Sulistyawati, mahasiswa program Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (25/7/2020) ujian disertasi promosi doktor secara daring. Dalam riset disertasinya, dia meneliti sorgum.
Dikatakan Sulistyawati, pemerintah selalu berusaha dalam peningkatan produksi pangan di Indonesia. Hal tersebut sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Selain perubahan iklim global yang sulit diprediksi, kendala lain yang harus dihadapi adalah keterbatasan lahan yang sesuai untuk membudidayakan tanaman pangan.
"Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan kurang produktif, khususnya lahan marginal kering sehingga dapat dikembangkan sebagai alternatif pangan lokal selain beras," terangnya.
Melihat permasalahan tersebut Sulistyawati, menjadikan Sorgum sebagai bahan penelitian disertasi. Berdasarkan sejarah perkembangannya, sorgum merupakan tanaman pangan yang sudah dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sejak lama namun saat ini mulai berkurang bahkan di beberapa daerah sudah hilang.
"Satu hal menarik, ada beberapa wilayah yang secara terus menerus mengusahakan sorgum lokal meskipun sangat terbatas, salah satunya Jawa Timur," ungkapnya.
Ditemui di sela persiapan pendaftaran ujian Sulistyawati mengatakan, hasil survey yang dia lakukan pada April-Mei 2017 lalu di beberapa daerah Jawa Timur. Khususnya daerah yang masih membudidayakan sorgum. Seperti Pasuruan, Lamongan, Tuban, Sampang, Tulungagung dan Jombang.
Kelebihan dan Kekurangan Sorgum
Sulistyawati menjelaskan produk utama sorgum adalah biji yang bisa dimanfaatkan sebagai pangan maupun pakan. Potensi sorgum sebagai bahan pangan cukup besar, terutama untuk pengganti pangan pokok beras maupun terigu. Biji sorgum memiliki kandungan nutrisi dan kalori cukup tinggi, namun apabila digunakan sebagai bahan makanan diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan kadar tannin dengan cara penyosohan atau perendaman.
Di sisi lain apabila dibandingkan dengan jenis serealia yang lain, nutrisi sorgum tidak jauh berbeda. Secara umum kadar protein sorgum lebih tinggi dari jagung, beras pecah kulit dan jawawut tetapi lebih rendah dibandingkang gandum. Kadar lemak sorgum lebih tinggi dibanding beras pecah kulit, gandum, jawawut dan lebih rendah dibanding jagung.
Di samping itu tepung sorgum mempunyai kelebihan dibandingkan terigu, yaitu tidak mengandung gluten. Gluten merupakan protein spesifik (terdiri dari glutenin dan gliadin) yang terkandung dalam serealia tertentu dan akan berdampak negatif jika dikonsumsi oleh orang yang menderita penyakit. Khususnya penyakit celiac, intoleran terhadap gluten,atau menderita autoimun.
Dosen di salah satu universitas swasta di Pasuruan ini menambahkan, upaya mensubstitusi tepung terigu menjadi salah satu tujuan Badan Ketahanan Pangan melalui program diversifikasi pangan. Program ini telah digulirkan sejak lama, namun sampai saat ini efektivitasnya masih rendah. "Mengubah pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia menjadi lebih beragam dan tidak terlalu bergantung kepada berasdan terigumasih menjadi program pokok sampai saat ini," jelasnya.
Menyikapi permasalahan perkembangan sorgum yang lambat dan sebagai upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan di Indonesia. Karenanya perlu dilakukan kajian tentang genotype sorgum lokal sebagai pendekatan untuk mendapatkan dan menjelaskan variasi genetik dan hubungan kekerabatan genotipe sorgum lokal, khususnya yang berada di wilayah Jawa Timur.
Hasil Eksplorasi Karakterisasi dan Analisis
Berdasarkan kegiatan eksplorasi, karakterisasi dan analisis yang dilakukannya, Sulistyawati mendapati data di mana ditemukannya sembilan genotipe sorgum lokal di wilayah Jawa Timur. Khususnya Pasuruan, Lamongan, Tuban, Sampang, Tulungagng dan Jombang. Sembilan genotipe tersebut selanjutnya diberi nama sesuai dengan inisial kota yaitu Sb.Pas, Sb.Lmg 1, Sb.Lmg 2, Sb.Tbn, Sb.Lmg 1, Sb.Lmg 2, Sb.Tag 1, Sb.Tag 2, dan Sb.Jbg.
Berikutnya data variasi genetik dan hubungan kekerabatan sembilan genotipe sorgum lokal Jawa Timur berdasarkan karakter morfologi, agronomi, fisiologi dan molekuler. Terbukti adanya keragaman genetik dan perbedaan fenotipe sembilan genotip sorgum lokal yang ditemukan. Rangkuman dari data-data yang diperoleh, dapat disusun “Deskripsi genotipe sorgum lokal Jawa Timur berdasarkan karakter morfologi, agronomi dan fisiologi” yang selanjutnya digunakan untuk dasar penentuan genotipe unggul sebagai bahan konservasi plasma nutfah dan pengembangan varietas dalam program pemuliaan.
"Temuan berikutnya yang saya dapatkan berdasarkan data potensi produksi sembilan genotipe sorgum lokal Jawa Timur yaitu potensi produksi dari penanaman I, penanaman II, keprasan I dan keprasan II menunjukkan keragaman namun seluruhnya memiliki kemampuan untuk dikepras," paparnya.
Temuan lainnya berdasarkan hasil karakterisasi diperoleh deskripsi sembilan genotipe sorgum lokal Jawa Timur dan dari seluruh genotipe tersebut terdapat Lima genotipe unggul, yaitu: Sb.Lmg 1, Sb.Tbn, Sb.Spg 2, Sb.Tag 1 dan Sb.Tag 2.
Sulistyawati berharap bahwa keberlanjutan jangka panjang dari hasil penelitian ini dapat mendukung pencapaian program ketahanan pangan di Indonesia. Satu hal yang menggembirakan bahwa pada tahun 2020 Badan Ketahanan Pangan kembali memasukkan sorgum sebagai salah satu komoditas pendukung diversifikasi pangan nasional yang diawali dengan peluncuran program bantuan benih sorgum.
Program tersebut sangat bermanfaat bagi petani maupun wilayah penghasil sorgum dalam mengembangkan komoditas tersebut mengingat luas pertanaman sorgum di Indonesia hingga saat ini masih perlu penambahan. "Tercatat ada sekitar 15 ribu hektar yang tersebar di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu sebagai bukti keseriusan pemerintah terhadap pengembangan sorgum, pada tahun 2020 Kementerian Pertanian mengalokasikan lahan seluas 5.000 hektare untuk meningkatkan produksi," jelas Sulistyawati, mahasiswa S3 UMM. (dik)
Sumber: https://www.timesindonesia.co.id