosial yang terjadi bisa diistilahkan berkelanjutan secara subtansial dan mengalami perubahan secara parsial, atau inilah bentuk dari konstruksi tarekat tranformatif pesantren modern.

Melalui penelitian yang dilakukannya, Iwan berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan saran yang dapat digunakan oleh beberapa pihak yang memungkinkan memiliki relevansi dengan penelitian yang sudah ia lakukan seperti lembaga pendidikan pesantren, para kiai pengamal tarekat yang bergelut dan terjun langsung didunia pendidikan pesantren, serta para peneliti-peneliti dimasa depan yang dapat dijadikan sebagai perbandingan yang nantinya akan dapat mengungkap dan mengkaji lebih mendalam kajian tarekat yang diamalkan di sebuah pesantren.

Shared: