Kesadaran Subjek Radikal dan Subjek Terberi dalam Ruang Sosial dan Ruang Material Desa Wisata

                 

Muhammad Hayat, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muahammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebijakan tentang Desa wisata berimplikasi pada bergesernya fungsi ruang menjadi lebih mengedepankan fungsi material. Kalkulasi menjadi arena baru dalam ritme interaksi. Hal tersebut terekam juga di Pasar Bunga Sekar Mulyo, Desa Sidomulyo, Kota Batu. Setiap sudut ruang adalah etalase kalkulasi. Bunga sebagai potensi utama pertanian, menjadi penanda ekonomi. Sekitar 500 meter menuju Pasar Bunga Sekar Mulyo, dari  arah jalan besar, adalah etalase tentang ekonomi. Kondisi tersebut menunjukkan mulai bergeraknya ekonomi sebagai kompleksitas kelembagaan ekonomi. Frasa ini bermuara pada ekonomi adalah arena kalkulasi yang mulai menyeruak dalam ikatan paguyuban masyarakatnya. David Harvey menyintesa sebagai time space compression, dimana ruang dan waktu dimampatkan dalam satu titik kemampatan yaitu untung rugi. Etalase ruang yang pongah dalam penanda material menjadi wajah bagi sebagian besar ruang yang ada di Desa Sidomulyo. Menurut Pierre Bourdieu, ruang adalah “field of struggle”, tempat dimana segala sesuatu diperebutkan untuk kepentingan ekonomi. 

Perubahan ruang dari ruang sosial menjadi ruang material berimplikasi pada mulai terkikisnya homogenitas masyarakat, padahal penciri utama dari ikatan ini adalah identitas bersama sebagai basis bertindak masyarakat. Aroma kalkulasi menggeser “Yang Sosial” menjadi “Yang Individual”. Frasa ini menempatkan hasrat sebagai basis bertindak individu. Dalam hasrat, keinginan meng-eliminir pernyataan sosial individu. Pada akhirnya kelompok sosial mengalami proses segregasi menjadi penguatan individu. Mulai muncul individu sebagai basis struktur. Dalam kontek ini, terjadi penguatan nilai-nilai diri dan mulai melemahnya nilai-nilai kelompok. Dalam kacamata sosiologis, diri adalah manifestasi hasrat, sebagai “Yang Material”, kelompok adalah manifestasi sosial yang mempercakapkan individu dalam khasanah “Yang sosial”.

Masyarakat sederhana tidak sepenuhnya terjebak dalam bineritas ruang, sebagai “yang Sosial” dan “Yang Material”. Pengalaman masa lalu sebagai tindakan kolektif adalah struktur sosial yang melekat, dan mampu memberi batas bagaimana memahami tindakan dalam dinamisasi masyarakat dan pada akhirnya melakukan tindakan sosial. Karl Polanyi menyintesa sebagai embeddedness atau keterlakatan akan nilai-nilai masa lalu sebagai cara merefleksikan tindakan sekarang. Masa lalu dalam konteks masyarakat sederhana adalah alam sebagai salah satu cermin yang disimbolisasikan sebagai “Yang Transendental”, pun pada saat sekarang. Alam adalah manifestasi tentang perlindungan, keberkahan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut masih terefleksikan dalam tindakan keseharian masyarakat. Disinilah manusia tidak tercerabut sepenuhnya sebagai manusia dalam arena material, tetapi tetap memberi ruang bagi “Yang Transendental” sebagai arena refleksi”. 

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologis. Kata kunci fenomenologi adalah pengalaman sehari-hari subjek penelitian, sehingga otoritas pengetahuan ada pada subjek tersebut. Oleh karena itu, dalam analisisnya, peneliti harus mampu membangun kedekatan secara personal sehingga mampu terikat dalam kedekatan subjektif dengan subjek penelitian. Kesungguhan adalah bagian penting dari proses untuk merasakan subjektifitas dari subjek penelitian. Max Weber menyebut sebagai interpretetif understanding. Frasa ini menyatakan bahwa kedalaman adalah bagian penting dalam mencari sisi-sisi autentik dari subjek. Alfred Schutz menyatakan bahwa peneliti harus ada dalam ruang epoche, maksudnya mengurung dalam tindakan individual maupun sosial dari subjek. Harapan akhirnya agar mampu menyerap pengalaman sehari-hari subjek. Dari sinilah, peneliti diharapkan mampu memahami motif dari subjek, baik sebagai because of motive (motif sebab) maupun in order to motive (motif tujuan).

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesadaran subjek dari Slavoj Zizek. Menurut Zizek, kesadaran subjek ada dua yaitu kesadaran subjek radikal dan kesadaran subjek terberi (Zizek, 2008). Subjek radikal adalah subjek yang mampu melampaui dan menghancurkan tatanan simbolik. Subjek menjadi “The Real” yang mampu menyadari potensi diri dan digunakan untuk menghancurkan apapun yang menghalangi tindakan individual subjek. Subjek adalah otoritatif, dia ada dan hadir untuk menemukan diri melalui penidakan terhadap apapun yang bersifat simbolik. Sebab “Yang Simbolik” adalah tatanan sosial yang hanya menghancurkan keberadaan diri. Disinilah diri mencoba untuk hadir sebagai “Sang Manifestatif”. Keseluruhan adalah diri, dan diri adalah keseluruhan. Tidak ada “Yang Sosial” apalagi “orang lain”. Sementara kesadaran subjek terberi adalah kesadaran subjek yang dikendalikan oleh “Yang Simbolik”. Kesadaran hilang dalam ketidakmampuan subjek mengenali diri. Subjek selalu terbentur oleh kuasa sosialisasi, dimana simbol-simbol sosialisasi terutama dalam masyarakat industri hanya mengedepankan simbol-simbol fisik. Simbol yang manifestasinya adalah hasrat. Hasrat adalah tentang tubuh dan menghancurkan jiwa. Disinilah, kesadaran subjek terberi kehilangan sisi autentik manusia, yaitu humanis.

Penelitian ini juga menggunakan teori “time space compression” dari David Harvey (Harvey, 2001). Gagasan utamanya ruang adalah hasil objektivasi penguasa ruang, dimana pengendali utamanya adalah kaum kapitalis. Sebagai hasil objektivasi, sejatinya ruang adalah subjektif milik “Sang Pengendali”. Melalui kemampuan mengendalikan secara “hegemoni”, pada akhirnya subjektif menjadi “realitas yang objektif”. Dalam objektivasi, keseluruhan ruang adalah manifestasi tentang “Yang Material”. Waktu dalam ruang adalah perburuan hasrat. Hasrat sebagai “Yang Objektif” pada akhirnya tidak pernah menyisakan ruang untuk sisi paling autentik mdari manusia, yaitu humanis.

Teori ketiga yang digunakan adalah teori the mirror stage dari Jacques Lacan (Lacan, 1999). Manusia tidak pernah mampu menemukan diri, sebab dalam masyarakat industri, manusia selalu terbentur dalam sosialisasi “Yang Simbolik” sebagai penanda hasrat. “Yang Simbolik” sebagai realitas yang sudah terbahasakan cenderung dikendalikan oleh bahasa industri, sehingga dari fase cermin, yang simbolik sampai yang riil, manusia selalu direkam oleh bahasa sebagai manifestasi simbolik hasrat industri. Pada akhirnya, manusia tidak pernah sampai pada “Yang Riil” sebab selalu terjebak dalam hegemoni cermin “Yang Simbolik”.

Titik temu dari teori Slavoj Zizek tentang kesadaran subjek, teori David Harvey tentang time space compression dan teori Jacques Lacan tentang the mirror stage adalah kendali industri yang menitikberatkan pada hasrat sebagai cara menghancurkan sisi paling orisinil manusia yaitu “human”. Human kehilangan ruang untuk mempercakapkan dirinya, diri hilang dalam ketidaksadaran mengenali, berubah menjadi subjek terberi (sintesa Zizek), diri hilang dalam objektivasi ruang material sebagai akibat dari time space compression (sintesa Harvey), dan diri hilang dalam ilusi cermin sebagai ketidakmampuan diri melampaui “Yang Simbolik” karena hancur dalam kendali dan hegemoni sosialisasi “yang Simbolik” (sintesa Lacan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang bunga di Pasar Bunga Sekar Mulyo, Desa Sidomulyo, tidak sepenuhnya ada dalam kesadaran subjek radikal dan kesadaran subjek terberi. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari sifat masyarakat masyarakat homogen yang masih mengikatkan diri dengan alam untu mempercakapkan tindakan kesehariannya. Ada arena untuk mendialogkan sisi autentik manusia yaitu human. Alam adalah makrokosmos, implikasinya ada kesadaran untuk menyadari, memahami dan meyakini bahwa keseluruhan bukan hanya tentang diri tetapi juga tentang “Yang Menciptakan” manusia. Kesadaran makrokosmos memberi ruang singgah kepada manusia untuk merasakan kehadiran “Yang transendental” dalam keseharian tindakan sosial mereka. Oleh karena itu, mereka menciptakan tradisi yang berseiringan dan menguatkan kedekatan mereka dengan alam dan dunia makrokosmos. Guyub rukun, bersih desa, gotong royong, tahlilan, yasinan, pengajian, PKK, arisan adalan cara masyarakat mendialogkan diri dengan alam dan “Yang Mencipta”. Dunia bukan hanya tentang hasrat, tetapi juga tentang refleksi. Peneliti menyebutnya sebagai kesadaran subjek refleksi.

Berdasarkan hasil temuan lapangan tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat sederhana melalui pengalaman sehari-hari yang mengikatkan diri dengan alam, mampu untuk tetap menemukan sisi-sisi refleksi dalam tindakan kesehariannya. Kesadaran subjek refleksi adalah cara untuk terus merawat dan memelihara kultur agar tetap terikat dengan alam sebagai basis struktur sosialnya. Tindakan dalam hidup bukan semata tentang kalkulasi, tetapi juga tentang refleksi. Dalam refleksi, kultur tetap hidup dan tumbuh dan mengikat mereka dengan simbol-simbol transendental. Disinilah masyarakat menemukan diri sebagai subjek dalam kesadaran subjek refleksi. 

Temuan penelitian juga mengkritik tatanan masyarakat barat yang bertumbuh dalam spirit “cogito ergo sum” sebagai “aku berpikir, maka aku ada”. Frasa yang dengan sangat sinis menghilangkan sisi autentik manusia yaitu diri sebagai “Yang Menyadari dalam keberadaan diri sebagai Ada”. Dalam cogito ergo sum, keseluruhan adalah tentang akal yang mengidentifikasi, memahami, mengevaluasi, memutuskan dan pada akhirnya menjadi tindakan. Dalam akal, arena adalah keberadaan untuk menyatakan ada sebagai logika. Logika harus ada dalam ada sebagai yang terekam indera. Indera hanya mencecap, dia tidak punya kemampuan menyadari. Dalam mencecap, yang terasa itulah hasil akhir. Akal hanya menyintesa sebagai logika. Dalam logika, akal memberi ruang kepada indera. Dimana indera menemukan diri, bukan di dalam diri, tetapi di luar diri. Disinilah, diri pada akhirnya hanya tentang “Yang Terlihat”. Padahal ini hanyalah tubuh lahiriah, tubuh yang menarik sebagai etalase tetapi hancur sebagai esensi. Cogito ergo sum, hanya menemukan fakta-fakta empiris, tanpa mau tahu tentang refleksi. Cogito ergo sum, pada akhirnya adalah hasrat. Dalam hasrat manusia memburu, menidakkan yang refleksi. Refleksi hilang, arena adalah perebutan untuk kokoh sebagai etalase. Cogito ergo sum pada akhirnya, hanya sebatas diri sebagai “Subjek Terberi”, “Objektivasi Ruang”, dan “Ilusi Cermin Yang Simbolik”.

Hasil temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pengetahuan lokal adalah kekuatan yang harus dirawat dan dijaga. Dari sanalah, identitas sebagai sebuah kelompok masyarakat mampu terus ada dan teguh walau ada gempita industri yang mencoba menghancurkan tatanan dan nilai-nilai masyarakat. Semoga kita terus bertumbuh dalam dinamisasi masyarakat, tetapi tetap terikat dalam kesadaran subjek refleksi.

****) Oleh: Muhammad Hayat, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muahammadiyah Malang.

 

Shared: