Kegemarannya dalam pemerhati masalah sosial dan pembangunan menjadikan mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini sangat tertarik untuk mengangkat tema pada studi penelitian disertasi tentang Fenomena Sub Budaya Bhurmaen, yang menurutnya merupakan bagian dari masalah sosial atas kondisi kemiskinan yang dialami “komunitas bhurmaen” di kota kelahirannya bahkan di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam ujian promosi doktoralnya yang dilaksanakan secara daring 23 Oktober 2020 lalu, Fajar Surahman memaparkan bahwa dalam pandangan agama kemiskinan itu adalah dekat dengan kekufuran. Sebagai bentuk dari kekufuran tersebut tidak sedikit ditemui orang-orang rela mengorbankan harga dirinya untuk seringkali mendatangi perempatan jalan, emperan pertokoan, perkantoran, tempat-tempat wisata dan bahkan mendatangi rumah-rumah penduduk sekitar hanya untuk menjalankan aktifitas peminta-minta sebagai bhurmaen. Bhurmaen merupakan entitas sosial dalam termenologi masyarakat Madura yang disematkan pada orang atau komunitas masyarakat tertentu yang dalam kesehariannya terbiasa suka meminta-minta baik itu berupa hasil panen atau uang yang modus operandinya mendatangi rumah-rumah penduduk.
Berdasarkan hasil studi riset nya terungkap fakta bahwa aktifitas bhurmaen bukan lagi semata-mata hanya masalah ekonomi namun sudah bergeser terwujud semacam sub budaya (sub-culture). Manusia sebagai pencipta kebudayaan sesungguhnya memiliki kemampuan daya akal, intelegensia dan intuisi, perasaan dan emosi, kemauan, fantasi serta perilaku. Sementara dialektika fundamental (Berger dan Luckman, 2013) berproses pada tahapan eksternalisasi, yaitu proses pencurahan diri manusia secara terus menerus kedalam dunia melalui aktifitas fisik dan mental. Tahapan obyektivasi yaitu tahap aktifitas manusia menghasilkan realita obyektif yang berada diluar diri manusia. Tahapan internalisasi yaitu tahap dimana realitas obyektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali.
Oleh karena begitu menguatnya pola pikir para bhurmaen yang telah mengakar kuatsecara turun-temurun mental peminta-mintanya, sehingga walaupun sempat digulirkannya program pemberdayaan oleh Pemerintah dalam usaha mengatasi prilaku komunitas bhurmaen dengan berupa bantuan modal usaha dan pemeliharaan hewan-hewan ternak, namun tidak juga mencapai tujuan yang efektif karena beberapa bulan setelah penyerahan, ternyata hewan ternak itu bukannya dipelihara agar dikembangbiakkan melainkan dijual, sedangkan penyerahan bantuan modal usaha tidak digunakan sesuai peruntukannya. Mereka beranggapan penghasilan sebagai bhurmaen lebih nyaman ketimbang pelihara hewan peliharaan.
Fenomena bhurmaen yang terjadi di Madura menunjukkan pola perilaku yang kontradiktif dengan nilai-nilai sosial yang sesungguhnya beririsan dengan nilai agama. Nilai-nilai tersebut sebagai bentuk kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Madura. Adapun nilai-nilai sosial sebagaimana dimaksudkan yakni:Pertama: Filosofi yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Madura terkait etos kerja, “abental ombe’, asapo’ angin, apajung iman” (berbantal ombak, berselimut angin, berpayungkan iman) yang mengadung makna bahwa kegigihan seseorang dalam bekerja yang tidak pernah menyerah karena baginya bekerja bagian dari keimanan. Kedua: filosofi terkait prestise dan eksistensi diri, “etembheng pote matah ango’an pote tolang” (daripada putih mata lebih baik putih tulang) yang mengandung makna ungkapan tentang prinsip pertaruhan menjaga harga diri agar tidak jatuh dari prilaku yang menyebabkan terhina dalam kehidupan sosialnya termasuk juga dalam membela kerabat dekatnya dan agama yang dianutnya. Ketiga: Filosofi terkait kedisplinan dan konsistensi dalam etika sosial, “ngico’ tengka lanjheng tobet” (menciderai prilaku akan lama bertobatnya) yang mengandung makna sikap kewaspadaan seseorang dalam bertindak yang menyangkut etika sosial, karena sekali tercederai atas tindakannya maka penyelesaiannya sangat rumit.Keempat: Nilai agama yang mengisyaratkan bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, yang mengandung makna bahwa memberi adalah lebih baik daripada meminta. Memahami begitu kuatnya falsafah dan spirit hidup yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Madura tersebut, maka menjadi dilematis ketika dikontekstualisasikan dengan keberadaan prilaku “masyarakat bhurmaen” diwilayah Madura.
Realitas tentang bhurmaen yang terjadi pada komunitas bhurmaen di Madura dalam perjalanannya terjadi pandangan yang berbeda-beda dari masing-masing individu. Pandangan yang berbeda tentang keberadaan bhurmaen itu sendiri sejatinya lahir dari proses konstruksi para individu dalam konteks sosialnya. Konstruksi sosial (social construction) menurut Berger dan Luckmann (2013), merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Teori ini lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor kreatif dari realitas sosialnya. Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Individu menjadi seorang penentu dalam dunia sosial yang telah dikonstruksi masyarakat berdasarkan kehendaknya.
Hasil penelitian Fajar, dalam hal ini terdiri dari beberapa temuan sajian penting yaitu: Pertama, Peran dan Identitas Bhurmaen,dalam konteks ini mengandung 2 (dua) konstruksi makna yaitu: PrilakuMenyimpang, Perilaku Pragmatis. Kedua,Proses Konstruksi Sub Budaya Bhurmaen, dalam konteks ini mengandung 3(tiga) konstruksi makna yaitu: Penyesuaian dan Pencurahan Diri(proses eksternalisasi), Pembiasaandan Legitimasi(proses objektifasi), PengulanganTindakan(proses internalisasi). Ketiga, Faktor-faktor Pembentukan Sub Budaya Bhurmaen, dalam konteks ini mengandung 3(tiga) konstruksi makna yaitu:Memudarnyakarakteristik identitas kedaerahan, Ketidakmandirianekonomi, Mentalitasmiskin.
Interpretasi terhadap temuan penelitian dilapangan, maka kiranya dapat ditarik benang merah kepada 3 (tiga) poin penting dalam realitas sosialnya: Pertama, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura. Kedua, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang dijadikan pegangan oleh para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura. Ketiga, bahwa konstruksi sosial sub budaya bhurmaen terbentuk berdasarkan pengakuan (legitimasi), kepercayaan, dan keyakinan para individu dan atau masyarakat dalam memahami realitas bhurmaen di Madura. ungkap Fajar Surahman mengakhiri presentasi ujian terbuka disertasinya. (D)