Ketidakberdayaan Aktualisasi Diri Para Pedagang Kaki Lima

Lapangan pekerjaan merupakan salah satu sector publik yang sampai saat ini masih memiliki banyak sekali permasalahan. Pada saat sektor publik (pemerintah) dan pihak swasta belum mampu untuk menyiapkan lapangan pekerjaan secara formal yang sesuai dengan aturan perundang-undangan ketenagakerjaan, maka sektor informal dianggap sebagai salah satu katup pengaman guna menampung tenaga kerja dan solusi dari tenaga kerja yang menganggur. Dengan demikian keberadaan sektor informal sangat besar dalam penyelamatan ekonomi. Ketika para pekerja formal terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mereka masuk sektor informal untuk bertahan hidup. Hubungan antara sektor formal dengan sektor informal itu bersifat hirarkis, karena sektor informal terletak di posisi yang subordinat, karena dianggap sebagai shadow economy yang memiliki daya tawar (bargaining) rendah.Beberapa orang menganggap bahwa keberadaan PKL dalam sektor informal merupakan sebuah penopang kesenjangan ekonomi, meskipun tidak sedikit juga yang menganggap sebagai sumber masalah dalam tata ruang kota. Pedagang kaki lima berusaha mengaktualisasikan semua kemampuan untuk meraih keuntungan, serta berusaha menarik pembeli dengan berbagai cara. Namun upaya tersebut sering menemui kendala yang menyebabkan ketidakberdayaan PKL.

Ketidakberdayaan PKL dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu sisi individu, sisi kebiasaan serta sisi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Hal ini lah yang membuat Sriyana, salah satu mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini menyoroti topik tersebut dalam penelitian disertasinya. Dalam disertasinya, Sriyana menjelaskan bahwa ia tertarik untuk menganalisa seperti apa bentuk-bentuk ketidakberdayaan para pedagang kaki lima dalam hal ini aktualisasi diri mereka menghadapi banyak tantangan dari berbagai sisi. Mahasiswa asal Kalimantan ini pun berfokus dengan mengambil lokasi penelitian di sebuah pasar besar di daerah kota Palangka Raya untuk mengumpulkan informasi baik melalui observasi mupun wawancara dari para PKL dalam pasar tersebut.

Sriyana mengungkapkan bahwa dirinya mendapati dua  bentuk temuan terkait penghalang ketidakberdayaan dalam aktualisasi diri pedagang kaki lima di Pasar Besar Kota Palangka Raya seperti adanya Penghalang primer dimana hambaran ini secara langsung menyebabkan ketidakberdayaan pedagang kaki lima yang berasal dari ketidakberdayaan struktural dan penguasa wilayah. Ketidakberdayaan struktural yang disebabkan oleh kebijakan dari beberapa individu yang tidak berpihak kepada pedagang kaki lima. Hal ini ditunjukkan dari beberapa kebijakan penggusuran tempat mereka berdagang dengan alasan menggangu kualitas tempat umum, namun dibalik penggusuran tersebut tidak diberinya solusi berupa relokasi tempat mereka dapat berdagang. Sedangkan ketidakberdayaan karena penguasa wilayah yaitu pedagang kaki lima tidak bisa lepas dari intimidasi dan ketergantungan kepada tacut atau garutak pasar sebagai penguasa lapak dan lokasi tempat berdagang pedagang kaki lima.

Temuan berikutnya adalah adanya Penghalang sekunder dimana hambatan ini secara tidak langsung menyebabkan ketidakberdayaan pedagang kaki lima yang berasal dari ketidakberdayaan secara kultural dan keterampasan psikologi. Ketidakberdayaan kultural adalah ketidakberdayaan pedagang kaki lima yang disebabkan oleh faktor budaya yang terlembaga dalam bentuk nilai-nilai seperti apatis maupun fatalistik. Sedangkan keterampasan psikologi adalah hasil pengalaman pribadi individu yang membandingkan suatu perlakuan atau tindakan yang tidak adil yang menyebabkan kemarahan dan ketidakpuasan.

Dari penelitian ini Sriyana memberikan saran dan harapan yang ditujukan ke beberapa pihak terkait seperti Dinas Perdagangan, Koperasi, UKM dan Perindustrian memberikan pembinaan kepada pedagang kaki lima berupa inovasi, motivasi dan produktivitas serta pendidikan karakter sehingga menumbuhkan nilai-nilai budaya kerja dan etos kerja yang tinggi dan produktif dengan menjunjung tinggi kearifan lokal.

Selain itu juga kepada pemerintah Kota Palangka Raya sebagai fasilitator, pemerintah Kota Palangka Raya harus mampu mengembangkan potensi pedagang kaki lima sehingga pedagang yang mandiri, menjadi produktif dan tidak tergantung dengan pihak lain. Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan keterampilan usaha, dukungan sarana dan prasarana, dukungan teknologi, expansion of the network, serta tersedianya market information yang dilakukan secara terencana, gradual, komprehensif, terpadu, serta lintas sectoral. Terlebih lagi memberikan solusi berupa lokasi permanen bagi pedagang kaki lima sehingga tidak selalu terintimidasi oleh penguasa wilayah (tacut atau garutak pasar).

Shared: