Tingkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia Melalui Kerjasama Beasiswa Bagi Mahasiswa Dari Negara Non Blok
11/07/2024 03:00
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Lima Belas tahun kemudian Muhammadiyah berdiri di Bengkulu tepatnya pada tahun 1928 sebagai organisasi sosial keagamaan. Tujuan organisasi ini adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Situasi dan dinamika sosial dan politik, pada tahun 1928 Muhammadiyah Bengkulu mampu berkembang dengan pesat, dengan bermekaran cabang dan ranting di pusat-pusat pasar dan desa-desa yang ada di Bengkulu. Pada awal-awal berdirinya Muhammadiyah di Bengkulu, tentunya sebagai sebuah organisasi yang berasaskan agama Islam, tujuan yang paling penting adalah untuk menyebarkan ajaran Islam, baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial. Selain itu, tujuan yang lainnya juga untuk meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang dianggap sebagai tahayul, bid'ah dan khurafat (TBC).
Pada titik inilah Muhammadiyah diterima oleh masyarakat yang beragama sangat “sederhana”, menjadi berkembang. Dalam perjalanannya mengarungi zaman yang selalu berubah yang dipengaruhi oleh modernisasi kehidupan yang masif, dan rasionalisasi masyarakat yang didorong oleh tingkat pendidikan yang tinggi, maka secara empiris dan ideologis gerakan ini bernuansa sekularisasi. Dinamika tersebut menyebabkan kemunduran gerakan Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting di Bengkulu. Fenomena memudarnya cahaya gerakan Muhammadiyah di tingkat Cabang dan Ranting inilah yang membuat Amrullah Boerman, mahasiswa progam studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang tertarik untuk menjadikannya sebuah penelitian disertasi dengan judul: Pergeseran Paham Keberagamaan Pengikut Muhammadiyah.
Penelitian yang bertujuan untuk memahami dan bagaimana warga Muhammadiyah melakukan pilihan tindakan tidak terlibat dalam persyarikatan, serta Memahami perilaku akan paham keberagamaan anggota dan pengurus, setelah tidak aktif lagi di organisasi Muhammadiyah ini dilakukan pada Pengurus serta anggota Cabang dan Ranting Muhammadiyah di Bengkulu. Melalui tujannya tersebut, mahasiswa asal Bengkulu ini memutuskan menggunakan metode fenomenologi karena untuk melihat perilaku, paham dan tindakan warga persyarikatan tentunya dimulai dengan subjek-subjek warga yang mau diteliti. Dari subjek-subjek itulah kita bisa melihat substansi tindakan baik dalam ritual maupun tindakan dalam berorganisasi. “Selain itu ada beberapa kriteria tertentu yang saya terapkan dalam memilih subyek untuk penelitian saya, mereka saya pilih dari tiga objek penelitian di Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kepahiang” ujarnya.
Dalam disertasinya Amrullah mendapati temuan dimana tindakan sosial warga persyarikatan dalam organisasi sangat variatif. Tindakan sosial pengurus Muhammadiyah di tingkat ranting sebagian besar mempunyai pemahaman rasionalitas nilai pada mereka yang umur 60 tahun ke atas, bagi anggota Muhammadiyah yang masih muda (umur 50 tahun ke bawah) mempunyai tindakan rasionalitas instrumental. Temuan berikutnya adalah pada umumnya baik pengurus maupun anggota Muhammadiyah tidak aktif dalam persyarikatan disebabkan oleh otonomi individu yang rasional sehingga beragama menjadi suatu pilihan bukan suatu kewajiban. Pemahaman ajaran Islam dan misi Muhammadiyah warga persyarikatan yang tidak aktif sangat minimalis dalam ritual, akan tetapi mereka masih mempercayai yang transenden (Tuhan), Serta pergeseran pemahaman warga Muhammadiyah yang secara ideologis dan praksis dulunya sangat “puritan” bergeser pada pemahaman minimalis dalam ritual dan kaya dengan fungsinya sebagai kebutuhan individu otonom terhadap spiritual.
Selain termuan dari hasil observasi dan wawancara dari para subyek amrullah juga mendapat temuan proposisi penelitian dimana Reformasi dalam kehidupan beragama berimplikasi terhadap sekularisasi dalam kehidupan masyarakat yang ditandai jika Aktivis organisasi keagamaan yang lahir dalam era baby booming, maka akan memegang pahamisme organisasi secara ketat. Tindakan yang dilakukan akan merepresentasikan ideologi yang dianut. Varian ini disebut Muhammadiyah Sejati (Musej). Proposisi berikutnya adalah jika Aktivis organisasi keagamaan yang berpendidikan, maka dalam bertindak diwarnai oleh rasionalitas instrumental dan modernitas sehingga lebih bersifat materialis dan terjadi privatisasi dalam beragama. Varian ini disebut Muhammadiyah Sekuler satu (Musek-1), Proposisi berikutnya adalah jika simpatisan organisasi keagamaan yang lahir di era milenial, maka mereka tidak ketat dalam memegang paham/isme organisasi. Tindakan yang dilakukan lebih bersifat fungsional, pragmatis dan ritual minimalis. Varian ini disebut Muhammadiyah Sekuler dua (Musek-2).
Melalui penelitiannya ini Amrullah berharap Agar kiranya ada peneliti lain yang melihat kondisi Cabang dan Ranting Muhammadiyah dengan menggunakan metode, dan lokasi yang lain di Indonesia, untuk memberikan gambaran secara umum kondisi keberagamaan umat Islam pada umumnya dan pengikut Muhammadiyah di tingkat bawah pada khususnya. Selain itu kepada institusi Muhammadiyah di tingkat Pusat ia berharap dari fenomena yang ia temukan ini, agar bisa mengambil langkah-langkah strategis dalam kebijakan pengembangan cabang dan ranting Muhammadiyah. Sehingga bisa diimplementasikan di tingkat Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia, serta bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah agar kiranya memberikan dorongan untuk penelitian-penelitian serupa di setiap tingkatan pendidikan.