Peran perempuan suku Bajo dalam proses pembangunan kesejahteraan sosial belum diposisikan sebagai mitra setara laki-laki. Belum lagi dalam kebijakan Negara khususnya di Nusantara.Perempuan etnis Bajo di Kabupaten Minahasa Utara, kurang dilibatkan dalam proses pembangunan. Sehingga terpinggirkan dalam proses pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan politik yang merupakan hak dasar dan dijamin oleh undang-undang 1945. Namun demikian, perempuan etnis Bajo memiliki peran yang signifikan dalam perikanan. Pada masyarakat Bajo di wilayah Nain ini pun masih merupakan satu wilayah dan laut tidak hanya didominasi oleh kekuatan budaya, sosial dan ekonomi, dan di wilayah kekuasaan laki-laki. Tetapi ini juga merupakan area yang terutama melibatkan perempuan.
Suku Bajo nomaden, siklus kehidupannya di laut. Mulai dari perkawinan, kematian, lelahiran dan pengobatan. Semuanya di laut bertahun-tahun.Perempuan Bajo tidak punya identitas dan tidak berpendidikan layaknya perempuan yang hidup di darat. Adanya interaksi individu dan masyarakat dan pemerintah mengubah kesadaran mereka suku Bajo memilih tinggal di darat dan mendapat pengakuan negara lewat/KTP dan KK.
Kebijakan pemerintah tentang penyeragaman pemukiman, pendidikan, ekonomi, mengubah indentitas sosial perempuan Bajo. Khususnya dari sisi nilai, status, dan norma. Suku Bajo merupakan suku laut (nomaden) atau disebut juga sea gipsy yang hidupnya tidak bisa jauh dari laut dan selalu berpindah-pindah.
Seiring berjalannya waktu, zaman telah berubah, saat ini banyak suku Bajo yang hidup dan bermukim dengan membangun rumah panggung di dekat pantai yang dangkal dan membentuk komunitas. Suku Bajo, baik laki-laki maupun perempuan, tidak lagi menutup diri tetapi perlahan berasimilasi dengan budaya suku lainnya. Suku Bajo mulai berinteraksi dengan komunitas atau masyarakat darat yang terikat oleh sistem, status, peran norma dan nilai budaya serta pranata sosial.
Berdasarkan konstitusional yaitu UUD 1945 pasal 27 dan 28 tentang persamaan hak dan kewajiban setiap warga dan ratifikasi konvensi Internasional dalam UU No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Cedaw) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU No 10 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional seperti penguatan Internasional untuk pembangunan berbasis gender, Nawacita serta peraturan presiden tentang sustainable Development Goals (SDGs) No. 59 Tahun 2017 dan UU Desa No 6 Tahun 2014. Maka perempuan sewajibnya dilibatkan sebagai aktor dalam pembuatan dan implementasi kebijakan.
Berdasarkan latar belakang pemasalahan tersebut Tawaja Ramzia Djangoan, salah satu mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, menjadikannya sebagai topik yang diangkat dalam penelitian disertasinya. Disertasinya itu berjudul “Konstruksi Sosial Atas Peran Perempuan Suku Bajo Dalam Pembangunan Yang Berbasis Kepulauan”
Mahasiswa yang akrab dipanggil Bu Ramzia ini menjelaskan bahwa dirinya memfokuskan tentang bagaimana konstruksi sosial atas peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan. Serta bagaimana tipikasi identitas baru peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan dengan tujuan untuk memahami konstruksi sosial atas peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan.
Ramzia menerangkan bahwa dalam penelitianny, dia menggunakan beberapa jenis teori. Seperti teori Feminisme. Teori ini tidak asing didengar baik dalam sebuah gerakan perempuan untuk memperjuangkan keadilan dan hak-haknya sebagai manusia seperti lelaki kajian Feminisme.
Berangkat dari perbedaan gender dan merupakan reaksi dari ketidak adilan gender yang mengikat perempuan secara kultural dengan sistem yang patriarki, perbincangan tentang femnisme pada umumnya merupakan pola real laki-laki dan perempuan dalam masyarakat serta bagaimana hak dan status serta kedudukan kaum perempuan di ranah domestik dan ranah publik.
Tidak hanya teori Feminisme, Ramzia juga menggunakan Metode Penelitian Paradigma Definisi Sosial, penelitian kualitatif jenis fenomenologi yang diterapkan untuk mendapatkan data penelitian di Kabupaten Minahasa Utara. Subyek penelitian 8 laki-laki dan 12 Perempuan Suku Bajo dengan cara Observasi, interview dokumen, strategis Analisis Data Fenomenologi.
“Hasil penelitian yang saya dapatkan awalnya Suku Bajo hidup di laut. Namun saat ini memilih hidup di darat. Proses interaksi sosial dalam situasi tatap muka, terus menerus saling bersentuhan, berinteraksi dan berekspresi dalam situasi itu yang terjadi. Hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi sosial kehidupan individu perempuan Bajo, beradaptasi diri dimulai dari individu, keluarga dan masyarakat," paparnya.
"Interaksi perempuan Bajo bersama masyarakat, intervensi pemerintah dan lembaga sosial melalui kegiatan fisik dan mental serta pemaknaan baru dengan perubahan pola hidup dan terlibat dalam kegiatan sosial.dan berpartisipasi dalam pembangunan," tambah Ramzia.
Selain itu juga diadakan kelompok forum diskusi yang dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi ketidakadilan gender. Baik yang dilakukan oleh keluarga, komunitas, media, maupun negara.
Hasilnya adanya fenomena Marginalisasi posisi perempuan yang mengakibatkan kemiskinan perempuan. Secara sosial maupun ekonomi, misalnya, ketika hidup laut/leppa baik laki-laki maupun perempuan semua dapat memanfaatkan sumberdaya alam/laut tanpa batasan. Namun ketika di darat perempuan lebih diposisikan di ranah domestik, sedangkan laki-laki di ranah publik.
Diskiriminasi pembedaan perlakukan terhadap seseorang atau sekelompok karena jenis kelamin dan status sosialnya. Salah satu bentuk diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan, akses kontrol dan partisipasi
Peran perempuan suku Bajo dalam proses pembangunan kesejahteraan sosial belum diposisikan sebagai mitra setara laki-laki. Belum lagi dalam kebijakan Negara khususnya di Nusantara.Perempuan etnis Bajo di Kabupaten Minahasa Utara, kurang dilibatkan dalam proses pembangunan. Sehingga terpinggirkan dalam proses pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan politik yang merupakan hak dasar dan dijamin oleh undang-undang 1945.
Namun demikian, perempuan etnis Bajo memiliki peran yang signifikan dalam perikanan. Pada masyarakat Bajo di wilayah Nain ini pun masih merupakan satu wilayah dan laut tidak hanya didominasi oleh kekuatan budaya, sosial dan ekonomi, dan di wilayah kekuasaan laki-laki. Tetapi ini juga merupakan area yang terutama melibatkan perempuan.
Suku Bajo nomaden, siklus kehidupannya di laut. Mulai dari perkawinan, kematian, lelahiran dan pengobatan. Semuanya di laut bertahun-tahun.Perempuan Bajo tidak punya identitas dan tidak berpendidikan layaknya perempuan yang hidup di darat. Adanya interaksi individu dan masyarakat dan pemerintah mengubah kesadaran mereka suku Bajo memilih tinggal di darat dan mendapat pengakuan negara lewat/KTP dan KK.
Kebijakan pemerintah tentang penyeragaman pemukiman, pendidikan, ekonomi, mengubah indentitas sosial perempuan Bajo. Khususnya dari sisi nilai, status, dan norma. Suku Bajo merupakan suku laut (nomaden) atau disebut juga sea gipsy yang hidupnya tidak bisa jauh dari laut dan selalu berpindah-pindah.
Seiring berjalannya waktu, zaman telah berubah, saat ini banyak suku Bajo yang hidup dan bermukim dengan membangun rumah panggung di dekat pantai yang dangkal dan membentuk komunitas. Suku Bajo, baik laki-laki maupun perempuan, tidak lagi menutup diri tetapi perlahan berasimilasi dengan budaya suku lainnya. Suku Bajo mulai berinteraksi dengan komunitas atau masyarakat darat yang terikat oleh sistem, status, peran norma dan nilai budaya serta pranata sosial.
Berdasarkan konstitusional yaitu UUD 1945 pasal 27 dan 28 tentang persamaan hak dan kewajiban setiap warga dan ratifikasi konvensi Internasional dalam UU No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Cedaw) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU No 10 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional seperti penguatan Internasional untuk pembangunan berbasis gender, Nawacita serta peraturan presiden tentang sustainable Development Goals (SDGs) No. 59 Tahun 2017 dan UU Desa No 6 Tahun 2014. Maka perempuan sewajibnya dilibatkan sebagai aktor dalam pembuatan dan implementasi kebijakan.
Berdasarkan latar belakang pemasalahan tersebut Tawaja Ramzia Djangoan, salah satu mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, menjadikannya sebagai topik yang diangkat dalam penelitian disertasinya. Disertasinya itu berjudul “Konstruksi Sosial Atas Peran Perempuan Suku Bajo Dalam Pembangunan Yang Berbasis Kepulauan”
Disertasi ini akan diujikan dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor pada Kamis, 21 Januari 2021. Mahasiswa yang akrab dipanggil Bu Ramzia ini menjelaskan bahwa dirinya memfokuskan tentang bagaimana konstruksi sosial atas peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan. Serta bagaimana tipikasi identitas baru peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan dengan tujuan untuk memahami konstruksi sosial atas peran perempuan Suku Bajo dalam pembangunan berbasis Kepulauan.
Ramzia menerangkan bahwa dalam penelitianny, dia menggunakan beberapa jenis teori. Seperti teori Feminisme. Teori ini tidak asing didengar baik dalam sebuah gerakan perempuan untuk memperjuangkan keadilan dan hak-haknya sebagai manusia seperti lelaki kajian Feminisme.
Berangkat dari perbedaan gender dan merupakan reaksi dari ketidak adilan gender yang mengikat perempuan secara kultural dengan sistem yang patriarki, perbincangan tentang femnisme pada umumnya merupakan pola real laki-laki dan perempuan dalam masyarakat serta bagaimana hak dan status serta kedudukan kaum perempuan di ranah domestik dan ranah publik.
Tidak hanya teori Feminisme, Ramzia juga menggunakan Metode Penelitian Paradigma Definisi Sosial, penelitian kualitatif jenis fenomenologi yang diterapkan untuk mendapatkan data penelitian di Kabupaten Minahasa Utara. Subyek penelitian 8 laki-laki dan 12 Perempuan Suku Bajo dengan cara Observasi, interview dokumen, strategis Analisis Data Fenomenologi.
“Hasil penelitian yang saya dapatkan awalnya Suku Bajo hidup di laut. Namun saat ini memilih hidup di darat. Proses interaksi sosial dalam situasi tatap muka, terus menerus saling bersentuhan, berinteraksi dan berekspresi dalam situasi itu yang terjadi. Hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi sosial kehidupan individu perempuan Bajo, beradaptasi diri dimulai dari individu, keluarga dan masyarakat," paparnya.
"Interaksi perempuan Bajo bersama masyarakat, intervensi pemerintah dan lembaga sosial melalui kegiatan fisik dan mental serta pemaknaan baru dengan perubahan pola hidup dan terlibat dalam kegiatan sosial.dan berpartisipasi dalam pembangunan," tambah Ramzia.
Selain itu juga diadakan kelompok forum diskusi yang dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi ketidakadilan gender. Baik yang dilakukan oleh keluarga, komunitas, media, maupun negara.
Hasilnya adanya fenomena Marginalisasi posisi perempuan yang mengakibatkan kemiskinan perempuan. Secara sosial maupun ekonomi, misalnya, ketika hidup laut/leppa baik laki-laki maupun perempuan semua dapat memanfaatkan sumberdaya alam/laut tanpa batasan. Namun ketika di darat perempuan lebih diposisikan di ranah domestik, sedangkan laki-laki di ranah publik.
Diskiriminasi pembedaan perlakukan terhadap seseorang atau sekelompok karena jenis kelamin dan status sosialnya. Salah satu bentuk diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan, akses kontrol dan partisipasi
Implikasi Teori
Ramzia mendapati Perempua Bajo mengkonstruksikan identitas dirinya, sehingga melahirkan tipikasi baru dalam perspektif gender dalam pembangunan dan kesejahteraan sosial di daratan. Perempuan Bajo mengkonstruksi realitas sosial sebagai identitas diri maupun sebagai agen konstruksi yang mendefiniskan realitas sosial. Bahwa perempuan suku Bajo ketika berimigrasi kedarat mengadopsi nilai-nilai melembaga lewat peran pemerintah. dan masyarakat.
Dari hasil temuan penelitian yang didapat menunjukan bahwa konstruksi identitas diri tidak bisa dibangun oleh peran Negara atau lembaga sepenuhnya, namun ditentukan juga oleh norma, kebiasaan, nilai yang berproses menuju perubahan sosial maka oleh sebab itu perlu dibangun identitas kolektif perempuan dalam sebuah masyarakat modern.dan trasformasi sosial menuju masyarakat berspektif keadilan gender. (*)
Sumber: www.timesindonesia.co.id