Limbah Pangan Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan
Di Indonesia sendiri, cabai rawit merupakan salah satu sayuran yang sering dikonsumsi aleh masyarakat dan disajikan dalam berbagai hidangan maupun diolah menjadi berbagai jenis masakan, mulai dari digunakan sebagai penyedap masakan dan bahan penambah rasa pada sayuran berkuah hingga dijadikan lalapan segar. Selain bisa dikonsumsi dalam bentuk lalapan segar, cabal rawit juga sering digunakan sebagai bahan baku di bidang industri sambal, saus, variasi bumbu, pewarna, dan obat-obatan (analgesik). Cabai rawit memiliki wama, aroma dan rasa yang pedas; memberikan berbagai manfaat kesehatan bagi tubuh.
• Cabai rawit merupakan sayuran yang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi tersebut meliputi kapsaisin, kapsantin, karotenoid, alkaloid, resin, dan minyak atsiri. Selain itu, cabai rawit juga kaya akan kandungan vitamin A, B, dan C. Zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P). besi (Fe), vitamin (salah satunya adalah vitamin C). Cabai rawit paling banyak mengandung vitamin A dibandingkan cabai lainnya. - Cabai rawit segar mengandung 11.050 SI vitamin A, sedangkan cabai rawit kering mengandung mengandung 1.000 SI vitamin A. Sementara itu, cabal hijau segar hanya mengandung 260 SI vitamin A, cabai merah segar 470 SI vitamin A, dan cabai merah kering 576 Si vitamin A. Indonesia memiliki kondisi lahan yang luas serta iklim tropisnya yang sangat mendukung dalam proses budidaya suatu tanaman. Indonesia masih mengimpor cabai dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi cabai. Tercatat pada bulan Januari-Juni tahun 2021 Indonesia mengimport sebanyak 27.851,98 ton cabai (BPS, 2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor cabai Indonesia sebanyak 48.167.66 ton dengan nilai US$127,64 juta pada 2022. Produktivitas tanaman cabai seringkali menurun karena beberapa hal tertentu, padahal kebutuhannya setiap tahun selalu meningkat. Beberapa kendala yang menjadi pemicunya yaitu penanganan dalam proses budidaya yang kurang tepat, kondisi tanah yang kurang subur, kondisi cuaca yang tidak stabil, dan banyaknya penyakit yang menjangkiti tanaman cabai sehingga menurunkan produktivitasnya (Agastya et al., 2017). KASUS: Selama ini tanaman cabai rawit yang ada di kebun Gaga Semanan mengalami beberapa masalah, berupa adanya serangan hama dan beberapa penyakit pada tanaman cabai rawit tersebut (Adiartayasa et al., 2017). Penyakit yang sering ditemukan pada tanaman cabai kecil dan tergolong permasalahan yang sangat penting dari menurunnya hasil produktivitas cabai kecil pada saat pertumbuhan, yaitu munculnya serangan penyakit antraknosa (patek), layu fusarium, layu bakteri dan penyakit kuning (Zulkipli, Marsuni and Rosa, 2018). Menurut (Arsi et al., 2020), terdapat beberapa penyakit yang biasa ditemukan pada tanaman cabai rawit antara lain seperti layu Fusarium, layu bakteri Ralstonia, busuk buah antraknosa, gemini virus (virus kuning), dan bercak daun (Cercospora sp.). Oleh karena itu, untuk menanggulangi penyakit pada tanaman cabai rawit di perlukan adanya inventarisasi dan identifikasi penyakit pada tanaman tersebut agar dapat mengetahui tanda-tanda penyakit, gejala-gejala penyakit serta penyebab apa saja yang dapat menimbulkan penyakit pada tanaman cabai rawit. Kerugian yang disebabkan oleh penyakit antraknosa (patek) sangat besar pengaruhnya, yaitu sekitar 25-40%, yang artinya pada saat penanaman cabai sebanyak 100 tanaman pada satu musim, yang terkena serangan penyakit ini sebanyak 25 sampai 40 tanaman (Zulkipli, Marsuni and Rosa, 2018).
• Upaya penanggulangan yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan penyakit patek ini bisa menggunakan fungisida sintetik atau biopestisida alami yang berbahan dasar dari tumbuh-tumbuhan ataupun hewani. Biopestisida merupakan salah satu bentuk upaya pengendalian suatu hama dan penyakit pada tanaman. Bahan yang berasal dari makhluk hidup, seperti tanaman, hewan maupun mikroorganisme yang mempunyai khasiat dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan ataupun bisa juga dalam membasmi hama maupun organisme penyebab dari serangan penyakit (Schumann dan D'Arcy dalam Sumartini, 2016). Saat ini, biopestisida sudah banyak jenisnya untuk digunakan dalam beberapa lingkungan suatu usaha pada bidang pertanian. LIMBAH MEMBRAN CANGKANG TELUR SEBAGAI BIOPESTISIDA Konsumsi telur di seluruh dunia mencapai angka yang sangat tinggi setiap tahunnya dibandingkan pangan lain (Park et al., 2016). Data konsumsi masyarakat yang tinggi sangat mempengaruhi banyaknya limbah yang dihasilkan. Limbah yang tidak dimanfaatkan secara optimal akan menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan. Cangkang telur bebek diketahui memiliki beberapa kandungan mineral yang tersusun oleh sodium, potassium, kalsium, magnesium, zat besi, zinc dan juga fostor (Adeyeyg, 2009). Kandungan pada cangkang telur yang kaya akan kalsium dapat menjadi solusi jika digunakan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama pada tanaman seperti siput, hama putih, kutu dan kumbang (Rahmadina & Tambunan, 2017). Membran cangkang telur bisa dikembangkan sebagai pengawet untuk bahan pangan dan pada industri obat-obatan. Menurut data pada tahun 2009, produksi telur bebek mencapal angka 1.071.398 ton. Jika rata-rata berat kulit telur bebek 60 gram, maka kulit telur bebek yang dihasilkan dalam setahun seberat 107.139 ton (Novilasari et al 2017). Data produksi tinggi yang dihasilkan akan sangat mempengaruhi banyaknya limbah yang dihasilkan, untuk itu pemanfaatan cangkang telur yang belum optimal menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan sekitar. Berdasarkan potensi membran cangkang telur, dan untuk mengurangi dampak dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah cangkang telur, maka dilakukan air rendaman membran cangkang telur terhadap tanaman cabal kecil yang terserang penyakit yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai alternatif biopestisida pada tanaman penelitian yang bertujuan menganalisis potensi antifungi dari air rendaman membran cangkang telur terhadap tanaman cabai kecing yang terserang penyakit yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai alternatif biopestisida pada tanaman
► Indonesia memiliki kondisi lahan yang luas serta iklim tropisnya yang sangat mendukung dalam proses budidaya suatu tanaman.
► Indonesia masih mengimpor cabai dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi cabai. Tercatat pada bulan Januari-Juni tahun 2021 Indonesia mengimport sebanyak 27.851.98 ton cabai (BPS, 2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor cabai Indonesia sebanyak 48.167,66 ton dengan nilai US$127,64 juta pada 2022.
• Produktivitas tanaman cabai seringkali menurun karena beberapa hal tertentu, padahal kebutuhannya setiap tahun selalu meningkat. Beberapa kendala yang menjadi pemicunya yaitu penanganan dalam proses budidaya yang kurang tepat, kondisi tanah yang kurang subur. kondisi cuaca yang tidak stabil, dan banyaknya penyakit yang menjangkiti tanaman cabai sehingga menurunkan produktivitasnya (Agastya et al., 2017). - KASUS: Selama ini tanaman cabai rawit yang ada di kebun Gaga Semanan mengalami beberapa masalah, berupa adanya serangan hama dan beberapa penyakit pada tanaman cabai rawit tersebut (Adiartayasa et al., 2017).
Cabai rawit adalah salah satu sayuran penting di Indonesia, sering digunakan dalam berbagai hidangan, industri sambal, dan obat-obatan. Cabai rawit kaya akan nutrisi seperti kapsaisin, karotenoid, vitamin A, B, C, serta mineral. Namun, produktivitasnya sering terganggu oleh hama dan penyakit seperti antraknosa, layu fusarium, dan virus kuning, yang menurunkan hasil hingga 25-40%.
Indonesia memiliki potensi besar untuk budidaya cabai rawit karena kondisi lahan yang luas dan iklim tropis. Meski demikian, impor cabai masih tinggi, mencapai 48.167 ton pada 2022. Faktor-faktor seperti teknik budidaya yang kurang optimal, tanah tidak subur, cuaca tak stabil, serta serangan penyakit menjadi kendala utama.
Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan fungisida sintetik atau biopestisida alami. Salah satu inovasi adalah pemanfaatan membran cangkang telur sebagai biopestisida. Limbah cangkang telur, yang kaya mineral seperti kalsium, dapat mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menjadi bahan antifungi untuk mengatasi penyakit pada tanaman cabai. Penelitian menunjukkan air rendaman membran cangkang telur berpotensi sebagai alternatif biopestisida untuk meningkatkan produktivitas cabai rawit.