Dosen Sosiologi UMM Soroti Kasus Pornografi sebagai Kasus Sosiologis yang Serius
10/01/2025 02:44
Reformasi yang digelindingkan tahun 1998 telah melahirkan dan menghadirkan produk Undang-Undang No. 22 tahun 1999, kemudian berganti menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal UU Otonomi Daerah. Lahirnya UU ini membuka peluang dan mendorong aspirasi daerah dengan keinginan memiliki kewenangan mengurus daerah sendiri, serta memilih pemimpin (lokal) yang disepakati lewat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung dan demokratis. Terbukanya atmosfir demokrasi di Indonesia melalui desentralisasi, telah memberi kesempatan kepada siapa saja untuk menaiki status sosial yang selama rezim Orde Baru tidak akan mungkin diraihnya. Melalui partai politik, impian setiap aktor politik untuk berkuasa lalu diwujudkan, bahkan diperjuangkan. Tumbangnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mekarnya reformasi, memulai suatu babak baru politik. Pasca pemekaran wilayah kabupaten/kota di Maluku Utara, hadir elit-elit lokal yang tampil secara mengejutkan. Kehadiran elit lokal adalah dengan memanfaatkan modal simbolik yang dimiliki untuk membangun relasi kekuasaan dengan politik identitasnya, yang di kemudian hari diikuti juga oleh lingkaran keluarga. Politik identitas yang diperlihatkan, menunjukkan bahwa kekuasaan diraih dengan penggunaan sumberdaya kekuasaan, pencitraan, dan berbagai cara, yang kerap menimbulkan resistensi di tengah masyarakat. Hanya saja, tekanan, terutama melalui etnis, institusi partai politik, dan kekuatan finansial lebih dominan menjadikan elit lokal mudah memenangkan kompetisi.
Melalui alasan dan gejala yang diuraikan di atas, M. Rahmi Husen, salah satu mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat jaringan relasi kuasa politik identitas berbasis modal simbolik studi kasus pada Pemilukada tahun 2020 di Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara sebagai topic penelitian disertasinya. Hal ini dijelaskan M. Rahmi Husen, bahwa berdasarkan pendekatan yang dilakukan memang lebih mengutamakan aspek “proses” dari pada “hasil” yang memungkinkan untuk mengedepankan perspektif emik. Karena dalam kenyataannya, proses relasi kuasa, terutama politik identitas memerlukan pendalaman yang siklis, karena tentu hampir pasti, persoalan identitas amatlah beresiko. Untuk itu guna memperoleh gambaran seutuhnya diperlukan sebuah “kasus” Pemilukada tahun 2020 di dua wilayah tersebut. Dengan kasus tersebut, perspektif dapat dikaji dan didalami untuk dapat membuka fenomena di balik kenyataan dari relasi kuasa tersebut.
Lebih lanjut mahasiswa yang akrab disapa Pa Naid ini juga mengungkapkan ketika Pemilukada tiba, setiap aktor politik lokal di Maluku Utara bertumpu pada adagium memperjuangkan harkat, martabat, dan kesejahteraan marga dan etnis tertentu, dan itu harus melalui momen Pemilukada. Karenanya, dapat dipahami dalam ajang Pemilukada, makin menguatkan solidaritas marga dan etnis dalam sistem sosial kemasyarakatan terutama di Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Kepulauan Sula.
Dalam praktik politik identitas berbasis modal simbolik, M. Rahmi Husen mengkaji beberapa faktor yakni, subyektivisme dan pengalaman mental aktor dalam mempraktikkan politik identitas, urgensi harkat dan martabat etnis bagi aktor, optimalisasi modal simbolik bagi upaya pemenangan Pemilukada, aktor memanfaatkan lapangan (ranah) dan jaringan, serta konfigurasi jaringan sosial dalam pemenangan Pemilukada. Bagi Maluku Utara, politik berbasis identitas, lebih ditentukan dari terbangunnya jejaring kekuasaan melalui aktor-aktor lokal yang menguatkan relasi kuasanya pada tingkat keluarga dan etnis serta memanfaatkan kekuatan modal ekonomi, modal politik, modal budaya, dan modal simbolik.
M. Rahmi Husen menjelaskan, apa yang dilakukan aktor lokal setiap Pemilukada merupakan praktik politik local, yang mencakup: Kekuasaan politik lokal ditentukan oleh fungsionalitas politik identitas yang bersinergi dengan jaringan modal simbolik. Selanjutnya, keberhasilan kekuasaan politik lokal yang memanfaatkan politik identitas dan modal simbolik tersebut, lebih didukung persetujuan rakyat atas sesuatu yang dipercayai dan diyakini yang diusung aktor untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan kesejahteraan marga dan etnis, serta politik identitas tersebut terkonstruksi berdasarkan habitus yang berupa pengalaman mental dan subyektivisme aktor politik. Selain itu, jaringan relasi kuasa politik identitas berbasis modal simbolik terpelihara sepanjang praktik terjadi proses eksternalisasi-internalitas dan internalisasi-eksternalitas di ranah/field politik lokal.
M. Rahmi Husen menjelaskan bahwa praktik politik lokal dalam sistem sosial Indonesia memiliki kekhasan tersendiri, terutama dalam memaknai politik identitas, di mana setiap daerah di Indonesia memandang dan mempraktikkan politik identitas sebagai sesuatu yang “absah”, yang tidak memecah belah antar warga. Dalam politik modern, lanjut M. Rahmi Husen, politik identitas justru dinilai negatif. Padahal, politik identitas di Indonesia dapat menjadi bantalan untuk menguatkan integrasi yang dapat mewarnai demokrasi. Pa Naid berharap, sepanjang praktik politik identitas itu bertujuan mulia, yakni memperjuangkan harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat, maka politik identitas itu dapat diterima.