Kaji Pendidikan Karakter Nasionalis Religius Dalam Sebuah Penelitian

Sebagai bangsa timur, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beradab yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia seperti gotong royong, saling membantu, saling menghormati, dan lain-lain. Pada zaman sebelum kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai sosok bapak pendidikan dengan sekolah Taman Siswa-nya. Bagi Ki Hajar Dewantara, Pendidikan bukanlah semata-mata membuat anak menjadi pintar, tetapi lebih dari itu, untuk menjadikan manusia yang sempurna dengan memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin atau karakter), pikiran dan tubuh anak.

Namun banyaknya fenomena kemerosotan akhlak atau karakter akhir-akhir ini bermunculan. Di Ponorogo saja melalui laporan PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) IAIN Ponorogo tahun 2023 bahwa pada 2019 ada 43% pelajar putri minta dispensasi nikah (diska) karena hamil duluan dan 2021 menjadi 49,2%.

Pemerintah tidak kurang perhatian sedikitpun terhadap pentingnya pendidikan karakter sangat jelas. Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia bertekad menjadikan pembangunan karakter sebagai bagian dari pembangunan nasional. Tahun 1977 diterbitkan buku saku Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah otoritas Dirjen Kebudayaan. Bahkan sejumlah aturan dan perundang-undangan sejak revormasi disahkan yaitu UU Sisdiknas 20/2003 yang menegaskan tentang tujuan Pendidikan nasional. Lalu Perpres 87/2017 tentang penguatan Pendidikan karakter menuju generasi emas tahun 2045, serta Kebijakan Kementerian Pendidikan pada 2017 terkait dengan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang terdiri dari Relegius, Nasionalis, Mandiri, Integritas, dan Gotong Royong. Kelima nilai utama diharapkan menjadi ruh pendidikan nasional.  

Melihat fenomena tersebut membuat Fathur Rohman yang salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang ingin melihat lebih jauh tentang pendidikan karakter di tingkat SMA dalam sebuah penelitian disertasi. Penelitian yang berfokus seperti apa visi karakter nasionalis relegius, sinergi antara kurikulum pesantren dan kurikulum sekolah dalam pembinaan karakter siswa ini dilakukan di SMA eLKISI IIBS yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur.

Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah harus terintegrasi dengan seluruh aktivitas di persekolahan yang sedang berjalan. Mengutip hasil penelitian Darmiyati Zuchdi (2010), bahwa pendidikan karakter bukanlah pembelajaran sebuah bidang studi tapi menjadi bagian yang terintegrasi dalam keutuhan semua proses pendidikan yang terwujud dalam pembelajaran dan layanan lainnya. Fathur melihat adanya penanaman karakter di SMA eLKISI IIBS bukan hanya sekedar dirumuskan dalam visi misi dan tujuan dari pada SMA eLKISI IIBS, tetapi proses penanaman karakter juga dilakukan melalui pembiasaan dalam keseharian para santri dan semua ustadz.

Di luar visi, misi, tujuan dan motto, SMA eLKISI IIBS \ mengajarkan beberapa karakter yang tidak tertulis secara eksplisit, seperti karakter religius pada indikator: toleransi, cinta damai, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan. Sedangkan pada karakter nasionalis pada indikator: menghormati keragamaan budaya, suku dan agama. Karakter tersebut tidak tertulis tetapi diajarkan di SMA eLKISI IIBS. Kurikulum tersembunyi ini tidak direncanakan, tidak diprogramkan dan juga tidak dirancang tetapi mempunyai pengaruh baik secara langsung terhadap output dari proses belajar mengajar.

Dalam hal pembinaan karakter nasionalis relegius, SMA eLKISI IIBS mensinergikan kurikulumnya dengan pesantren yang mencakup sinergi tujuan (univication of goals), sinergi isi (multidisiplinary particular), sinergi metode (Varieties of Method). dan sinergi evaluasi (Holistic Evaluation). di SMA eLKISI IIBS, semua evaluasi disinergikan, walaupun ada siswa yang nilai kognitif dan psikomotoriknya bagus, tetapi secara afektif melakukan pelanggaran, maka pesantren tidak segan-segan menunda kenaikan atau menskorsing atau bahkan mengeluarkannya dari pesantren.

Disisi lain Fathur mendapati profil karakter nasionalis relegius lulusan SMA eLKISI IIBS tampak setelah mereka menamatkan pembelajaran di SMA eLKISI IIBS, mereka memiliki ragam karakter, tetapi dari ragam karakter dan profesi tersebut masih bisa ditarik sebuah karakter umum dari mereka, yaitu karakter moderat dan toleran. Dari dua karakter tersebut diturunkan menjadi karakter nasionalis religius menghasilkan tiga karakter turunan yaitu: hubbul wathan wassalam (cinta tanah air dan cinta damai), kholis wal hafidz ‘ala siddiqoh (tulus dan menjaga persahabatan) dan ihtiromuttanawwu’ wa tafarrodhol irodah (menghormati keragaman dan tidak memaksakan kehendak).

Sedangkan karakter religius nasionalis jika dilihat lebih dalam, menghasilkan empat karakter turunan yaitu: tasamuh wa mukafahati tanammur wal ‘anfi (toleran dan anti-perundungan serta kekerasan), at-tafaulu wal injaz (optimisme dan prestasi), hubbul biiah wa ithoatil qonun (mencintai lingkungan dan taat hukum) dan inthibathi wa taksis (disiplin dan teguh pendirian).

Tak hanya temuan penelitian, Fathur juga memberikan saran kepada semua pihak yang terkait dengan pendidikan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan Islam hendaknya tidak mengajarkan kepada muridnya sikap fanatisme buta dalam bermazhab karena sikap fanatisme buta ini sangat rentan terhadap konflik. Kepada pemerintah, ia juga mengingatkan agar tidak terjadi jurang perbedaan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Hal ini perlu disampaikan karena faktanya Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia bernaungnya beragam, ada yang di bawah Kemendikbud ada juga yang di Kemenag. Kendatipun berbeda kementerian pelayanan tetap harus sama sesuai dengan amanah undang-undang.

Selain itu ia juga mengingatkan kepada para orang tua agar tidak salah memperlakukan anak dalam upaya mendapatkan pendidikan yang baik. Kesalahan perlakuan Pendidikan terhadap anak akan berdampak kepada sikap perilaku yang tidak diinginkan.

Shared: