Melakukan penelitian merupakan sebuah kegiatan yang wajib bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Terutama pada jenjang doktor atau S3. Meneliti sebuah fenomena di dunia pendidikan juga merupakan satu dari sekian banyak bidang yang bisa dijadikan topik penelitian oleh para mahasiswa. Tak terkecuali Maimun yang merupakan salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islama Universitas Muhammadiyah Malang.
Ia memilih untuk meneliti fenomena yang ada pada Guru Aswaja Ke-NU-an di Madura melalui sebuah judul “Konstruksi Ikhtilaf Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Latar belakang mengapa ia mengambil judul tersebut adalah karena masih adanya kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh perbedaan paham keagamaan di Madura yang notabene mengatasnamakan organisasi masyarakat. Yaknj Nahdlatul Ulama dengan selainnya.
Atas dasar organisasi ini memiliki lembaga pendidikan yang memuat pembelajaran berorientasi internalisasi nilai-nilai organisasi dalam kurikulum yang disusunnya, yang dalam konteks NU adalah pembelajaran aswaja ke-NU-an. Pelajaran ini merupakan muatan lokal tetapi bersifat wajib untuk disampaikan oleh semua lembaga pendidikan di bawah Ma’arif NU. Atas dasar tersebut Maimun memilih untuk mengkaji tentang konstruksi pemikiran, pengalaman dan pemakanaan guru aswaja dalam pembelajaran pendidikan aswaja ke-NU-an. Apakah mengarah pada inklusivisme ataukah eksklusivisme.
Penelitian yang berfokus dalam tiga kajian. Pertama bagaimana konstruksi pemikiran guru aswaja tentang ikhtilaf dalam pembelajaran pendidikan aswaja ke-NU-an di Madura. Fokus yang berikutnya tentang bagaimana pengalaman guru aswaja dalam mengajarkan ikhtilaf pada pembelajaran pendidikan aswaja ke-NU-an di Madura. Dan, ketiga, bagaimana pemaknaan guru aswaja tentang ikhtilaf dalam pembelajaran pendidikan aswaja ke-NU-an di Madura dengan menggunakan 5 orang guru aswaja di lembaga pendidikan Ma’arif NU yang ada di Madura.
Dari hasil pendalaman terhadap 5 orang guru tersebut, Maimun mendapati beberapa temuan yang ia tuliskan pada penelitian disertasinya. Di mana model pemikiran guru Aswaja tentang ikhtilaf dibentuk oleh guru ngaji dan keluarga sebagai sosialisasi primer serta oleh pondok pesantren dan masyarakat sebagai sosialisasi sekunder. Selain itu pengalaman guru tersebut dalam mengajarkan ikhtilaf menggambarkan tiga kondisi dimana yang pertama yaitu kondisi personal. Mereka merasa senang karena di samping bisa belajar kembali, juga bisa menyampaikannya pada siswa.
Kedua, kondisi kelas di mana mayoritas siswa berlatar belakang NU dan terbiasa dengan ikhtilaf. Ketiga yaitu penyampaian guru Aswaja berdasar pada buku pelajaran, menekankan pada dalil, berfikir moderat, toleran, dan tidak memberikan stimulasi terciptanya kesenjangan sosial.
Pemaknaan Guru terhadal Ikhtilaf
Pemaknaan guru aswaja yang didapati oleh Maimun meliputi tiga hal. Pertama, ikhtilaf sebagai amalan sunah. Ikhtilaf merupakan amalan yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan. Artinya, bahwa ikhtilaf merupakan sunnatullah yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, ikhtilaf sebagai rahmah. Yaitu wujud kasih sayang Allah pada umatnya, sehingga memiliki kebebasan untuk mengamalkan sesuai keadaan mereka, serta menjalankan kemanfaatan sosialnya.
Ketiga, ikhtilaf sebagai identitas organisasi yang memiliki legitimasi kuat. Baik kultural, struktural dan transendental. Sehingga keterbukaan berpikir mereka menunjukkan representasi prinsip organisasi NU, dan bersifat bersyarat, sepanjang tidak diganggu, dihina dan dilarang. "Motif pemaknaan ini adalah karena ada dalil yang menguatkan dan mengikuti ketetapan ulama," jelasnya.
Maimun mengidentifikasi hasil temuan dari penelitian ini sebagai “konstruksi organisatoris” dengan asumsi dasar bahwa ikhtilaf merupakan bagian dari ideologi organisasi keagamaan yang dialami, dipelajari, diamalkan dan disampaikan oleh guru Aswaja dalam kultur sosial dan lembaga pendidikannya. Konstruksi ini melibatkan ulama sebagai central role dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Dalam konteks ini peneliti mengajukan proposisi bahwa “konstruksi pemikiran individu tentang keyakinan beragama lebih dipengaruhi sosialisasi sekunder (tokoh agama) daripada sosialisasi primernya (orang tua)”.
Sebuah penlitian tentu saja tidak akan pernah sempurna. Hal ini juga disadari oleh Maimun dengan menyampaikan bahwa berdasar pada hasil penelitiannya ini terdapat fakta bahwa pembelajaran Aswaja ke-NU-an dengan subjektivitas guru yang ada di dalamnya tidak menstimulasi munculnya kesenjangan sosial di masyarakat.
Hal ini menurut Maimun dapat diartikan bahwa masih adanya faktor lain yang menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial antara warga NU dengan paham keagamaan yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan agar ditemukan akar persoalan yang sesungguhnya sehingga kesenjangan sosial yang terjadi selama ini di Madura akibat perselisihan paham keagamaan tidak terjadi lagi.
Fakta lain yang perlu mendapat perhatian bersama dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua guru Aswaja merasa tidak senang bahkan sebagian menyebut tidak terima atas penyebutan bidʻah karena dinilai tidak tepat dan menjadi label yang mendiskreditkan nilai-nilai organisasi mereka.
Oleh karena itu, penyebutan nama seperti itu perlu diminimalisir dan sebaiknya menggunakan istilah lain yang lebih ramah bagi mereka (yang berbeda), sehingga kesenjangan sosial tidak akan pernah terjadi lagi. Hal ini menyerupai seruan Kementerian Agama yang mengharapkan penyebutan istilah “kafir” yang ditujukan kepada non-muslim perlu dihindari agar kesenjangan sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa akibat labelisasi itu bisa dikecilkan volumenya.
Hal seperti ini berlaku untuk semua macam labelisasi yang mengarah pada illat yang sama hanya untuk tujuan yang sama, yaitu agar integrasi bangsa bisa terjaga dengan baik, dan apa yang menjadi fungsi agama benar-benar nyata adanya, yaitu agama sebagai rahmatan lilʻâlamîn. (*)