Tingkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia Melalui Kerjasama Beasiswa Bagi Mahasiswa Dari Negara Non Blok
11/07/2024 03:00
Diskursus mengenai korupsi birokrasi berakhir pada perdebatan tidak lagi secara secara teoritik, tetapi sudah pada tingkatan paradigmatik. Melihat banyaknya jurnal internasional maupun berbagai penelitian yang membahas mengenai korupsi birokrasi, alur penelitian cenderung dominan pada level makro dan nilai-nilai diluar individu dalam melakukan tindakan korupsi birokrasi. Namun banyak pakar maupun praktisi ketika ditanya oleh para host pada berbagai tayangan di televisi berpendapat bahwa aktivitas korupsi merujuk sebagai tindakan individu aktor itu sendiri dan tidak ada yang mengklaim bahwa itu merupakan suatu tindakan yang dilakukan atas dasar nilai tertentu yang menjadi keyakinan kelompok. Disinilah titik awal mula bagaimana diskusi mengenai korupsi birokrasi terdapat dua alur paradigma yang berbeda.
Tertarik akan pembahasan terkait korupsi birokrasi membuat Insyira Yusdiawan Azhar, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini mengangkat tema tersebut menjadi sebuah penelitian disertasi. Insyira mengungkapkan bahwa penelitian yang mengambil sebuah studi fenonomenologi para actor fungsional terkait negotiated order yang ada dikota Palu ini awalnya bercerita bahwa terdapat kecenderungan secara sosial di masyarakat yang menganggap fenomena korupsi di segala bentuknya merupakan fenomena budaya, sehingga muncul istilah “budaya korupsi”. Penyebutan istilah yang masih belum secara paten secara ilmiah tersebut seolah menjadi suatu kebiasaan yang telah mapan bahkan diyakini sebagai sesuatu yang melekat pada tubuh birokrasi. Tetapi penggunaan istilah tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan mengingat banyak masyarakat yang kecewa terhadap perilaku birokrasi yang terkena kasus korupsi maupun pengalaman mereka ketika berhadapan dengan birokrasi yang benar-benar korup.
Insyira mengemukakan ada beberapa poin utama kajian yang ia hasilkan dari penelitiannya. Pertama, mengenai dinamika internal birokrasi termasuk berbagai permasalahan yang dialami oleh aktor birokrasi. Dimana ia mendeskripsikan bagaimana pengalaman para aktor ketika bekerja sebagai seorang birokrat. Kondisi dan suasana bekerja dalam birokrasi selalu menjadi suatu mysteri box karena banyak akademisi dan publik sebenarnya tidak benar-benar mengetahui kondisi dan cenderung menerka-nerka situasi pekerjaan yang terjadi. Banyak penelitian terlalu yang lebih berfokus secara makro namun sangat sedikit yang melakukan penelitian secara mikro. Penelitian yang dilakukan secara mikro ini berhasil menggambarkan sedikit bagaimana faktor geografis, SDM yang tidak merata dan ketidakseimbangan antara pendapatan fungsional dan struktural menjadi salah satu komponen dalam kegiatan negosiasi pembentukan tatanan informal masalah anggaran.
Kedua, munculnya negotiated order sebagai suatu tatanan informal yang menggantikan tatanan formal dalam skema pengaturan anggaran secara ilegal. Skema pencairan anggaran yang selama ini didasari atas dasar aturan legal formal ternyata memiliki skema lain secara informal yang dilakukan antar beberapa aktor melalui negosiasi. Hal ini yang seringkali luput dari banyak penelitian yang membahas mengenai korupsi birokrasi. Deskripsi dan penjelasan yang ia sertakan berhasil mengulas modus operandi bagaimana negosiasi telah dilakukan serta kajian teoritik negotiated order dicabar. Namun insyira menungkapkan masih ada masalah dimana pengabaian faktor struktur merupakan pengabaian pada institusi sebagai bagian dari negosiasi.
Ketiga, alasan mengapa aktor memilih untuk ikut terlibat dalam skema pengaturan anggaran. Dalam muannya ia membahas secara mikro yang ditunjukkan dari bagaimana keberhasilan dalam menelusuri rekam jejak para aktor hingga kondisi para aktor ketika terlibat dalam penyelewengan anggaran. Tidak semua aktor ketika secara sadar melakukan hal tersebut merupakan suatu pelanggaran moral. Penggambaran kondisi dan situasi oleh para aktor ini yang akhirnya ia pahami mengapa aktor melakukan tindakan penyelewengan tersebut. Adanya faktor tekanan eksternal dari luar individu para aktor yang menyebabkan beberapa aktor yang berada di level bawah tidak berkutik dan cenderung mengikuti alur. Meskipun para aktor kalah secara hierarki bukan berarti mereka tidak mengetahui bagaimana praktik penyelewengan yang terjadi. Justru alur bawah yang berperan dalam pencairan anggaran. Sehingga aktor pegawai di lapangan yang merasakan penderitaan akibat negosiasi yang berlangsung.
Insyira menyadari bahwa bagaimanapun sebuah penelitian selalu memiliki keterbatasan dan dapat menjadi suatu diskursus dalam kajian negotiated order terutama pada kasus korupsi birokrasi. Ia berharap bahwa dengan penelitian ini dapat memicu peneliti lain untuk membuat suatu karya berupa kritik atau menambah proposisi baru pada penelitian selanjutnya serta dapat memicu penelitian lain dengan tema korupsi birokrasi pada level mikro.