Pendidikan guru pesantren adalah salah satu pola pendidikan awal pesantren yang berkembang seiring dengan modernisasi pendidikan di Indonesia awal abad ke-20. Pola pendidikan ini mengambil nama Madrasah Mu’allimin/Mu’allimat, Kulliyatul Mu’allimin/Mu’allimat, Tarbiyatul Mu’allimin/Mu’allimat, atau sejenisnya, yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan guru madrasah yang sedang berkembang pada saat itu. Pola pendidikan awal ini terus dipertahankan oleh pesantren hingga sekarang meskipun pemerintah (Departemen Agama) secara resmi telah menutup pendidikan keguruan jenjang menengah sejak tahun 1992. Hal ini dilakukan pesantren dengan mengembangkan muatan kurikulum keguruan mu’allimin pada madrasah yang diselenggarakannya, untuk membekali alumninya dengan kompetensi keguruan sehingga mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan alumni lembaga lain yang sederajad.
Salah satu pondok pesantren yang mengimplementasikan kurikulum keguruan hingga sekarang adalah Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) Ngabar Ponorogo. PPWS Ngabar adalah pondok alumni Gontor tertua yang berdiri pada 4 April 1961. Menurut para pengasuh pesantren, PPWS Ngabar sejak awal telah menyelenggarakan pola pendidikan keguruan menengah dengan nama Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TMI) untuk santri putra dan Tarbiyatul Mu’allimat al-Islamiyah (TMt-I) untuk santri putri, di mana kurikulumnya mengadopsi kurikulum keguruan KMI Gontor. Namun seiring dengan diberlakukannya kebijakan standardisasi kurikulum madrasah oleh pemerintah Orde Baru, PPWS Ngabar bereksperimen mengadopsi sistem madrasah agar para santrinya dapat mengikuti ujian persamaan negara. Kebijakan integrasi kelembagaan ini berimplikasi terhadap integrasi muatan kurikulum madrasah namun dengan tidak menggeser muatan kurikulum keguruan mu’allimin/mu’allimat.
ST. Noer Farida Laila, salah satu mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam mengangkat penelitian disertasi tentang kurikulum integratif pendidikan guru pesantren pada PPWS Ngabar ini dengan maksud untuk mengeksplorasi dan memahami proses konstruksi kurikulum, latar belakang implementasinya beserta implikasinya terhadap kompetensi keguruan para santri. Menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus yang memungkinkan Farida fokus pada topik-topik analitis. Farida mengungkapkan bahwa pengumpulan data berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukannya, juga observasi langsung dan observasi partisipan, serta studi dokumen dan rekaman-rekaman arsip. “Untuk analisis data kualitatif studi kasus saya memakai strategi umum analisis dengan mendasarkan pada proposisi teoritis, serta tiga tehnik analisi khusus yang diajukan Yin, dimana pola penjodohan, pembuatan eksplanasi, dan analisis deret waktu. Pengecekan keabsahan temuan menggunakan kriteria validitas konstruk, reliabilitas, dan kredibilitas” ungkap Farida saat ditanya oleh para penguji.
Dalam pandangannya Farida melihat pesantren memaknai kurikulum sebagai pengalaman belajar. Seluruh pengalaman belajar santri, baik dalam kegiatan pembelajaran formal pagi maupun kegiatan informal/non-formal asrama, dimaknai sebagai kurikulum pendidikan. KH. Heru menyatakan “Apa yang didengar, dilihat dan dirasakan adalah pendidikan.” Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa dimensi kurikulum yang dikembangkan bukan hanya formal dan informal kurikulum, tetapi juga hidden curriculum. Konseptualisasi kurikulum ini sesuai dengan pendapat Kelly dalam penelitiannya pada tahun 2000 bahwa kurikulum adalah “the totality of the experiences the pupil has as a result of the provision made.” Kurikulum adalah bentuk pengalaman belajar peserta didik, baik yang direncanakan maupun yang tidak, baik yang aktual maupun yang tersembunyi, baik yang formal maupun informal.
Kurikulum harus dikonstruksi dengan mengacu kepada tindakan-tindakan dalam penyusunan kurikulum agar diperoleh kurikulum yang integratif. Konstruksi kurikulum keguruan pada PPWS Ngabar mengikuti tiga tindakan dalam konstruksi kurikulum yaitu desain, implementasi dan evaluasi yang diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan pesantren. Konstruksi kurikulum ini memadukan muatan kurikulum formal yang dikembangkan oleh direktorat TMI/TMt-I dengan muatan kurikulum informal yang disusun oleh lembaga kepengasuhan Majelis Pembimbing Santri (MPS). Integrasi kedua muatan kurikulum ini melahirkan integrasi antar muatan kurikulum, yaitu integrasi muatan kurikulum madrasah dengan muatan kurikulum keguruan pesantren dalam model fragmented atau isolation; integrasi muatan komponen pengetahuan konten (Content Knowledge) dengan komponen pedagogis (Pedagogycal Content Knowledge) secara spiral vertical; dan terakhir, integrasi muatan pengembangan karakter dalam model galur (Threaded Model) di mana nilai-nilai karakter terhubung ke seluruh area muatan kurikulum formal dan informal.
Dalam disertasinya Farida menuliskan bahwa konstruksi kurikulum integratif pada pesantren bukan hanya untuk menjawab tantangan dan tuntutan eksternal, akan tetapi juga untuk mempertahankan pola pendidikan awal pesantren. Hal ini bisa berlangsung jika implementasi kurikulum integratif merupakan bentuk perubahan kurikulum incrimental sehingga tidak mengganggu struktur dasar kurikulum awalnya. Konstruksi kurikulum integratif pada PPWS Ngabar adalah dalam rangka mempertahankan pendidikan keguruan mu’allimin/mu’allimat yang telah ditetapkan dalam piagam ikrar wakaf. Kurikulum integratif keguruan mu’allimin adalah icon yang membedakan pendidikan jenjang menengah pesantren dengan pendidikan menengah lainnya. Sikap pesantren mempertahankan kurikulum keguruan ini berangkat dari nilai-nilai filosofis pendidikan Islam yang diambil dari ajaran al-qur’ȃn tentang perintah untuk tafaqquh fȋ ad-dȋn dan memberi peringatan (munżirul qaum) dalam al-qur’ȃn S. At-Taubah: 122. Pimpinan pondok memandang bahwa pada hakekatnya tugas pesantren adalah munżirul qaum, dan untuk bisa menjalankan tugas ini, masyarakat pesantren harus mengkaji ilmu-ilmu agama dahulu sesuai dengan perintah liyatafaqqahu fȋ ad-dȋn. Selain itu, mengajarkan agama (mu’allim) adalah hakekat tugas manusia sebagai khalifah di bumi (QS. AL-Baqoroh: 30). Sosok mu’allim yang harus dijadikan teladan adalah Nabi Muhammad SAW.
Konstruksi kurikulum integratif keguruan pesantren berimplikasi terhadap terbentuknya empat kompetensi keguruan, yaitu kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian dan sosial. Ke empat kompetensi keguruan ini sesuai dengan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), namun pemerintah Indonesia menetapkan empat kompetensi tersebut harus diperoleh melalui jenjang pendidikan tinggi dan pendidikan profesi. Oleh karena itu, pesantren menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan keguruan pesantren adalah jenjang menengah yang masih memerlukan pendidikan lanjut dan atau pelatihan-pelatihan yang intensif. Kebijakan pengabdian minimal satu tahun adalah salah satu bentuk upaya pesantren memperkuat empat kompetensi keguruan alumni.
Selain itu, pesantren juga tidak memaknai kata “guru” dalam arti sempit sebagai pengajar (mudarris) di kelas. Pesantren memaknai guru dalam arti luas sebagai mu’allim, yang berarti seseorang yang memiliki jiwa-jiwa keguruan, yang mampu mengajarkan agama dalam posisi apapun nantinya. Menurut Riyadi (2019), mu’allim adalah salah satu sebutan pendidik dalam pendidikan Islam. Kata mu’allim dalam al-qur’an tidak bisa dimaknai sempit sebagai guru sekolah. Penguasaan (kompetensi) dalam bidang spiritual, intelektual, personal, dan sosial menjadikan mu’allim mampu berperan sebagai pengasuh dalam keluarga, pengajar di lembaga pendidikan, dan peran-peran sosial lainnya di masyarakat sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Kompetensi keguruan santri bisa dibentuk oleh pesantren melalui integrasi tiga sumber pengetahuan keguruan, yaitu formal, informal dan non-formal dalam sistem asrama. Sistem asrama memungkinkan pesantren memadukan kegiatan formal, informal, dan non-formal dalam model sinkronis paralel. Sinkronisasi muatan kurikulum informal dengan kurikulum formal dilakukan secara paralel di mana kegiatan-kegiatan asrama diatur sedemikian rupa agar sejalan dengan kegiatan-kegiatan formal.
Farida mengungkapkan bahwa temuan dari penelitiannya menambah teori yang telah diajukan oleh Kleickmann dkk dalam penelitiannya pada tahun 2013 dimana guru memperoleh pengetahuan untuk mengajar dari tiga sumber belajar, yaitu formal, informal, dan non-formal. “Temuan ini memberikan kontribusi tentang alur tindakan dalam konstruksi kurikulum integratif pesantren modern, dan sekaligus model integrasi kurikulum pendidikan guru pada pesantren modern” ungkap Farida. Pesantren juga memiliki mekanisme sendiri-sendiri dalam konstruksi kurikulum, dan juga kebebasan dalam mengangkat dan menetapkan standar bagi guru-guru pengajarnya. Model kurikulum integratif keguruan pesantren menggambarkan model kaderisasi guru-guru pesantren itu sendiri. (Dik)