Indonesia melalu pemerintah telah mengatur kebijakan sistem pendidikan nasional dal alokasi waktu pembelajaran pendidikan agama. Aspek alokasi waktu pengajaran agama pada pendidikan tingkat sekolah dasar telah memiliki nomenklatur berdasarkan PP No 55 Tahun 2007 pasal (5).
Secara normatif aturan tersebut menekankan pada kurikulum pendidikan agama harus dilaksanakan berdasarkan standar nasional pendidikan yang kemudian dipertegas dalam Permendikbud No 67 Tahun 2013 bahwa kurikulum agama di sekolah dasar (SD) dialokasikan sebanyak empat jam dalam sepekan dengan durasi perjamnya selama 35 menit. Alokasi waktu tersebut, dianggap oleh sebagian kepala daerah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan agama. Secara khusus pengajaran pendidikan agama Islam.
Kekurangan jam pelajaran pendidikan agama Islam, dikhawatirkan akan berpengaruh pada praktek religiusitas para siswa yang akan dijumpai bukan hanya dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga secara khusus dapat dijumpai di lembaga pendidikan formal. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat La Ode Ilman, salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, membuat sebuah penelitian disertasi yang mengupas tentang "Kebijakan Penguatan Pendidikan Agama Islam Melalui Pembelajaran Al- Qur’an di Sekolah Dasar". yang dilaksanakan pada dua sekolah dasar yaitu SDN 1, SDN 26, dan SDN 66 yang ada di Ternate.
Keterlibatan Langsung dari Pemerintah
Keterlibatan pemerintah dengan merancang kebijakan-kebijakan strategis terkait peningkatan kualitas pendidikan agama Islam. Kebijakan-kebijakan strategis ini mulai nampak dipraktekan secara nyata sebagian kepala daerah di Indonesia salah satunya Walikota Ternate. Rancangan pendidikan tersebut, tertuang secara langsung dalam kebijakan beliau berupa tambahan kurikulum pembelajaran Al-Qur’an pada sekolah tingkat dasar.
Implementasi kebijakan pembelajaran Al-Qur’an secara merata diberlakukan di seluruh Sekolah Dasar Negeri Ternate semakin memiliki kekuatan dan mudah dievaluasi pasca Walikota Ternate menandatangani Perwali Nomor 13 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan agama dan Perwali Nomor 42 Tahun 2017 tentang tambahan jam belajar siswa.
Keseriusan dan kesungguhan pemerintah dalam menerbitkan kebijakan-kebijakan strategis pendidikan agama bukan hanya karena ingin melahirkan pendidikan yang berkualitas, namun juga karena amanah konstitusi dan ideologi bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (3) dan juga termaktub dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Bab II pasal 3.
Internalisasi nilai-nilai pendidikan agama dalam pendidikan umum.
Bagi lembaga pendidikan umum yang belum menerapkan pendidikan integral maka seharusnya kekurangan jam pendidikan agama di sekolah umum dapat diatasi dengan meleburkan nilai nilai pendidikan agama ke dalam pendidikan umum.
Pada prakteknya alternatif tersebut menuntut para guru bidang studi yang mengajar di sekolah umum tidak hanya mampu menguasai rumpun ilmu yang diajarkan akan tetapi juga harus mampu mengungkap nilai-nilai agama yang terkandung dalam rumpun ilmu tersebut agar pengetahuan siswa menjadi utuh baik pada pendidikan agama maupun pendidikan umum.
La Ode melihat bahwa kekurangan jam pelajaran agama dapat mengurangi kesadaran siswa dalam menjaga orisinalitas ajaran agama yang seharusnya hal ini mulai diterapkan sejak dini kepada anak-anak. Selain itu masalah religiusitas dan orisinalitas ajaran agama, kekurangan jam juga seakan kontra produktif dengan nilai-nilai kompetensi dasar kurikulum kontemporer saat ini.
”Jika masalah kontra produktif terus dibiarkan, maka akan dikhawatirkan kegagalan pendidikan agama Islam dan pada akhirnya juga akan berdampak pada krisis multidimensional yang berujung pada krisis kepercayaan dengan puncaknya krisis moral,” ujarnya.
La Ode menemukan pada praktek kebijakan BTQ dan diniyah yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kota Ternate dimana kebijakan BTQ dan diniyah di Ternate dirumuskan berdasarkan model eklektik integralistik, karena adanya pemilihan beberapa model dan terpadu dalam satu kebijakan yang sama yaitu model kelembagaan, rasionalis, dan inkrementalis.
Pada kebijakan BTQ dan diniyah, model kelembagaan memiliki tiga unsur yaitu: pemerintah memiliki kewenangan dan sah membuat kebijakan publik, fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus bersifat universal, dan pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Rasionalis karena kebijakan BTQ dan diniyah dirumuskan dengan pikiran-pikiran rasional yang efektif dan efisien dimana BTQ dan diniyah hadir untuk mengatasi dan memberantas tuna aksara (buta huruf) Al-Qur’an sejak dini karena penduduk yang mayoritas muslim harus tahu membaca Al-Qur’an. Adapun inkrementalis karena kebijakan BTQ dan diniyah mengalami perubahan dan penambahan program pasca pergantian kepala dinas pendidikan nasional Kota Ternate yaitu program tahfidz Al-Qur’an juz 30.
Kebijakan berikutnya yang La Ode dapatkan adalah BTQ dan diniyah dapat diimplementasikan dengan baik hingga sampai ke seluruh sekolah tingkat dasar negeri maupun swasta dikarenakan oleh adanya dominasi komunikasi kepala daerah (walikota) dan kemampuan beliau dalam merealisasikan pendekatan komunikatif persuasif kepada seluruh stakeholders, karena para aktor kebijakan tidak hanya dituntut untuk lihai dalam membuat keputusan/kebijakan akan tetapi juga harus pandai dalam mengkondisikan masalah persuasi.
La Ode juga menemukan adanya dominasi komunikatif kepala daerah melalui pemanfaatan struktur birokrasi yang ditandai dengan terbitnya perwali sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan adanya praktek fragmentasi birokrasi dengan dibentuknya tim khusus yang terpusat di diknas pendidikan nasional Kota Ternate dan bertanggung jawab atas suksesnya program BTQ dan diniyah.
Berikutnya evaluasi kebijakan BTQ dan diniyah ditemukan adanya relevansi yang kuat dengan conceptual theory karena anya alternatif yang solutif berupa pengkondisian anak didik dengan melibatkan sinergitas sigi, sio, dan sekolah menjadi relevan dengan kebijakannya, hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa program BTQ dan diniyah terdapat adanya validitas diantara keduanya.
“Karena adanya kevalidan antara kebijakan dan alternatif maka kebijakan ini turut menjadi penting sehingga harus dilegitimasi secara formal dengan Perwali. Kebijakan yang legitimit pastinya akan berdaya guna sebagaimana BTQ dan diniyah tidak hanya fokus pada membaca Al-Qur’an namun juga tahfidz,” ujar La Ode saat dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp.
Salah satu alasan yang menjadikan kebijakan BTQ dan diniyah berdaya guna karena munculnya kebijakan tersebut sangat originalitas atau sesuai dengan fakta, dimana kebijakan tersebut bukan untuk kepentingan politik namun sangat berpihak pada kepentingan umat muslim. Dengan demikian kebijakan ini layak dan mungkin untuk dipertahankan karena memberikan dampak positif dan hanya berlaku buat umat Islam semata. (*)