Edukasi Keagamaan Berbasis Pesantren untuk Wanita Penjaja Seks

Kamis, 09 September 2021 22:58 WIB

Para antropolog menggambarkan bahwa prostitusi merupakan fakta yang tak dapat dielakkan. Itu karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Sementara, tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki. Hal ini tidak dapat diingkari hingga masa sekarang. Akibatnya, prostitusi menjadi fenomena sosial yang akan selalu hadir selama ada yang membutuhkannya.

Prostitusi memiliki kekuatan yang selalu dibutuhkan selama ada nafsu seksual. Sehingga, dunia prostitusi akan memiliki usia setua manusia itu sendiri. Artinya, akan berhenti tatkala manusia itu berhenti. Lokalisasi sebagai ajang prostitusi, ajang pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagaimana layaknnya suatu transaksi perdagangan. Alhasil, aktivitas pelacuran sangat lekat dengan uang dan nafsu seks.

Hal ini beda dengan jaman Babilonia kuno. Di mana prostitusi atau pelacuran bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah “pelacur kuil”. Profesi melacur ditekuni demi mendapatkan berkah anugerah dari para dewi. Kegiatan mengunjungi pelacur kuil dan menyewa jasanya adalah bentuk ibadah. Aktivitas ini dilakukan sebagai sebuah ritual dan spiritual.

Penyuluh agama Islam selaku aparat sipil negara yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama berkewajiban melaksanakan tugas sesuai amanat.  Penghuni eks lokalisasi sebagian besar adalah para WPS. Mereka mengais rizki dengan cara menjajakan dirinya, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Mereka dilatar belakangi berbagai alasan, mulai dari ekonomi, kecewa terhadap sang suami, suami tidak bisa memberikan keturunan, frustasi dengan kekasih hati, dan sebagainya.

Latar belakang pendidikan yang dimilikipun beragam, ada yang belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali hingga sudah menempuh pendidikan strata satu. Ada yang hadir sendiri, ada pula yang hadir bersama anak. Mereka semua bersaing dalam menjajakan diri demi uang. Kondisi di atas sangat memprihatinkan, baik dari sisi sosial, ekonomi, keamananan, kesehatan, budaya, pendidikan, agama bahkan administrasi.

Berangkat dari ragam masalah tersebut, penyuluh agama Islam melaksanakan edukasi keagamaan untuk WPS (wanita penjaja seks). Mulai dari balita hingga manula, dari yang belum pernah sekolah hingga yang telah menempuh pendidikan tinggi. Pada penelitian ini, penyuluh agama Islam di Kabupaten Kediri, melaksanakan edukasi keagamaan pada jalur pendidikan nonformal keagamaan bagi WPS sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal sekaligus memberikan keterampilan serta pengembangan sikap dan kepribadian.

Upaya edukasi keagamaan diawali dengan mengidentifikasi potensi wilayah eks lokalisasi di Kabupaten Kediri. Penyuluh agama Islam dengan sepengetahuan dinas sosial dan seijin tokoh masyarakat eks lokalisasi mendirikan pesantren, yang diberi nama Darussalam I-IX, sesuai dengan jumlah eks lokalisasi di Kabupaten Kediri. Pesantren ini disosialisasikan berdirinya oleh penyuluh agama Islam, bertepatan dengan  peringatan hari santri di hadapan seluruh WPS, mucikari, tokoh masyarakat dan muspida Kabupaten Kediri.

Penyuluh agama memberikan bimbingan penyuluhan berupa pelatihan membaca dan menulis huruf latin, berhitung, mengaji, tata cara ibadah, muamalah, dan pelatihan produk halal, disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan keagamaan yang dimiliki WPS. Dari hasil edukasi ini telah membuahkan hasil yakni, dari 794 santri WPS, per 1 Februari 2019 telah menurun menjadi 633 santri WPS. Penurunan sejumlah 20% dalam jangka waktu dua bulan ini merupakan fenomena yang luar biasa yang patut dikaji. Dalam hal ini penyuluh melaksanakan tugas dalam beberapa fungsi. Baik fungsi informatif, konsultatif, advokatif serta edukatif.

Edukasi keagamaan berbasis pesantren merupakan upaya teknik pengendalian sosial compultion dan sekaligus pervation,  pengendalian sosial yang dilakukan dengan mendirikan pesantren dengan harapan WPS menjadi tenang, tenteram, dan damai yang akhirnya menjadi taat dan patuh pada norma-norma yang berlaku. Dengan tersedianya pesantren di eks lokalisasi ini, dapat dilakukan penyampaikan pendidikan agama, nilai dan norma secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada WPS dengan harapan apa yang telah disampaikan itu masuk dalam jiwa, sehingga WPS sadar dan taat pada norma yang berlaku.

Edukasi keagamaan berbasis pesantren ini telah membawa dampak positif bagi WPS. Sebagai contoh WPS atas nama X asal Malang, ia dengan terus terang  mengatakan diawal kegiatan merasa keberatan mengikuti edukasi, hingga ia berpindah-pindah antar  lokalisasi. Kepindahannya untuk menghindari kewajiban mengikuti edukasi keagamaan berbasis pesantren. Namun ternyata kewajiban mengikuti pesantren adalah diwajibkan bagi semua WPS di semua lokalisasi di Kabupaten Kediri, akhirnya X sudah tidak berpindah-pindah lagi dan mengikuti edukasi keagamaan karena dipaksa oleh aturan. Namun setelah perjalanan edukasi keagamaan dia ikuti selama dua pekan, X merasa sangat membutuhkan edukasi keagamaan hingga X mengikuti dengan rutin hingga akhirnya meninggalkan lokalisasi dan berusah produk halal “Donat Arema” namun ketika jadwal pesantren, X tetap datang ke lokalisasi untuk mengikuti edukasi keagamaan.

WPS mengakui, dengan pola pendekatan personal mereka sangat senang mengikuti edukasi keagamaan, sebagaimana pengakuan A, B dan C asal Blitar, D asal Bojonegoro, E asal Probolinggo, mengaku merasa lebih tenang dan damai dalam hidupnya. Saat belum belajar agama di “Pesantren” Darussalam IV sehari-hari mereka hanya resah menunggu pelanggan. Mereka mengaku sering merasa sakit hati ketika melihat temannya memperoleh pelanggan, sementara dirinya sepi. Namun kini telah merasa lebih pasrah kepada Allah dan bahkan bersyukur, mereka bisa membuat karya aksesoris jilbab yang telah diajarkan penyuluh agama sebagai usaha produk halal. Mereka merasa senang karena sudah bisa berdzikir dengan doa sapu jagad dalam kesehariannya, meskipun belum aktif melaksanakan sholat. Mereka mengaku sudah bisa berwudlu tapi masih keberatan melakukan sholat di malam hari karena sering kelelahan bekerja.

Lain halnya dengan F asal Nganjuk, salah satu WPS yang tidak punya keluarga ini adalah seorang muallaf. Dia masuk Islam karena orang tuanya yang berkebangsaan China tidak memberikan pendidikan agama. Namun setelah masuk Islam sama sekali belum pernah belajar agama. Adanya “Pesantren” Darussalam membuatnya merasa sangat senang dan bisa belajar agama dengan maksimal. Dengan bekal rasa senang dan semangat kini dia rajin belajar sholat dan ingin bisa membaca dan menulis huruf hija’iyah dan berharap segera bisa membaca al Qur’an. Bahkan F mengaku sudah membatasi jam pelayanan dan jumlah pelanggan. Sebelum belajar agama mengaku hingga 20 pelanggan semalam, kini cukup 10 pelanggan saja dalam sehari.

Permasalahan ini sangat penting untuk diteliti, dengan harapan hasil penelitian ini bisa dijadikan studi awal tentang edukasi keagamaan berbasis pesantren yang dilaksanakan penyuluh agama Islam untuk WPS di eks lokalisasi, terutama bagi penyuluh agama Islam yang memiliki wilayah rawan prostitusi ataupun rawan ekonomi. Secara praktis, dapat dijadikan bahan rujukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan unit teknis dalam hal ini Dinas Sosial dan Direktorat Bimas Islam.

Pelaksanaan edukasi keagamaan oleh penyuluh agama Islam bagi WPS dengan mendirikan pesantren di tengah komplek prostitusi dan semua WPS wajib mengikutinya. Tujuan edukasi keagamaan adalah dalam rangka memberikan pengetahuan, pemahaman, pengamalan agama, pembiasaan ibadah, mengangkatkan martabat umat; Metode edukasi keagamaan berbasis pesantren adalah berupa ceramah, tanya-jawab/dialog/konsultasi, konseling, problem solving, praktik, demontrasi, keteladanan, bantuan sosial, pendampingan, anjangsana, wisata religi, dan ruqyah syar’iyah.

Materi wajib edukasi keagamaan untuk WPS adalah penguatan aqidah melalui sholat taubat dan sholat dluha, sedangkan materi inti edukasi keagamaan disesuaikan kebutuhan WPS meliputi al Qur’an, aqidah, syari’ah dan akhlaq. Strategi edukasi keagamaan yang diberikan oleh penyuluh agama Islam untuk WPS meliputi: memunculkan pelopor, motivasi intensif, “guyon parikeno” dan slogan introspeksi.

Pemaknaan penyuluh agama Islam terhadap pengalamannya dalam memberikan edukasi keagamaan kepada WPS adalah sebagai: 1) Panggilan Allah swt, karena Allah swt memerintahkan untuk memberikan ilmu kepada mereka yang membutuhkan; 2) Ladang dakwah, ladang untuk  menyelamatkan dari kelalaian menuju ketaatan;  3) Kesenangan dan kepuasan, karena mampu melaksanakan tugas dan profesinya dengan sebaik-baiknya; memiliki keberanian melakukan edukasi kepada WPS di lokalisasi bukan sekedar keberanian fisik, psikis, maupun ilmu, melainkan juga iman.

Pada dasarnya lokalisasi gudangnya perempuan cantik siap saji, maka ketika iman tidak berani diadu, maka edukasi keagamaan di lokalisasi tidak dapat dijalani. Dari pemaknaan penyuluh agama Islam dalam memberikan edukasi keagamaan ditemukan tipe penyuluh agama Islam, yakni tipe penyuluh agama inspiratif, argumentatif, dramatic dan motivatif.

Pemaknaan WPS terhadap pengalamannya mengikuti edukasi keagamaan adalah sebagai: 1) Bentuk ketaatan pada peraturan, karena apabila tidak mengikuti edukasi keagamaan WPS akan dikeluarkan dari lokalisasi; 2) Pemberian bekal ilmu agama.  WPS merasakan bahwa sebelum lokalisasi dibubarkan dan para WPS keluar dari lokalisasi, WPS terlebih dahulu diberikan bekal agama, agar mereka memiliki pegangan agama yang; 3) Upaya alih profesi. WPS telah menyadari bahwa lokalisasi sebenarnya sudah dibubarkan dan dihapus oleh pemerintah, dengan edukasi keagamaan senantiasa diarahkan untuk bertaubat dan beralih profesi; 4) Media pertaubatan, WPS menyadari tanpa adanya proses edukasi keagamaan berbasis pesantren, WPS pasti akan menunda-nunda kapan mereka akan bertaubat, maka ketika muncul pesantren, hal ini disadari agar proses menuju taubat itu dipercepat. Dari temuan penelitian tentang pemaknaan WPS terhadap edukasi keagamaan yang diikuti dari penyuluh agama Islam, ditemukan tiga tipe WPS, yakni tipe WPS konversif, tipe WPS konsiliatif serta tipe WPS koersif.

Implikasi Hasil Penelitian

Penelitian ini menyempurnakan teori pendidikan orang dewasa “andragogy”, akan tetapi juga mengkritiknya, karena beberapa alasan: Pertama,  mengkritik teori andragogy Carl Rogers (1942), yang mengajukan konsep “Manusia tidak bisa belajar kalau berada di bawah tekanan”. Dalam penelitian ini, hampir semua WPS awal mula mengikuti edukasi keagamaan dalam kondisi yang sangat tertekan, dan bertentangan dengan hati nuraninya; Kedua, menguatkan teori Robert M. Gagne (1968) yang mengemukakan bahwa yang terpenting bagi pendidikan orang dewasa, yakni belajar keterampilan. Ketiga, berbeda dengan teori andragogy Malcolm Knowles (1959), tentang metode belajar orang dewasa.

Hasil penelitian ini juga menyempurnakan teori pengendalian sosial Travis Hirschi (1969) “social bonds”,  yang merumuskan bahwa terdapat empat unsur utama yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu dari penyimpangan, yakni Attachment atau kasih sayang, kedekatan; Commitment atau tanggung jawab; Involvement atau keterlibatan; Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan terhadap norma. Dari teori sosial bonds, sesuai dengan penelitian ini, disempurnakan dengan “rasa kesadaran”/iman. Melalui  keterpanggilan/iman/kesadaran taubat seseorang akan meninggalkan perilaku menyimpang.

Penelitian ini juga memberikan implikasi teoritis yaitu menyempurnakan teori Herzberg (1968) motivator hygiene yang menyatakan bahwa ada faktor yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu di dalam hidupnya yaitu faktor  internal dan faktor eksternal.

Faktor internal timbul karena adanya keinginan terpenuhinya harga diri dan prestasi, kebutuhan, harapan, tanggungjawab, kepuasan kerja. Sedangkan faktor eksternal berupa dorongan di dalam diri seseorang untuk bekerja pada jenis dan sifat pekerjaan tertentu, dorongan kelompok kerja, kondisi kerja, keamanan dan keselamatan kerja, hubungan interpersonal. Hasil penelitian ini, teori Herzberg, disempurnakan bahwa faktor motivasi internal adalah adanya rasa iman.

Disamping menyempurnakan teori Lewis Rey Rambo (1980) “konversi agama”, implikasi teoritis yang lain, adalah memperkuat teori konversi agama (taubat)  yang mengatakan konversi merupakan rentetan elemen yang interaktif dan kumulatif sepanjang waktu, yang terdiri atas jenjang konteks, krisis, pencarian, pertemuan, interaksi, komitmen dan konsekuensi.

Shared: