Tingkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia Melalui Kerjasama Beasiswa Bagi Mahasiswa Dari Negara Non Blok
11/07/2024 03:00
Stratifikasi dalam konteks sosiologi merupakan penempatan individu dengan status dan peran tertentu berdasarkan suatu ketentuan. Ketentuan ini selalu bersumber dari dua hal yang yaitu bersifat alamiah maupun konsensus bersama masyarakat. Status dan peran yang sudah ditentukan secara alamiah dapat dilihat dari simbol-simbol (tanda-tanda) yang mudah diketahui untuk ditentukan pada seorang individu. Penggunaan simbol-simbol dalam kehidupan masyarakat memiliki arti tersendiri yang didasari dari banyak proses yang terbentuk dari generasi ke generasi, dan hal ini juga diterapkan oleh masyarakat Pulau Timor sesuai dengan realita sosial dalam kehidupan sehari-hari. Melihat penggunaan simbol-simbol yang ada di masyarakat membuat Stefanus Tamonob yang juga mahasiswa progam Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini mengangkat penggunaan simbol-simbol yang ada dalam masyarakat di Nusa Tenggara Timur menjadi sebuah kajian penelitian disertasinya.Mahasiswa yang akrab dipanggil Stefanus ini mengungkap alasan mengambil topik ini sebagai penelitian adalah karna memang sejak studi dijenjang S2 sudah membahas topik tersebut, dan juga dirinya ingin membahas bagaimana simbol-simbol yang ada di masyarakat Pulau Timor NTT digunakan dan hubungan dalam konteks sosiologi dengan stratifikasi. Hal ini ia ungkapkan karna masih belum banyak kajian secara akademik yang membahas topik tersebut.
Stefanus mengungkapkan temuannya bahwa bagi masyarakat Pulau Timor status dan peran menjadi nilai yang tinggi bagi etnisnya. Sebab ada suatu pemahaman bahwa semakin tinggi status dan peran menjadi representasi diri dalam konteks secara individual maupun etnisnya. Cara pandang ini yang membuat masyarakat Pulau Timor terutama etnis Dawan sulit berkembang dalam konteks politik untuk mendapatkan status dan peran baru di zaman sekarang. Sebab etnis Dawan sangat terikat dengan simbol status dan peran yang diwariskan leluhur karena takut akan sanksi atau dampak negatif dari kesalahan akibat tidak patuh pada simbol yang selalu dijadikan sebagai petunjuk atau pengarah untuk berinteraksi. Namun hal ini hanya muncul pada waktu tertentu untuk kegiatan tertentu pula. Sehingga masuk kategori “kasta laten”. Sebab pada sistem kasta banyak hal yang harus benar-benar dipatuhi.
Penggolongan, Stratifikasi, dan Sistim yang Ada di Masyarakat
Stefanus dalam penelitiannya menerangkan bahwa terdapat beberapa dua cara pandang dalam memberikan golongan dimasyarakat pulau Timor dimana yang pertama adalah masyarakat Baku yang memiliki cara pandang bahwa segala sesuatu warisan leluhur mengandung nilai dan makna mendalam tentang kehidupan manusia sehingga wajib dipegang teguh dengan dijadikan sebagai panduan hidup (penunjuk arah berinteraksi). Golongan yang kedua adalah Masyarakat Dinamis yang memiliki cara pandang bahwa hal-hal yang diwariskan leluhur tidak digunakan dan tidak ada dampak negatif maka diabaikan serta mengganti dengan yang baru (modern).
Temuan lain yaitu adanya sistem stratifikasi yang membagi masyarakat yang ada di Pulau Timor seperti Kasta laten dimana masyarakat pada kasta ini hanya akan muncul pada waktu tertentu, sedankan dalam kehidupan masyarakat secara normatif yang terjadi adalan stratifikasi abstrak. Lalu Status dan peran a naek (kesulungan) dari garis turunan ayah menjadi simbol silsilah turunan yang disebut dalam “besi tap nanion nes na bala” yang bermakna “manusianya meninggal tetapi nama atau marga akan tetap hidup”, berikutnya Atoin Amaf (paman) memiliki status dan peran untuk melaksanakan urusan adat istiadat dari garis turunan ibu dimana peran atoin amaf fokus pada inisiasi hidup anak-anak dari saudari perempuannya mulai dari rahim kecil sampai pada rahim besar artinya dari rahim ibu sampai meninggal.
Pada masyarakat Pulau Timor juga terdapat sistem perkawinan seperti Lia suaf ma tak pani (endogami). Menjadi kewajiban bagi marga tertentu untuk menikahkan anak-anak yang masih bersaudara antara anak paman (atoin amaf) dengan anak tante (li an bife) dan sebaliknya. Pada sistem endogami etnis Dawan tidak melihat dari segi tingkatan urutan generasi berdasarkan kelahiran artinya harus berstatus sama-sama anak. Tetapi yang dilihat dari status dan peran. Contoh yang berstatus atoin amaf anak gadisnya boleh menikah dengan anak laki-laki yang berstatus li an bife walau beda generasi. Beda generasi artinya dalam interaksi sehari-hari secara normal anak laki-laki dari status li an bife menyapa anak gadis yang orangtuanya berstatus atoin amaf “tante”. Tetapi karena kewajiban perkawinan lia suaf ma takpani (endogami) maka diperbolehkan jadi anak laki-laki dari status li an bife menikahi anak gadis berstatus atoin amaf. Ini bermakna (cara pandang) harta kekayaan keluarga tidak akan beralih kepada pihak lain.
Ma fe ma mamonen poi (eksogami), sistem ini diberlakukan sebagai bentuk Antisipasi akibat perbandingan jumlah anak yang tidak sama untuk dinikahkan secara sistem lia suaf ma tak pani (endogami), Ada larangan pernikahan antar strata yang dikategorikan tidak seimbang (rendah-tinggi), Kepatuhan karena telah menganut ajaran agama modern yang ada larangan tertentu berkaitan dengan perkawin, Pemberian hak kebebasan untuk mencari calon pasangan hidup, Tidak ada keterikatan untuk menikah secara lia suaf ma takpani (endogami).
Terdapat juga sistem an’na (poligami). Hal ini diperbolehkan dengan beberapa persyaratan yaitu Tidak memiliki turunan (anak), Tidak miliki tunanan anak laki-laki yang akan menggantikan status dan peran ayahnya, Janda (banuk) yang suaminya masih ada hubungan kekerabatan keluarga. Pan’na (poligami) dengan banuk (janda) sebagai bentuk pemberian segala bantuan yang dibutuhkan oleh si janda dengan simbol “tofan peni”. Yang dimaknai sebagai antisipasi perilaku menyimpang karena akan merujak harkat dan martabat. Maka menjadi suatu kewajiban kerabatan memberikan perhatian dalam bentuk pelayanan kebutuhan materi dan biologis
Melalui temuan-temuan yang didapat stefanus menyimpulkan bahwa simbol memiliki manfaat yang sangat penting bagi kehidupan. Karena pentingnya simbol bagi masyarakat maka untuk menghindari konflik sosial perlu adanya konsensus. Konsensus Masyarakat Pengguna Aneka Simbol ini menjadi pengarah seluruh kehidupan masyarakat. Agar masing-masing individu mengetahui posisinya pada sistem stratifikasi tentang status dan perannya dari simbol yang sudah ditetapkan dan diberikan kepadanya sebagai bentuk hak dan kewajiban untuk menjalankan peran secara legal atau sah. Sedangkan seluruh hal yang dijadikan simbol selalu mengandung nilai budaya. Dan menjadi ciri khas sebagai identitas diri, etnis, kelompok, komunitas, dan masyarakat yang bersifat homogen. Sedangkan pada masyarakat yang heterogen selalu menjadi identitas etnis.
Melalui penelitiannya juga Stefanus berharap kedepan aka nada lebih banyak peneliti yang dapat melanjutkan penelitiannya terkait penggunaan simbol untuk mengetahui suatu budaya secara keseluruhan yang ada pada etnis tertentu secara etnografi. Dan kepada pihak Perguruan tinggi untuk memberikan motifasi kepada mahasiswa terutama pada tingkat pascasarjana untuk perbanyak penelitian tentang budaya dengan menjadikan metode analisa etnografi sebagai rujukan utama. Sebab masih banyak potensi budaya yang jika dikaji secara etnografi di pelosok Indonesia pada suatu waktu akan melahirkan banyak teori sosiologi