Meminjam istilah Sayidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajh: ‘hikmah adalah barang hilang dari kaum muslimin, maka pungutlah hikmah meski dari kaum munafik’. Tulisan Nurbani Yusuf ini kembali mengingatkan betapa pentingnya Pancasila sebagai falsafah bangsa. Kepribadian dan dasar bernegara setelah sekian lama dimarginalkan. Buku berjudul Merebut Tafsir Pancasila sangat pas dan strategis mengingat kondisi bangsa dan negara kita yang oleng.
Kita tersentak dan kaget ketika Pancasila ditafsir dan direduksi satu kelompok kehendak politik yang berbeda— lantas ke mana saja ‘kita’ selama ini hingga Pancasila buah hikmah para ulama faundhing father pendiri negara ini ditelantarkan, tidak dihitung, apalagi ditafsir, dipikir saja tidak. Jujur diakui ada sebagian gerakan politik Islam yang memosisikan Pancasila sebagai musuh, taghuts alias berhala yang harus enyah, mempercayai Pancasila sama dengan kafer karena ia bersumber pada hukum buatan manusia. Pikiran macam begini melahirkan sikap konfrontatif — Pancasila adalah musuh yang harus enyah digantikan syariat Islam, dan simbol simbol agama lainnya.
Akibatnya jelas Pancasila menjadi sasaran amuk. Gerakan Islam akhirnya tetap jalan ditempat. Bongkar pasang ideologi negara tak pernah selesai. Kembali jauh kebelakang disaat negara yang masih belum merdeka.
Ketika posisi Pancasila sebagai ideologi negara terancam digempur ideologi transnasional baik sekuler maupun agama, lantas ada ikhtiar untuk menjaga Pancasila, maka dibuatlah HIP. Semua kaget berbagai spekulasi mengemuka tapi itu pertanda baik. MUI Muhammadiyah dan NU membentuk tim ‘menyelamatkan’ ideologi Pancasila dari ancaman. Sebagian mengatakan Pancasila tengah berada di tengah cengkeram PKI, sebagian bilang liberalisme dan sebagian bilang neo kolim- bagi saya tak penting, bjsa saja semua benar tapi bisa saja semua salah atau benar sebagian dan salah sebagian. Ironis. Pancasila yang merupakan buah hikmah para ulama faundhing father pendiri negara ditelantarkan.
Ki Bagus Hadikoesoemo dan kyai Wahid Hasyim adalah dua tokoh ulama sentral yang merelakan tujuh kata sila pertama dihapus demi kesatuan dan persatuan kita lupakan. Buah hikmahnya kita abaikan sambil terus mencari ideologi alternatif yang belum karuan. Dr Alfian melihat ideologi Pancasila dalam tiga perspektif: dimensi idealitas dimensi fleksibilitas dan dimensi realitas— ketiganya bekelindan saling berkait. Pancasila sebagai ideologi memberi nuansa dan cara pandang yang terbuka, demikian tiga tokoh pemikir nasional memberi analisa sekaligus kritiknya.
Buya Syafii misalnya memberi catatan khusus betapa pentingnya membumikan ideologi Pancasila dalam ke hidupan sehari hari. Ikhtiar mengganti atau mencari idelogi alternatif sudahlah buang buang waktu dan beresiko besar.
Yudi Latif menyebut nya sebagai Civic religion untuk mengatakan bahwa ideologi Pancasila di atas negara sebagai sesuatu hal pokok dan mendasar. Dalam Perspektif negara paripurna, Yudi Latif menyebut ideologi Pancasila sebagai titik temu berbagai ideologi yang tumbuh berkembang. Pun dengan Yudian Wahyudi juga tak kalah inovatif ketika menyebut bahwa ideologi Pancasila adalah sesuatu yang tidak harus selalu dipertentangkan dengan agama. Meski ada sebagain kecil kelompok minoritas yang mengatas namakan mayoritas hendak mengubah Pancasila dengan ideologi agama. Sebuah ikhtiar yang pasti akan banyak mendapat perlawanan dari berbagai elemen bangsa. Pemikiran ketiga tokoh nasional tentang restorasi ideologi Pancasila ini sangat menarik sebagai sebuah diskursus di ruang publik— dengan begitu ideologi Pancasila akan hadir di ruang publik bukan semata ideologi negara yang elitis dan formalistik.
Pancasila senagai ideologi harus hadir di tengah kehidupan keseharian dan semua aspek sosialitasnya untuk memberi corak dan karakter kebangsaan yang utuh. Koneksitas antara idealitas realitas dan fleksbleitas ini lah yang memungkinkan Pancasila tumbuh kuat dan relevan dengan semangat jaman. Dengan begitu kehadiran Pancasila sebagai ideologi akan terus terbarukan— dalam pengertian dan pemaknaan bukan dalam substansi generiknya. Realitas inilah yang harus terus di usahakan dan diperkuat dalam berbagai diskursus dan ide-ide publik. Sebagai ideologi, Pancasila juga bersifat relatif spekulatif bahwa Pancasila itu bebas nilai karena bergantung pada siapa yang menafsirkannya— hal mana merupakan sebuah kekuatan juga kelemahan sekaligus.
Dalam konstruk bangunan ideologis nya maka Pancasila menyandang empat dimensi sekaligus yaitu dimensi idealitas dimensi realitas dimensi fleksibelitas dan dimensi relatif spekulatif. Ke empat dimensi tersebut menjadi penguat dan penopang yang kokoh. Restorasi ideologis Pancasila akan terus tumbuh dan kuat bila ke empat dimensi tersebut berjalan beriringan bukan saling menafikkan apalagi menghilangkan satu sama lainnya. Empat dimensi itu mesti terus dirawat untuk merestorasi ideologi Pancasila se cara utuh dan holistik. Saya bersyukur ada PKI yang keras mengingatkan sehingga kita menjadi sadar kembali, bahwa Pancasila adalah ‘daarul ahdy wa syahadah’ kata orang Muhammadiyah dalam muktamar Makasar dan Pancasila adalah final kata orang NU. (Romo Kyai Ahmad Shiddiq, Rais Am Syuriah NU).
Greg Barton dengan nada cemas mengatakan di mana-mana umat Islam selalu disibukkan dengan perbedaan pilihan politik, perbedaan tokoh dan partai-partai Islam yang fanatik tapi kecil pengikut’.
Saatnya umat Islam kembali ke titik awal memperbaharui niat berbangsa dan bernegara tidak terus merawat konflik yang tidak berkesudahan karena perbedaan pilihan politik perbedaan warna merah, kuning, hijau atau abu abu yang diagamakan. Semoga menjadi bagian yang mendamaikan di tengah sengkarut ideologi. (@nurbaniyusufq)
Sumber: www.timesindonesia.co.id