Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) merupakan salah satu mata kuliah yang wajib dijalani oleh mahasiswa yang ada di hampir semua universitas di bawah organisasi Muhammadiyah. Bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang memiliki mahasiswa non-muslim seperti di STKIP Muhammadiyah Manokwari misalnya, memiliki kewajiban mengajarkan AIK kepada para mahasiswa yang beragama muslim ataupun non-muslim.
Idealnya, pendidikan AIK menjadikan mahasiswa muslim semakin berpegang teguh dan mampu mendakwahkan agamanya yang rahmatan lil ‘alamin. Sementara bagi mahasiswa non-muslim setidaknya mereka mengenal Islam sebagai agama yang damai yang mengajak kepada kebaikan dan mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusia.
Pendidikan pembelajaran AIK di STKIP Muhammadiyah Manokwari merupakan mata kuliah wajib sebagaimana di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Perguruan Tinggi Aisiyah (PTMA) yang lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Pembelajaran AIK di STKIP Muhammadiyah Manokwari dihadapkan pada suatu realitas multikultural mulai budaya hingga keyakinan beragama mahasiswa.
Berbekal realitas multikultural tersebut Ali Imron, Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian disertasi dengan tajuk "Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan Multikultural" di STKIP Muhammadiyah Manokwari Papua BArat.
Disertasi yang akan diujikan pada Kamis, 27 Agustus 2020 ini berfokus pada bagaimana kondisi awal pembelajaran AIK bagi mahasiswa mayoritas non-muslim, bagaimana desain pengembangan model pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada mahasiswa mayoritas non-muslim, dan bagaimana keefektifan pengembangan model pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada mahasiswa mayoritas non-muslim di STKIP Muhammadiyah Manokwari Papua Barat
"Saya menggunakan Research and Development yang dikembangkan Plomp dengan tahapan dimana kajian awal, desain atau perancangan, realisasi, tes, evaluasi, revisi dan implementasi. Pengumpulan data saya lakukan menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi dan tes. Data yang terkumpul tersebut, lalu diolah secara trianggulasi dengan mengadopsi model analisis Miles dan Huberman untuk memperoleh keabsahan data." Demikian paparan Ali.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa awalnya pembelajaran AIK di STKIP Muhammadiyah Manokwari cenderung monoton dari sisi metodologis. Oleh karena itu, Pembelajaran AIK lebih sering disampaikan dengan menggunakan metode ceramah. Selain persoalan metodologis, para dosen pengampu AIK juga diliputi rasa khawatir dan “takut” jika bersinggungan dengan keyakinan keagamaan mahasiswa, sementara di satu sisi AIK I-IV menjadi kewajiban di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Temuan dari penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Multikultural.
Desain Pengembangan model pembelajaran pendidikan AIK untuk Mahasiswa Non-Muslim. Dikembangkan melalui Forum Group Discussion (FGD) pada hari senin, 8 April 2019 di STKIP Muhammadiyah Manokwari yang didampingi oleh Dr. Ir. H. Mulyadi Djaya, M.Si selaku Pakar AIK STKIP Muhammadiyah Manokwari sekaligus PWM Papua Barat ( foto terlampir ) dan Pudjiono sebagai Pakar ahli desain.
FGD tersebut dilaksanakan dengan mendiskusikan, mengembangkan serta menggabungkan gambaran tentang pendekatan model pembelajaran dalam versi pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang dapat diterima oleh seluruh mahasiswa. Salah satu cara yang dilakukan untuk menggabungkan mengembangkan gambaran inovasi model pembelajaran AIK dilakukan melalui upaya membuka kesenjangan-kesenjangan selama ini yang dirasakan oleh dosen-dosen AIK yang ada di PTM terutama daerah timur daripada PTM lainnya yang mayoritas muslim.
Pasca terlaksananya FGD, terjaring aspirasi dan gagasan ide yang konstruktif untuk mengembangkan pendekatan model pembelajaran. FGD dilaksanakan dengan tiga sesi. Sesi yang pertama adalah mengidentifikasi masalah (kondisi awal pembelajaran AIK). Sesi yang kedua rencana pelaksanaan pembelajaran yang sesungguhnya setelah menggunakan model pembelajaran AIK. Sesi yang terakhir keefektifan model pembelajaran AIK itu sendiri. Tindaklanjut dari FGD, peneliti rekonstruksikan menjadi-produk pengembangan berupa-buku ajar AIK Multikultural.
Hasil pengembangan model pembelajaran AIK multikultural sebagai temuan dari penelitian ini menguatkan teori James A. Banks di satu sisi, yang mengidentifikasi bahwa diantara karakteristik pendidikan multikulturalisme menjaga eksistensi pihak yang lemah dengan diberikan perhatian khusus dan ditingkatkan eksistensi keberadaannya dalam keragaman bermasyarakat (Banks, 1997).
Pelaksanaan AIK multikultural di STKIP Muhammadiyah Manokwari perlu mempertim-bangkan eksistensi civitas akademika yang jauh lebih sedikit jumlahnya yakni sekitar dua puluh persen. Meskipun demikian, pembelajaran AIK tetap harus dilaksanakan sebagai ciri khas dari perguruan tinggi Muhammadiyah sebagaimana PTMA lainnya di Indonesia. Pihak lemah yang dimaksudkan peneliti, dalam arti sebagai minoritas tentunya butuh pengembangan khusus untuk mampu menjaga eksistensi ditengah mayoritas.
Pada sisi lain, perhatian utama justru lebih banyak diperhatikan untuk mengakomodir mayoritas non-muslim daripada minoritas muslim. Sebagai contoh, ketika pada materi tentang hakikat ibadah (di AIK regular) pada pengembangan model pembelajaran AIK multikultural lebih banyak menekankan pada hakekat manusia dalam pandangan Islam. Yakni, menjelaskan bagaimana posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki dua tugas utama yakni sebagai hamba Tuhan (‘abdullah) dan sebagai pemakmur maupun penjaga dunia (khalifah).
Proposisi Teori
Ali menjelaskan di mana penelitian ini juga menguatkan teori Abdullah Ali tentang pendidikan multikultural yang memiliki prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan (Aly, 2011). Ketiga prinsip tersebut menjadi prinsip dasar dalam pelaksanaan pengembangan model pembelajaran AIK.
Orientasi pendidikan multikultural adalah kemanusiaan, kedamaian dan kebersamaan menurut Abdullah Aly sang peneliti pendidikan multikultural pesantren tersebut. Begitu halnya, temuan ini mengantarkan kepada suatu proposisi bahwa model pembelajaran AIK Multikultural berorientasi membangun harmoni antar umat beragama, merawat kedamaian dalam merajut kebersamaan.
Sehingga, sikap yang dibangun dalam model pembelajaran AIK multikultural adalah saling mengakui, menghargai dan menerima berbagai karakteristik keberagaman antar mahasiswa untuk mewujudkan harmoni dan kebersamaan dalam keragaman. Senada dengan hal ini adalah konsep pendidikan agama berwawasan multikultural sebagaimana diajukan Baidhawy (2005).
Dengan pengembangan model AIK multikultural yang dikembangkan dari penelitian ini, metode pembelajaran yang digunakan dikembangkan lebih variatif, disamping menggunakan metode ceramah, diskusi juga digunakan untuk membuka ruang dialog antar mahasiswa maupun dengan dosen pengampu.
Penelitian ini menguatkan pendapat Baidhawy bahwa di antara prinsip pendidikan agama berwawasan multikultural adalah terbuka dalam berfikir dan saling percaya (mutual-trust), saling memahami (mutual-understanding) dan saling menghargai (mutual-respect). Hasil penelitian ini juga menguatkan teori James A. Banks bahwa pendidikan multikulturalisme menjaga eksistensi pihak yang lemah dengan diberikan perhatian khusus dan ditingkatkan eksistensi keberadaannya dalam keragaman.
Simpulan
Pelaksanaan pembelajaran AIK di STKIP Muhammadiyah Manokwari sebelum dilakukan penelitian ini menurut hasil pengamatan peneliti cenderung monoton dalam menggunakan metode-metode pembelajaran yang digunakan oleh para dosen, lebih banyak menggunakan metode ceramah.
Lebih daripada itu, ada kekhawatiran para dosen dalam melaksanakan perkuliahan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Hal ini wajar adanya, karena mayoritas mahasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini adalah non-muslim sehingga kekhawatiran menyinggung keyakinan menjadi momok bagi dosen pengampu AIK.
Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan untuk merancang sebuah pendekatan multikultural dalam mengajarkan AIK tanpa meninggalkan materi mata kuliah melalui beberapa prosedur. Satu diantaranya, domain empiris bukan aspek utama namun hanya menjadi aspek penunjang. Hal ini dikarenakan memiliki objek pengetahuan yang suprarasional dilihat dari aspek aqidah.
Temuan model pengembangan yang berbasis multikultural menjadi suatu solusi membelajarkan AIK meski kepada mahasiswa non-muslim yang lebih variatif. Metode bukan hanya monoton pada metode ceramah namun juga dapat dilaksanakan melalui diskusi, menghargai perbedaan agama, tidak membedakan agama Islam dan Nasrani.
Semua mahasiswa diberikan kebebasan mengutarakan pendapatnya sesuai dengan agamanya masing-masing tanpa adanya rasa takut didalamnya, sehingga disinilah letak pembelajaran AIK berbasis multikultural daripada lainnya.
Hemat peneliti, model pengembangan AIK multikultural yang diterapkan di kampus mayoritas beragama nasrani dengan mengaplikasikan model pembelajaran yang sesuai keadaan, lingkungan sekitar lebih efektif dan humanis. Hasil pengembangan model pembelajaran AIK multikultural menguatkan teori James A. Banks bahwa pendidikan multikulturalisme menjaga eksistensi pihak yang lemah dengan diberikan perhatian khusus dan ditingkatkan eksistensi keberadaannya dalam keragaman.
Temuan penelitian ini juga menguatkan identifikasi Abdullah Aly tentang pendidikan multikultural yang memiliki prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan; Orientasi pendidikan multikultural adalah kemanusiaan, kedamaian dan kebersamaan; serta sikap yang dibangun dalam model pembelajaran AIK multikultural adalah saling mengakui, menghargai dan menerima keberagaman. Senada dengan hal ini adalah konsep pendidikan agama berwawasan multikultural sebagaimana diajukan Baidhawy (2005).
Keefektifan dari pembelajaran ini, ditunjukan dengan respon mahasiswa yang lebih baik dalam proses pembelajaran. Dosen lebih banyak memberikan kebebasan berpendapat sesuai dengan keyakinan mahasiswa sehingga mahasiswa lebih responsive dan memiliki ketertarikan lebih banyak terhadap pembelajaran AIK berbasis multikultural. Dosen lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator pembelajaran.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran AIK multikultural lebih dapat diterima dan mendapatkan respon yang baik dari mahasiswa non-muslim. Implikasi teoritis dan praktis dari pengembangan model pembelajaran AIK berbasis multikultural adalah sebagai berikut.
Pertama, pendekatan multikultural dalam pembelajaran AIK lebih banyak memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berfikir lebih terbuka, lebih menerima dan memahami antar keyakinan beragama.
Kedua, prinsip pembelajaran AIK multikultural adalah demokrasi, kesetaraan, keadilan, keterbukaan dan saling memahami. Ketiga, pembelajaran AIK multikultural menjaga eksitensi keberadaan masing-masing mahasiswa terutama non-muslim dalam keragaman berkeyakinan, proposisi ini lebih spesifik dari apa yang dikemukakan oleh James A. Banks tentang teori pendidikan multikulturalisme dalam menjaga eksistensi pihak yang lemah. (*)
Sumber: www.timesindonesia.co.id