Membentuk Kesehatan Mental dan Spiritual bagi Pecandu Narkoba

Rabu, 01 September 2021 00:08 WIB

 

Kecanduan narkotika, obat-obatan terlarang, dan zat adiktif lain merupakan kasus yang amat meresahkan. Dari tahun ke tahun pengguna narkoba tidak semakin menurun, namun cenderung meningkat. Dari sebuah studi penelitian membuktikan bahwa pada tahun 1975, catatan pemerintah menunjukkan ada 5.000 orang tersangkut kasus sebagai pengguna narkoba. Pada tahun 1990 jumlahnya telah mencapai 8.500 orang. Lalu tahun 1995 telah mencapai 13.000 orang. Pada tahun 1998 terdapat "dark number" di mana setiap orang pengguna narkoba ini sebenarnya memiliki teman sebanyak 10 orang pengguna narkoba. Sehingga jumlah sebenarnya adalah 10 kali lipat dari data yang ada.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya pemberantasan narkobaadengan menerbitkan UU No. 355 Th.  2009 tentang narkotika, membentuk Badan Narkoba Nasional (BNN), dan juga mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12 Th. 2011 tentang pelaksanaan JAKSTRANAS bidang Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) tahun 2011-2015 yang mendorong elemen-elemen bangsa. Pemerintah pusat dan daerah, pemangku kepentingan dan masyarakat untuk lebih aktif dan agresif dalam memerangi kejahatan narkoba.

Sakit Spiritual

Pada dasarnya pecandu narkoba adalah seorang yang sedang menderita sakit jiwa dan sakit spiritualnya. Pada aspek kejiwaan, mereka tidak realistis, lari dari kenyataan, tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, tidak dapat mengoptimalkan potensi psikisnya demi kesejahteraan hidupnya, stres, dan pemarah. Pada aspek spiritualnya mereka menjauh dari Allah Swt., kurang menyadari lagi bahwa ia sebagai hamba Allah yang seharusnya mematuhi segala perintahNya dan menjauhi segala larangannya. Oleh karena itu mereka adalah orang yang sedang mengalami sakit spiritual. Seseorang yang sehat adalah seseorang yang secara pisik, sosial, mental, maupun spiritual sehat.    

Berdasarkan permasalahan penyakit spiritual tersebut, Toha Machsun mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengkaji bagaimana edukasi keagamaan dalam pembentukan kesehaan mental dan spiritual bagi pecandu narkoba dalam sebuah penelitian disertasi. Penelitian yang berfokus pada bagaimana bagaimana konsep kesehatan mental dan spiritual bagi pecanduxnarkoba menurut pandangan pimpinan pesantren, proses edukasi keagamaannya serta seperti apa edukasi keagamaan yang dirasakan pecandu narkoba yang telah sembuh ini dilakukan di Pondok Pesantren Tetirah Berbah yang ada di Sleman, Yogyakarta.

Pandangan Akan Kesehatan Mental dan Spiritual

Secara umum, Toha mendapati bahwa konsep kesehatan mental dan spiritual menurut pandangan pimpinan pondok adalah terhindarnya seseorang dari berbagai gangguan dan penyakit jiwa. Itu karena kehidupannya didasarkan atas iman yang kuat kepada Allah dan RasulNya.Lalu diikuti dengan kesadaran yang tinggi untuk mengamalkan perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi segala larangan-Nya, berusaha maksimal dalam mencapai tujuan hidupnya serta bertawakkal kepada Allah swt., mampu berbuat baik terhadap sesama dan terhadap alam semesta.

Proses edukasi keagamaan bagi pecandu narkoba di Pondok Tetirah Berbah, Sleman, Yogyakarta dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahapan. Pertama pra edukasi, kedua edukasi keagamaan, dan ketiga edukasi pasca terapi. Pada tahap pertama, aktivitas yang dilakukan adalah penyerahan santri bina oleh wali atau orang tua dan/atau wakil masyarakat kepada pengasuh pondok pesantren. Lalu mendiagnosis diagnosis, pentalqinan dan mempersiapan dukungan wali atau orang tua atau wakil masyarakat penanggungjawab santri binaan. Baik dukungan dana rehabilitasi maupun dukungan do’a, dan pemberian lingkungan yang memadai pada saat santri bina menjalani proses rehabilitasi.

Tahap kedua adalah edukasi keagamaan dengan pendidikan shalat. Baik shalat wajib 5 waktu maupun shalat-shalat sunnah diikuti dengan dzikir harian setelah sholat, Puasa, Qiyamul Lail, Dzikir, Ceramah Agama, Pendidikan Akidah Akhlak, Fiqih, dan Baca Tulis Al-Qur’an. Tahap ketiga adalah edukasi pasca sembuh, meliputi meminta anggota keluarga untuk berpartisipasi memantau kegiatan keagamaan santri bina ketika di rumah dan memantau pergaulan sosial santri bina secara insidental bersama anggota keluarga mensosialisasikan kepada lingkungan sekitar keluarga santri bina. Bahwa santri bina telah sembuh dan perlu dukungan sosial tetangga-tetangganya agar tidak kambuh kembali.

Kemudian mengundang secara periodik mantan santri bina dan keluarganya ke pondok pesantren untuk mengikuti kegiatan manaqiban. Edukasi keagamaan yang dirasakan santri bina di pondok panti Tetirah Dzikir Berbah Sleman mulai pentalqinan, shalat, puasa, mandi tabuat, qiyamul lail, dzikir, sampai ceramah agama adalah bertambahnya keimanan santri bina kepada Allah dan RasulNya. Mereka berserah diri (tawakkal) kepada Allah, mereka ingin bertaubat dari segala perbuatan jahat akibat mengkonsumsi narkoba. Segala potensi yang semula tidak terkendali saat ini kembali berfungsi secara normal, emosi tidak lagi mudah marah-marah (impulsive), tidak mudah meledak-ledak, dan pikiran selalu positif, tidak mudah berprasangka negatif pada sesama. Lebih dari itu batin mereka merasa lebih tenang.

Proposisi

Edukasi agama Islam kepada pecandu narkoba dapat efektif jika siterdidik mencapai kadar iman kepada Allah swt dan Rasul-Nya dengan kuat, telah siap melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan selalu mengingat eksistensi Allah swt dimana saja dan kapan saja. Saat diwawancarai di sela pengajuan ujian, Toha menjelaskan bahwa dalam perumusan konsep kesehatan mental pimpinan pondok masih berorientasi pada keberadaan gangguan jiwa dan penyakit jiwa akibat kadar keimanannya kepada Allah swt dan Muhammad Rasulullah saw. “Konsep tersebut kurang universal, sebab hanya berlaku pada umat Islam. Bagi pecandu narkoba non Muslim menjadi pengecualian. Oleh karena itu seyogyanya konsep tersebut dapat diuniversalkan dengan mengganti beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya dengan kepada Tuhan Yang Maha Esa meskipun yang dimaksud adalah sama,” ujar Toha.

Toha juga berharap ke depannya dari apa yang sudah ia teliti seyogyanya pimpinan pondok panti tetirah dzikir menyiapkan wali talqin sendiri di lingkungan pondok. Sehingga talqin cukup dilakukan di pondok dan tidak perlu ke Pondok Inabah Suryalaya Tasikmalaya. Lalu, perlu juga meningkatkan kerjasama dengan merangkl Kementrian Sosial atau setidaknya dengan Dinas Sosial Pemerintah DIY Yogyakarta dalam meningkatkan fasilitas pelayanan santri bina. (*)

Shared: