Makna Sosial Kerbau Belang dalam Ritual Kematian Masyarakat Tana Toraja

Selasa, 12 Juli 2022 06:06 WIB

      Setiap suku bangsa di dunia memiliki tradisi ritual pemakaman yang berbeda-beda. Masyarakat Tana Toraja dalam kehidupan sehari-hari terikat dengan sistem adat yang berlaku, sehingga berdampak pada keberadaan ritual adat sebagai ritual adat. Ritual adat dihadirkan mulai dari prosesi kelahiran hingga kematian. Salah satu ritual yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Tana Toraja adalah ritual dalam prosesi kematian rambu solo. Ritual adat dalam prosesi kematian masyarakat adat Tana Toraja merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan.
      Ritual rambu solo merupakan ritual kompleks yang melibatkan penguburan rumit. Kompleksitas ini mencerminkan filosofi hidup orang Toraja dan pandangan mereka tentang kematian, almarhum dan akhirat. Pada awalnya rambu solo dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang berkaitan dengan AlukToDolo. Masyarakat Tana Toraja telah lama melakukan ritual kematian yang sangat unik, yang disebut rambu solo. Rambu solo merupakan ritual pemakaman sebagai perwujudan falsafah hidup dan peribadatan masyarakat Tana Toraja, selain sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang tua yang telah meninggal dunia atas jasa-jasanya selama hidup.
      Ritual rambu solo didasari pada kepercayaan yang sangat kuat dari Aluk To Dolo. Dasar kepercayaan bahwa arwah seseorang yang telah meninggal akan menuju alam keabadian. Kehidupan baru akan dimulai, sehingga sesuatu yang dipersembahkan baik berupa pakaian, tedong (kerbau) dan babi yang disembelih menjadi bekal kehidupan baru setelah kematian. Anggota keluarga yang telah meninggal tidak dinyatakan meninggal sebelum ritual tanda solo dilakukan. Ritual rambu solo sebenarnya merupakan ritual yang dimaknai sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang dicintai yang telah meninggal, juga tidak terlepas dari makna simbol-simbol dalam proses dan tahapan pelaksanaan upacara rambu solo. Simbol ini dapat berupa doa yang diucapkan oleh To Minaa yang berarti ibadah, penyembahan, dan permohonan.
      Lambang lainnya juga dapat berupa perlengkapan upacara yang berarti sesajen kepada leluhur dan merupakan penghormatan terakhir kepada almarhum dari seluruh keluarga, kerabat dan kepada ma'rapu (masyarakat keluarga besar). Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan bahwa ritual rambu solo dapat menyempurnakan kematian. Orang- orang memiliki firasat bahwa seseorang yang telah meninggal dan belum melakukan ritual rambu solo, diyakini orang tersebut tidak mati. Bagi merka orang yang sudah meninggal diperlakukan sebagai orang sakit. Keluarga percaya bahwa kerabat mereka masih hidup, karena orang-orang diistirahatkan di tempat tidur, ditawari makanan dan minuman, dan diminta untuk bercerita dan bercanda seperti biasa, seperti kebiasaan orang itu selama hidup.
      Ritual tanda solo sendiri yang bagi masyarakat Toraja merupakan budaya yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan unsur budaya lainnya. Bagi orang Toraja, berbicara tentang pemakaman bukan hanya tentang ritual, status sosial, jumlah tedong (kerbau belang) yang dipotong, tetapi lebih pada harga diri, rasa malu (siri').  Rambu solo sendiri adalah "Gerbang" bagi mayat untuk memasuki dunia baru. Banyaknya tedong dan babi yang dikorbankan menambah derajat badan saat puya. Ritual ini dimaknai masyarakat Tana Toraja merupakan bentuk cinta dan bakti kepada orang tua serta mempererat tali silaturrahmi keluarga. Makna lain dari tedong bonga (kerbau belang) sebagai simbol adat yang disakralkan dan dibentuk berdasarkan makna yang dimiliki manusia serta kesepakatan bersama melalui interaksionisme simbolik, dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi, agama, prestise dan ekonomi.
      Makna ritual kematian yang penuh arti (meaningful) membuat manusia yang memahami bahwa dalam pengorbanan yang besar kepada leluhur dan Sang Pencipta membawa kedamaian dan ketentraman sehingga manusia yang memahami makna ritual kematian yang penuh arti akan berlomba-lomba melakukanya. Namun, simbol-simbol adat yang disakralkan diterapkan seuai dengan kesepakatan bersama, bahwa simbol yang digunakan dalam ritual kematian yang penuh arti tidak mendobrak tatanan adat. Semakin banyak tedong bonga yang dikorbankan menentukan status sosial seseorang.
      Pada tulisan disertasinya Ferdy menyimpulkan bahwa Simbol tedong bonga yang awalnya sebagai kendaraan menuju nirwana untuk memuli kehidupan baru dan berkumpul dengan roh para leluhur. Sejalan dengan interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh perubahan keyakinan yang dimilikinya, tedong bonga sebagai simbol tertinggi dalam ritual kematian dipersembahkan sebagai wujud kasih sayang terhadap orang tua atau keluarga yang meninggal. Dirinya juga memberikan saran kepada Dinas pariwisata bersama pemuka adat di Tana Toraja mensosialisasikan bahwa dalam ritual Rambu Solo keberadaan kasta tetap harus dipertahankan. Meskipun masyarakat yang tergolong makmur, tapi berasal dari kasta yang bukan bangsawan tidak mendobrak ketentuan adat.
      Tak hanya itu saja, diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti tentang pengaruh pergeseran makna Tedong Bonga dalam ritual Rambu Solo dikarenakan perpindahan kepercayaan masyarakat Tana Toraja yaitu kepercayaan Aluk Todolo ke agama Kristen.(*)

Shared: