Konstruksi Sosial Atas Filosofi Jagung Beras di Dalam Laut

Munculnya berita pada beberapa media cetak dan eletronik yang memuat tentang aktifitas aktifitas melaut dan jangkauan wilayah tangkap Nelayan Selam Pesisir Pulau Buaya serta serta masalah penangkapan ikan yang dialami oleh mereka di wilayah perbatasan antar Propinsi maupun antar Negara merupakan fenomena kehidupan nelayan di kabupaten Alor. Nelayan Pesisir Pulau Buaya dikenal sebagai nelayan Selam (Tubo) Tradisionil yang terus berkembang, dan berbeda dengan nelayan Selam lainnya di Kabupaten Alor. Fenomena menariknya adalah adanya Filosofi tentang “Ite Apa Pari java Tahi Onong” atau Jagung Beras Kita di dalam Laut, yang menjadi pendorong masyarakat pesisir pulau buaya menjadi nelayan yang dikenal oleh Masyarakat Kabupaten Alor sebagai Nelayan Peselam (Spearfishing) Tradisionil Yang produktif dan tangguh.

Hal ini menjadi menarik untuk ditelah lebih jauh menggunakan pendekatan konstruksi sosial untuk melihat aspek eksternalisasi, objektivitasi dan internalisasi, tentang bagaimana filosofi hidup tersebut membawa perubahan sosial bagi nelayan tradisionil pulau Buaya untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka dengan tetap terjaga identitas mereka sebagai nelayan Peselam Tradisionil di Kabupaten Alor. oleh karena itu Syarifuddiin Darajad yang juga seorang mahasiswa progam studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang menjadikan tema penting dalam penelitian Disertasi dengan judul: KONSTRUKSI SOSIAL ATAS FILOSOFI JAGUNG BERAS DI DALAM LAUT.

Syarifuddin mengkaji fenomenologi pada masyarakat nelayan selam tradisonil pesisir Pulau Buaya tentang laut sebagai sumber jagung dan beras di kabupaten Alor diarahkan untuk melihat suatu kenyataan bahwa masyarakat nelayan akan berkembang baik apabila mereka mereka memiliki filosofi hidup yang dikonstruksikan dalam dunia sosial mereka yang kemudian memunculkan pertanyaan tentang Bagaimana Konstruksi Sosial dan Identitas Masyarakat Nelayan Selam Tradisionil Pesisir Pulau Buaya Terhadap Generasi Muda Tentang Laut Sebagai Sumber Jagung Dan Beras Di Kabupaten Alor
Filosofi hidup Tentang Jagug Beras di dalam Laut merupakan sebuah makna dari pengalaman subjektif sebagai sebuah pengetahuan masyarakat secara turun temurun, kemudian menjadi sebuah budaya yang dikonstruksikan oleh manusia, dimana telah terjadi dialektika antara masyarakat nelayan pulau buaya dengan filosofi hidupnya menjadi sebuah kepercayaan secara turun-temurun. sehingga Filosofi ini menjadi sebuah realitas objektif diluar diri mereka yang mengalami proses objektivasi ketika nilai filosofi itu berada dalam norma adat dan norma Agama, kemudian secara subjektif nelayan pulau Buaya memaknainya sebagai pedoman hidup mereka.

Nelayan Pesisir Pulau Buaya memaknai Laut sebagai Niha Dike Sare, Uma Lipu Pelang Serang, Kapitan laka (Kebun Utama, Sumber Hidup yang Dikelola bersama dan menggunakan peralatan Peralatan yang memiliki multi Fungsi). Yang mana makna ini merupakan hasil dari Konstruksi Sosial berdasarkan pengalaman-pengalam subjektif mereka (Fenomenalogi) yang diterima oleh masyarakat nelayan Selam tradisional pesisir pulau buaya sebagai pedoman hidup mereka secara turun-temurun.

Beberapa temuan dari penelitian yang sudah ia lakukan adalah konstruksi sosial atas filosofi laut sebagai sumber jagung dan beras dimaknai oleh makna laut sebagai kebun, makna perahu sebagai rumah bersama dan senapan ikan sebagai alat pancing multi fungsi yang dikonstruksikan dalam pesan adat dalam bahasa Alor. Syarifuddiin  juga mendapati bahwa nelayan selam tradsionil terus beradaptasi diluar lingkungan sosial mereka melalui fase penggunaan perahu dayung, (Tena tanuju), Perahu Layar (Tena sembajo) dan Perahu bermesin (Tena Massing) yang terus membuat mereka berkembang secara turun-temurun di Kabupaten Alor.

Tidak hanya temuan dilapangan, Syarifuddiin juga menyusun proposisi tentang Filosofi hidup tentang laut sebagai sumber jagung dan beras tidak akan bermakna pada nelayan tradisonil abila tidak terproses melalui konstruksi sosial pada dialektika eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Berikutnya Identitas yang dimiliki oleh masyarakat nelayan tradisinal merupakan hasil dari proses konstruksi sosial yang terbangun melalui dialektika Eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

Hasil dari Implikasi Teoritis yang ia Analisa juga menunjukan bahwa Teori Konstruksi Sosial merupakan teori utama dalam menjelaskan fenomena filosofi Laut sebagai sumber jagung dan beras, sementara teori fenomenologi memberikan gambaran tentang arus kesadaran sosial yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman subjektif menghasilkan sebuah identitas sosial dalam memaknai laut sebagai sumber jagung dan beras.  Penggunaan teori konstruksi sosial sebagai landasan utama dalam menelaah memberikan makna bahwa teori konstruksi sosial masih dapat dipergunakan untuk memberikan penjelasan tentang konstruksi sosial atas filosofi laut sebagai sumber jagung dan beras, namun masih perlu didukung oleh fenomenologi, yang disesuaikan dengan substansi masalah yang diangkat dalam analisah penelitian. Teori konstruksi sosial masih dapat digunakan dalam kajian-kajian ilmiah, dan untuk perkembangan teori tersebut perlu dikaji secara terus menerus agar dapat sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat terhadap teori tersebut.

Shared: