Tingkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia Melalui Kerjasama Beasiswa Bagi Mahasiswa Dari Negara Non Blok
11/07/2024 03:00
Bahasa adalah hasil berpikir yang paling menyolok mata dan penting. Imaji, yang sekarang dianggap sebagai hasil dari pemikiran daripada metode berpikir itu sendiri, akan tertanam di otak kita sampai kita dapat membukanya. Kita semua harus menyadari betapa pentingnya bahasa untuk kehidupan manusia, terutama para guru bahasa dan guru umum. Mereka harus benar-benar menyadari dan memahami bahwa tujuan utama pengajaran bahasa adalah agar siswa mahir membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan berbahasa. Kemerdekaan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan standar yang disepakati oleh orang yang menggunakannya disebut kemerdekaan berbahasa.
Dalam sebuah teks pidato, terdapat keterkaitan yang erat antara bahasa, kekuasaan, dan ideologi. Bahasa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mempengaruhi opini, memperkuat dominasi, dan membentuk pemikiran individu dan kelompok. Di dalam teks pidato, kekuasaan tercermin dalam cara pemimpin menggunakan bahasa untuk mengontrol, memobilisasi, atau menggerakkan audiens. Bahasa juga berperan penting dalam penyebaran ideologi. Ideologi adalah sistem nilai, keyakinan, dan pandangan dunia yang dianut oleh individu atau kelompok tertentu. Bahasa digunakan untuk menyampaikan, memperkuat, dan melegitimasi ideologi yang ingin diadvokasi oleh pembicara. Pemilihan kata, framing, dan retorika digunakan untuk membentuk narasi yang sesuai dengan ideologi yang dianut. Pemimpin yang memberikan pidato memiliki posisi dan otoritas yang memberikan pengaruh dan kekuasaan pada audiensnya. Pemilihan kata dan framing yang digunakan dalam pidato bisa memperkuat klaim identitas kelompok tertentu, menegaskan perbedaan budaya, etnis, atau politik, serta membangun solidaritas dalam kelompok tersebut.
Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah para elite politik dalam menggunakan bahasa tidak jarang mereka mengabaikan norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan, dalam hal ini menunjukkan bahwa pengguna bahasa memiliki kuasa dalam menggunakan bahasa. Bukan rahasia umum jika bahasa dipakai sebagai alat politik, baik dalam menggunakan bahasa tersebut sebagai pencitraan ataupun tertuang dalam spanduk, baliho dan lainnya.
Fairclough pada tahun 1989 berpendapat bahwa bahasa dapat menunjukkan perbedaan kekuasaan atau jarak antara penutur dan lawan tuturnya. Dengan tuturan tidak langsung, kekuasaan dapat terlihat secara implisit. Melihat fenomena kecenderungan pada elit politik yang menggunakan bahasa disampaikan dalam berpolitik membuat Abd. Ghofur, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah malang meneliti seperti apa bahasa kekuasaan dan ideologi yang tercermin secara nyata dalam sebuah wacana pidato Inagurasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terpilih pada tahun 2017 menggunakan teori tiga dimensi Norman Fairclough.
Dari sisi objek teliti memang tidak lagi baru, namun menariknya isi pidato tersebut masih cukup mumpuni untuk diteliti, dalam hal ini kandungan kuasa bahasa dan ideologi cukup dominant digunakan oleh Donald Trump. Keputusan untuk menggunakan konsep tiga dimensi Norman Fairclough sebagai dasar analisis analisis wacana dalam penelitian yang ia lakukan didasarkan pada keyakinan bahwa pendekatan ini dapat menjawab berbagai pertanyaan. Selain itu, konsep ini terletak pada perspektif holistiknya terhadap bahasa, yang melihat bahasa sebagai semiotik sosial.
Teks pidato ini sengaja ia pilih dengan berbagai pertimbangan. Dimana Trump selama masa kampanye telah banyak melakukan perang saraf media, yang digunakannya sebagai instrumen penting dalam membina reputasi dan kredibiliti serta sudah teruji bahwa Trump pada tahun 2016 adalah seorang ahli strategis dalam perang urat saraf. Yang mampu mengalahkan lawan politiknya yang justru lebih berpengalaman seperti Hillary Clinton. Disadari atau tidak melalui bahasa keduanya mencoba untuk menyampailan ideologi mereka untuk meraih simpati dari para pemilih.
Melalui hasil penelitiannya, Ghoful mendapati hasil bahwa pidato Trump cenderung menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan langsung. Trump sering mengulangi frasa dan slogan untuk memperkuat pesan-pesannya. Penggunaan tata bahasa yang tegas dan pengulangan dapat mencerminkan upaya untuk menekankan dan mengkonsolidasikan gagasan-gagasan yang ingin disampaikan, Dalam dimensi diskursif, pidato Trump mencerminkan orientasi politiknya yang populis dan retorika yang menarik emosional. Dia sering menggunakan kalimat-kalimat yang menggugah emosi dan mengaitkan dirinya dengan aspirasi dan kekhawatiran masyarakat umum. Selain itu juga sering menyerang dan mengkritik lawan-lawannya secara langsung, menciptakan pembagian antara "mereka" dan "kita". Pada dimensi sosial-budaya, pidato Trump mencerminkan ideologi nasionalis dan proteksionis yang menekankan kepentingan dan kebanggaan Amerika Serikat. Menekankan pentingnya melindungi kepentingan Amerika Serikat dan mendahulukan kebutuhan warga negara Amerika dalam kebijakan dan tindakan pemerintahan. Pidatonya juga sering mengaitkan "kepemimpinan" dan "kekuatan" dengan Amerika Serikat sebagai negara.
Dalam pidato tersebut, terdapat beberapa poin penting yang menunjukkan ideologi yang tercermin dari perspektif Fairclough. Seperti bahasa populis dimana Trump menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Ini mencerminkan pendekatan populisnya yang menekankan keterhubungan langsung dengan rakyat. Bahasa Populis mengacu pada penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan terjangkau oleh masyarakat umum. Bahasa ini digunakan untuk memperkuat keterhubungan langsung antara pemimpin politik dan rakyatnya. Gaya berbicara yang populis bertujuan untuk menarik perhatian dan mendapatkan dukungan dari sebanyak mungkin orang. Dalam konteks politik, penggunaan Bahasa Populis oleh para pemimpin politik seringkali digunakan untuk membangun citra diri sebagai "orang biasa" yang berada di tengah-tengah masyarakat, dan menekankan bahwa mereka dapat memahami dan mewakili kepentingan rakyat. Bahasa Populis juga dapat mencerminkan pendekatan politik yang menentang elitisme dan menekankan kesederhanaan serta kesederhanaan dalam komunikasi politik.
Selain itu Ghofur juga mendapati retorika Anti-Establishment cukup banyak ditemukan pada pidato tersebut, Trump mengecam kelompok elit politik dan birokrat yang dianggapnya telah mengabaikan kepentingan rakyat biasa. Hal ini mencerminkan sikapnya yang anti-establishment dan menjanjikan perubahan. Retorika Anti-Establishment sendiri merujuk pada penggunaan strategi komunikasi yang bertujuan untuk menentang atau merongrong pihak-pihak yang dianggap sebagai "establishment" atau kekuatan dominan dalam struktur politik, ekonomi, atau sosial. Retorika ini sering digunakan oleh tokoh politik atau gerakan sosial sebagai cara untuk memperoleh dukungan dan memobilisasi massa dengan mengkritik sistem yang ada dan menawarkan alternatif yang dianggap lebih baik.
Memahami Retorika Anti-Establishment sama saja kita memahami tentang Hegemoni Antonio Gramsci. Dimana dalam teori ini dijelaskan bagaimana kelompok-kelompok dominan atau "establishment" menjaga dan memperkuat kekuasaan mereka dengan mempengaruhi dan mengendalikan pemikiran, nilai, dan keyakinan masyarakat melalui budaya, media, dan lembaga-lembaga sosial. Retorika Anti-Establishment menjadi alat yang digunakan oleh kelompok-kelompok oposisi untuk melawan hegemoni tersebut dan mencoba membangun alternatif yang lebih inklusif dan adil. Sejalan dengan teori hegemoni, teori Populisme dirasa pas untuk menelaah retorika anti-establishment tersebut. Dalam hal ini merujuk pada bagaimana pemimpin populis menggunakan retorika yang menekankan perpecahan antara "elite" dan "rakyat" untuk memperoleh dukungan dan menggalang massa. Pemimpin populis sering menggunakan bahasa yang emosional, sederhana, dan menarik bagi rakyat dalam upaya untuk menciptakan identifikasi dengan kelompok sasaran.
Konteks ideologi lainnya yang begitu dominan dari hasil analisis adalah Trump menekankan pentingnya memprioritaskan kepentingan Amerika dan rakyatnya. Dia menekankan perlunya melindungi lapangan kerja, industri, dan keamanan nasional dari ancaman luar. Ini mencerminkan ideologi nasionalis dan proteksionis yang dianutnya. Dalam konteks teori hegemoni, nasionalisme dan proteksionisme dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan atau memperkuat dominasi suatu kelompok atau negara tertentu dalam konteks politik dan ekonomi.
Melalui penelitiannya ini Ghofur berharap bahwa penelitia ini bisa menjadi salah satu rujukan bagi para pembaca, terutama mereka yang memiliki minat pada retrorika politik, serta yang berminat dalam bidang linguistik terapan agar dapat mengambil manfaat dari penelitian ini dalam bentuk pemahaman atas pengaruh bahasa emosional dan persuatif, pemahaman akan retrorika populis dan retrorika anti-establisment.