Tingkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia Melalui Kerjasama Beasiswa Bagi Mahasiswa Dari Negara Non Blok
11/07/2024 03:00
Dikotomi lembaga pendidikan memberikan stigma negatif kepada lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan kelas kedua. Salah satu faktor fakta ironis ini beririsan dengan identitas lembaga pendidikan Islam yang belum disusun dan belum dipahami dengan baik, sehingga identitas yang menguat di publik, lembaga pendidikan yang bernuansa agama cenderung berfokus pada penguatan agama saja. Untuk mengambil contoh konkret, Sekolah Islam Terpadu adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat sulit diidentifikasi identitasnya secara jelas. Sehingga banyak anggapan bahwa lembaga pendidikan ini adalah sekolah yang bercorak ekstrimis dan cenderung eksklusif.
Problem tersebut membuat Ach. Nurholis Majid, mahasiswa Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat tema identitas dalam disertasinya. Menurutnya, tema identitas di satu sisi dapat memantik konflik, sebagaimana di lain sisi ia juga dapat menjadi pemicu perdamaian. Kegelisahan akademis Nurholis tentang identitas semakin menguat setelah membaca beberapa penelitian yang menyandingkan sekolah Islam Terpadu sebagai sekolah yang ambivalen bahkan ada yang cenderung mengidentikkan dengan ekstremisme dan eksklusivisme.
Pria kelahiran pulau nun jauh di Masalembu ini, semakin yakin memilih sekolah Islam Terpadu, karena beberapa alasan, salah satunya karena selama ini Sekolah Islam Terpadu tampak diwakili oleh tiga kata, “sekolah”, “Islam”, dan “terpadu”. Alih-alih tiga kata ini menjadi penegas identitas, dua kata awal yang disebutkan berurutan menjadi persoalan tersendiri. Pertama-tama, agaknya sangat kesulitan merumuskan makna diksi “sekolah” yang melekat pada lembaga pendidikan Islam ini. Berbeda dengan pesantren, misalnya, yang mencoba menegaskan dirinya dengan mengambil jalan akulturasi, dan madrasah yang ditujukan untuk menjembatani pendidikan pesantren dan umum.
Penggunaan istilah “Islam” pun demikian. Istilah ini tidak bisa dimaknai secara universal sebagai agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Ada pertalian yang kuat dengan pemahaman terhadap dogma agama. Dalam kajian transnasional saja sudah jelas ada tiga kelompok Islam yang membentuk demarkasi penting. Misalnya, tentu tidak bisa sama antara kelompok Islam “Sunni-Arab Timur Tengah” yang memiliki misi purifikasi akidah, dengan “Sunni India” yang mencoba kembali pada ajaran Islam dengan dakwah dan tasawuf, dan “Syiah Iran” yang mengusung konsep imamah.
Tidak menemukan penegasan makna “Islam”, berarti mengaburkan tujuan-tujuan penting suatu lembaga pendidikan. Apakah “Islam” dalam konteks Sekolah Islam Terpadu adalah membuat garis demarkasi dengan pendidikan “Kristen” yang selama ini “dianggap” lebih unggul dari pendidikan Islam, ataukah berposisi “head to head” dengan sekolah Islam lain yang berbeda pemahaman tentang Islam atau bahkan berbeda ideologi, ataukah “Islam” yang moderat.
Kompleksitas persoalan Sekolah Islam Terpadu bukan hanya tampak pada persoalan nomenklatur, tetapi juga posisinya yang berada di bawah kementerian pendidikan nasional, yang di saat bersamaan memiliki kurikulum tambahan di luar kurikulum nasional. Keterpaduan kurikulum seperti ini jelas akan menimbulkan ambivalensi yang pada akhirnya mempersoalkan mana yang lebih utama. Sementara di sisi lain, dalam perspektif liyan, hal ini merupakan strategi Sekolah Islam Terpadu dalam meneguhkan identitasnya lewat pendidikan.
Problematika tersebut, memberi gambaran betapa sulitnya memahami identitas Sekolah Islam Terpadu. Padahal, identitas seharusnya merefleksikan suatu gagasan secara presisi—yang secara teori mestinya tidak menimbulkan kebingungan. Ketika suatu komunitas memiliki identitas, seharusnya dapat dengan tegas menyatakan siapa dirinya, sikap dan tindakan apa yang dipilih. Itulah sebabnya, penting untuk memahami konstruksi identitas yang dimiliki Sekolah Islam terpadu sehingga dapat memahami motivasi performa aktivitas pendidikan di dalamnya.Ketidakjelasan identitas bukan hanya bermasalah pada performa aktivitas, tetapi juga dapat menjadi celah politik identitas yang menindas. Menurut Calhoun, jika suatu kelompok mengalami kebingungan untuk memahami identitas dirinya, bukan saja akan membuat orang lain gagal melihat siapa sebenarnya kelompok yang dilihat, tetapi juga akan melahirkan penindasan atas kelompok tersebut yang disebabkan oleh pandangan yang salah. Permasalahan-permasalahan yang dibaca oleh Nurholis membuatnya berfokus pada penyingkapan struktur bangunan identitas Sekolah Islam Terpadu dan bagaimana identitas tersebut dibangun. “Pembentukan identitas, akan sangat berkaitan dengan kesadaran masa lalu, hubungan dengan lembaga lain, dan persoalan yang sedang terjadi. Titik tekan kajiannya pada bagaimana identitas itu dibentuk dan dinegosiasi, ditegaskan, dan dibedakan dengan yang lain, serta bagaimana melakukan penyangkalan atas stereotype yang ada.
Nurholis menjelaskan dua temuan dalam penelitiannya. Pertama, konstruksi identitas Sekolah Dasar Islam Terpadu di Sumenep terdiri dari tiga unsur penting, yakni keislaman, keterpaduan dan kelokalan. Identitas keislaman merupakan ciri utama sekolah Islam terpadu. Keislaman yang dimaksud adalah Islam ahlussunnah wal jamÄah yang dapat mengarah pada organisasi tertentu dan sebaliknya. Identitas keislaman ini tidak tunggal, setiap sekolah dapat mengisi dan memasukkan pemahaman keislaman dalam identitas secara beragam.
Sekolah Islam Terpadu juga mengidentifikasi diri sebagai sekolah terpadu yang mengintegrasikan pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam kurikulum pendidikan. Identitas ini mendorong sekolah Islam terpadu untuk mendudukkan keduanya secara seimbang, walaupun dalam beberapa hal tampak adanya upaya islamisasi ilmu pengetahuan. Keterpaduan tidak hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam peran guru dan orang tua (sekolah-rumah) yang dilaksanakan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Selain itu, identitas keterpaduan juga dipahami sebagai keterpaduan dalam diri tenaga pendidik dan tenaga kependidikan (integritas jiwa pendidik) yang mengarah pada komitmen pendidik untuk melaksanakan pendidikan secara ikhlas. Setiap unsur SDM dalam sekolah Islam Terpadu harus memosisikan diri sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan. Keterpaduan berikutnya adalah keterpaduan lembaga-lembaga pendidikan di dalam satu yayasan.
Disisi lain, identitas kelokalan menjadi pencari khusus antara sesama sekolah Islam terpadu. Jika dua identitas sebelumnya adalah identitas yang umum, walaupun dengan substansi yang beragam, tetapi identitas kelokalan lebih mencirikan identitas masing-masing sekolah. Identitas ini merupakan bagian yang secara spesifik menandai sekolah. Dalam konteks ini, dapat dicontohkan sekolah bernuansa qurani, sekolah bernuansa madrasah dan sekolah filantropis yang sangat berimplikasi pada kurikulum, tujuan, dan strategi pendidikan agama Islam. Identitas kelokalan diambil dari cita-cita khusus pendiri dan pengurus sekolah.
Temuan kedua yang dipaparkan oleh Nurholis adalah proses konstruksi identitas. Menurutnya, Sekolah Islam Terpadu berdinamika dalam empat hal fundamental yakni narasi masa lalu, perjuangan dan pergerakan, keliyanan dan inspirasi identitas. Narasi masa lalu merupakan cerita-cerita yang mengantarkan sekolah pada pemahaman diri dan referensi untuk menentukan identitas. Narasi masa lalu adalah titik tolak sekolah untuk melihat ke dalam dan ke luar sekaligus untuk menentukan posisi identitas. Narasi-narasi masa lalu ini setidaknya menggambarkan fakta yang dihadapi dan pengalaman masa lalu yang telah dilalui. Sebagai contoh, sekolah Islam terpadu memahami fakta ironis, pengetahuan agama tidak menjadi suatu hal yang diprioritaskan di sekolah-sekolah umum, di sisi lain, madrasah juga tidak memiliki efek sipil yang kuat. Narasi semacam ini mengantarkan sekolah pada identitas terpadu.
Selain dengan narasi-narasi masa lalu, proses konstruksi identitas sekolah Islam terpadu juga didasarkan pada perjuangan dan pergerakan. Kedua istilah ini merupakan retakan dari kepentingan-kepentingan. Kepentingan dalam perjuangan adalah melawan ancaman dan disrupsi terhadap sekolah dan lembaga pendidikan Islam. Sementara kepentingan pergerakan dilakukan dengan mempromosikan identitas yang ada.Hal fundamental ketiga adalah keliyanan. Dalam hal ini, sekolah Islam terpadu berupaya mengidentifikasi diri dan mengidentitaskan sekolah lain sehingga dengan demikian, dapat menyusun dan menegaskan identitas yang sedang disusun. Dengan politik keliyanan, sekolah Islam terpadu dapat memahami diri dan memahami liyan secara proporsional dan membentuk identitasnya dengan baik.Terakhir, dalam hal membentuk identitas, sekolah Islam terpadu mengambil inspirasi-inspirasi identitas dari sekolah-sekolah unggul yang memiliki integritas tinggi di luar daerah. Sekolah-sekolah yang menjadi inspirasi harus di luar daerah untuk menawarkan keunggulan lebih bagi sekolah Islam terpadu.
Nurholis berharap agar masyarakat tidak memandang sekolah-sekolah Islam secara monolitik. Karena itu, perlu ada pemahaman yang komprehensif atas identitas atas sekolah-sekolah Islam yang ada. Kedua, sekolah-sekolah Islam seyogyanya mulai membaca, mengevaluasi, membentuk dan mengembangkan identitas dirinya. Ketiga, temuan penelitian ini juga menjabarkan identitas integritas jiwa pendidik (ruhul mudarris), karena itu sebuah lembaga pendidikan perlu untuk menanamkan jiwa pendidik kepada seluruh SDM yang ada di lembaga pendidikan, sehingga peran mereka bukan lagi sebagai karyawan atau guru, mereka berperan dan bertugas secara utuh menyukseskan proses pendidikan yang telah dirancang oleh pihak sekolah sebagai identitas.