Pemaknaan Masyarakat Madura Terhadap Ondhagga Basa

Dalam setiap kehidupan sosial, setiap manusia didaerah manapun memiliki bahasa yang berbeda-beda. Tidak terkecuali di Madura, sebagai sebuah aktifitas sosial, bahasa Madura terkonstruksi berdasarkan stratifikasi tinggi, menengah, dan bawah yakni bâsâ tèngghi, bâsâ alos, dan bâsâ mabâ. Pembeda di antara strata itu bukan hanya tentang diksi dan gramatika saja, namun juga melibatkan setting dan strata sosial kapan sebuah strata dipakai, siapa dan kepada siapa sebuah strata dinyatakan, dan bagaimana ia diekspresikan. Pola dan aturan dalam stratifikasi bahasa tidah hanya menuntut kerumitan morfologis dan sintaksis namun juga terkait keterlibatan strata sosial sang penutur.

Stratifikasi Bahasa Madura tingkat tinggi atau yang disebut bâsa tèngghi atau èngghi bhunten , dalam hubungan sosial, diucapkan dan dikomunikasikan oleh penutur yang dianggap memiliki strata sosial lebih rendah kepada komunikator yang berstrata sosial lebih tinggi. Bâsa Alos atau engghi enten atau bahasa strata menengah diucapkan dalam situasi bahasa dimana penuturnya, secara hubungan sosial, stratanya tidak kelihatan seperti antara supir dan penumpang, penjual dan pembeli, antar penumpang kendaraan umum, dan yang lainnya. Bâsa Alos biasa diucapkan di ruang-ruang publik semisal pertokoan, terminal, dan di dalam kendaraan. Sedamgkan Bâsa Mabâ atau Enjâ’ Iyyâ adalah level Bahasa Madura yang secara hubungan sosial paling rendah yakni antar teman, antar santri atu murid. Namun level bahasa ini juga bisa diucapkan oleh guru ke muridnya, kyai ke santrinya, dan atasan ke bawahannya.

Namun apakah situasi kebahasaan seperti ini terjadi dan tercipta secara alamiah tanpa ada rekayasa sosial-kebahasaan perlu mendapatkan perhatian lebih dalam secara ilmiah. Mulyadi, salah satu mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang melalui observasi awal mendapati kenyataan masyarakat Madura  terhegemoni oleh sebuah mitos stratifikasi bahasa bahwa semakin bagus kompetensi dan performansi seseorang dalam pemakaian bahasa strata tinggi maka semakin kelihatan terdidik dan beradablah orang tersebut. Selain itu juga adanya pergeseran yang diakibatkan oleh menurunnya popularitas ondhâg bâsa di kalangan penuturnya serta tidak dipahaminya kosa kata ondhâg bâsa di level menengah dan tinggi menjadikan Mulyadi mengangkat fenomena tersebut menjadi sebuah penelitian. Penelitian yang berjenis etnografi ini berfokus bagaimana menjelaskan tentang pemaknaan seseorang akan ondhâggâ bâsa dengan mengobservasi dan mewawancarai 69 orang subyek penelitian dari berbagai status sosial dan pekerjaan di Madura.

Pemaknaan ondhâggâ bâsa

Melalui hasil penelitiannya Mulyadi menjelaskan beberapa hal terkait penggunaan bahasa  Ondâggâ Bâsa. Salah satunya dimana penggunaan Ondâggâ Bâsa dikalangan para masyarakat yang berkerja secara formal lebih banyak menggunakan bâsâ tèngghi atau èngghi bhunten saat mereka berbicara kepada orang tua, suami tetangga yang lebih tua untuk menjaga sopan santun. Bahasa tingkat ini juga banyak dipakai sebagai bahasa dalam  memanjatkan  doa saat mereka beribadah. Sedangkan bâsâ alos dipakai kepada teman guru di sekolah meskipun lebih muda dengan alasan menghargai profesi namun lebih sering memakai Bahasa Indonesia di sekolah. Bâsa Mabâ bagi merekan Pekerja formal yang identik dengan well-educated and orgonized people diharapkan tertib dalam menggunakan ragam bahasa, penelitian menemukan bahwa  mereka memang cukup taat dengan pakem bahasa yang ada. Bagi mereka pentingnya menggunakan Ondâggâ Bâsa adalah agar terjalin komunikasi penuh makana tidak hanya untuk bertukar informasi namun juga menjaga tingkah laku.

Disisi lain bagi mereka yang bekerja sebagai tenaga kerja informal tingkatan ènggi-bhunten dapat digunakan kepada lebih muda tapi status sosial lebih tinggi misalnya anak kyai atau keturunan kyai karena dianggap yang yang paling berpengaruh dan disegani. Tingkatan ini dipakai kepada tokoh masyarakat, untuk menunjukkan  rasa hormat terhadap mereka karena telah menjadi panutan. Begitu juga untuk bâsâ alos bagi kelompok ini untuk menunjukkan rasa hormat tanpa mau kehilangan keakraban. Sedamgkan Bâsa Mabâ pada kelompok ini digunakan kepada orang yang lebih muda. Bagi kalangan orang-orang dewasa ada sebagian orang yang merasa nyaman menggunakan level bawah untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga di rumah termasuk dengan suami dan orang tua dengan alasan strata Bâsa Mabâ atau Enjâ’ Iyyâ dianggap paling komunikatif dan menghilangkan sekat-sekat sosial.

Menariknya Mulyadi berhasil mengidentifikasi adanya dinamika komunikasi dan kelugasan dalam penggunaan strata bahasa Madura. Ditemukan bahwa ketertiban bahasa itu dijumpai pada level bâsâ tèngghi atau èngghi bhunten. Dalam hal ini Ondâggâ Bâsa sebagai indikator kesopanan serta tahu penempatan kepada siapa lawan bicaranya dan menggunakan Ondâggâ Bâsa yang mana. Watak dan karakter juga berpengaruh dalam seseorang menentukan bahasa seperti apa bahasa yang akan dipakai. Disisi lain Bâsa Mabâ atau Enjâ’ Iyyâ ini diucapkan dan dikomunikasikan oleh seluruh lapisan sosial penutur asli Madura.

Temuan menarik lainnya adalah dari beberapa kelompok muncul pergeseran bahasa dimana mereka telah beralih dari bahasa Madura ke bahasa bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris yang dianggap lebih prestis, modern, dan ilmiah. Pergeseran ini mudah dijumpai di komunikasi keluarga kiai ke santri serta pergeseran ini ditemukan juga oleh Mulyadi pada kalangan anak-anak yang berada di wilayah kota.

Dari berbagai temuan tersebut akhirnya Mulyadi mendapat pemaknaan masyarakat madura tentang Ondhâggâ Bâsa dalam beberapa makna. Seperti sebagai Simbol Local Wisdom pengetahuan masyarakat Madura dan praktik akan penggunaan Ondhâg Bâsa dipakai untuk mengatasi kesulitan-kesulitan berkomunikasi pada lawan tutur yang stratanya berbeda-beda. Pengetahuan dan pratik ini memunculkan kekuatan yang dimaksud identitas ke-Madura-an dan ke-Islama-an.

Berikutnya Ondhâggâ Bâsa dimaknai sebagai Simbol Local Kingdom dimana motif mengapa seorang istri tunduk kepada suami, santri kepada kiai, ataupun murid ke guru harus menggunakan strata ènggi-bhunten dan sebaliknya suami ke istri, guru ke murid, kiai ke santri boleh menggunkan enjâ’-iyâ dalam rangka menunjukkan kepatuhan.

Selanjutnya Ondhâggâ Bâsa dimaknai sebagi Simbol Kramanisasi Sosial dimana hal ini ditunjukkan tentang bagaimana seorang guru menyuruh dan mengajarkan muridnya strata ènggi-bhunten sebagai strategi kesopanan di saat di rumahnya mereka tidak mengenal strata tersebut. Selain itu juga Ondhâggâ Bâsa yang dimaknai sebagai Simbol Pembeda Sosial dan Simbol kesetaraan.

Berdasarkan temuan yang sudah ia dapatkan, Mulyadi berharap bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana penguasaan praksis masyarakat Madura tentang bahasa Madura sendiri mulai dari laras enjâ’-iyâ, enggi-enten, dan ènggi-bhunten di samping untuk mengetahui korelasi antara tingkat penggunaannya dengan strata sosial masyrakatnya juga seberapa jauh penguasaan itu mempengaruhi pengetahuan masyraka Madura tentang budaya Madura serta pentingnya gerakan kultural untuk pemertahanan bahasa Madura di tengah kepungan eksternal tidak hanya bahasa asing namun juga pengharusan penggunaan bahasa Indonesia dan perlu adanya keterlibatan upaya legal formal oleh pemerintah daerah di Pulau Madura untuk mendukung pemertahanan bahasa Madura yang selama ini masih domain seleberasi seperti kebijakan wajib pakai pakaian adat Madura di hari dan event tertentu.

Shared: