Dalam arus dunia kontemporer persoalan kebahagiaan masih menjadi tujuan puncak bagi setiap manusia. Termasuk orang Jawa. Orang Jawa kontemporer sendiri merupakan sosok yang cair terhadap perubahan, namun tidak meninggalkan nilai-nilai luhur dari leluhur orang Jawa. Nilai-nilai luhur orang Jawa memang tidak mengenal istilah kebahagiaan, akan tetapi yang ada adalah tentrem. Sebab bahagia bersifat owah gingsir, selalu berubah (labil) sebab kebahagiaan ada batas waktunya. Sedangkan makna tentrem lebih bersifat abadi. Karena tentrem memiliki karakteristik tidak saja untuk diri sendiri akan tetapi juga buat orang lain (kolektivitas) dan juga untuk alam semesta (holistik).
Melihat keunikan dari orang jawa kontemporer ini membuat Moch. Slamet, mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, tertarik untuk menjadikannya sebuah penelitian disertasi yang dengan tajuk "Makna Tentrem Dalam Kawruh Orang Jawa Kontemporer".
Pandangan Hidup Orang Jawa
Orang Jawa juga disebut nggone rasa, maka segala tindakan selalu menggunakan rasa sebagai panglimanya. Dalam kehidupan keseharian orang Jawa selalu bersahaja, tidak berlebihan. Dalam berbagai perbuatan orang Jawa menekankan eling lan waspada agar tidak terjebak pada perbuatan yang tercela. Berikutnya adalah urip sak dermo mampir ngombe. Artinya bahwa kehidupan di dunia ini hanya berhenti sesaat untuk minum. Berikutnya pitutur yang lain ojo dumeh, aji mumpung, adigang, adigung, adiguno, mawas diri, tinemune ngelmu kanthi laku serta masih banyak lagi pitutur Jawa yang lainnya. Oleh karenanya orang Jawa hidupnya di dalam harmoni, guyup rukun, sebab kesadaran individu terhadap keseimbangan manusia dan semesta alam merupakan keteraturan sebuah sistem besar (jagad gedhe) untuk menuju tentrem e ati.
Alasan penulis (Slamet) meneliti ini karena selain profesinya yang juga seorang seniman, dirinya merasa perlu untuk menelaah tentang siapa orang Jawa kontemporer itu dan bagaimana pemahaman mereka dan upaya mewujudkan dari ajaran tentrem serta ekokultural modern. “Selain itu saya tertarik untuk menggunakan buku dari Suryo Mentaram Kawruh Beja Sawenta yang isinya sesuai dengan arah penelitian ini dan dapat melihat seperti apa falsafah dan prinsip hidup orang Jawa yang berpegang pada prinsip Mawas diri, Memayu hayuning bawono, Manunggale kawulo Gusti, serta tiga prinsip Jawa kontemporer dengan sikap dan tindakan wah, weh, woh” ujarnya.
Dalam penelitiannya Slamet mengambil subjek mereka yang hidup dalam lelaku Jawa serta tidak tergabung dalam sekte atau klan. Mereka adalah orang-orang independen yang ada di Malang raya, tidak ada mentoring. Bentuk komunikasinya share antar individu tentang kemampuan dan pengalaman dalam ajaran Jawa (pengalaman empirik). Mereka bukan komunitas tertentu tetapi jaringan dalam membangun komunikasi.
Makna dan Tindakan Ajaran Tentrem
Dari hasil wawancaranya Mawas diri ialah suatu sikap untuk mengetahui ciri sendiri dengan ajaran pitutur eling lan waspada. Hal ini bukan saja persoalan otokritik, namun juga peringatan agar berfikir dulu sebelum bertindak supaya orang lain tidak dirugikan. Serta tidak terjebak pada perbuatan yang tercela.
Sedangkan Memayu hayuning bawana adalah sebuah daya hidup untuk memberi agar terciptanya keteraturan sistem (bertemunya jagad cilik dan jagad gedhe). Dengan demikian eko kultural sebagai jagad ideal dengan tercapainya guyup rukun harmoni secara kolektif. Untuk itu dibutuhkan setiap individu dono weweh dengan ikhlas. Manunggale kawulo Gusti adalah menyatunya harmoni dan suwung,diyakini sebagai pintu tertinggi untulk dapat dekat dengan Gusti. Untuk hal itu, manusia harus memahami asal-usul tentang ciptaan Gusti. Pertama asal-usul itu meliputi adanya bapa biyung (Gusti ingkang katon). Kedua adalah Gusti pencipta dari segala ciptaan disimbolkan ana ing ora ana oleh karenanya hanya individu yang sudah nggembeng yang dapat manunggal dengan Gustinya.
Sementara itu dalam menjalankan prinsip-prinsip ajaran tentrem, orang Jawa kontemporer memiliki tindakan Wah dimana mereka mengartikan suatu tindakan atau perbuatan yang tampak dipermukaan, bersifat gelar seperti, adigang, adigung, adiguno, emosi, kesombongan, suka pamer. Oleh sebab itu sulit ditebak dari perbuatan yang berbuah akibat. Bisa baik bisa jelek, tergantung niatnya serta kahanan. Tindakan selanjutnya yaitu Weh dimana sebuah tindakan bisa individu bisa kolektif seperti guyup rukun hal ini sifatnya juga owah gingsir berbentuk gelar. Setiap individu maupun kelompok harus tumbuh kesadaran dono weweh sebab pemberian bukan saja wujud empati akan tetapi berbentuk tanggung jawab. Dapat berbentuk materi atau kebendaan bisa juga yang non materi. Tujuannya adalah terbangunnya harmoni manusia dan alam semesta. Sedangkan Woh sendiri mereka mengartikan sebagai akibat dari sebuah akibat dapat saja berbentuk peringatan agar pengalaman tersebut dapat menjadi kaca benggala atau pelajaran hidup.
Asok saka urip balik nang urip, semua berasal dari hidup kembali kepada hidup itu sendiri. Woh dalam pengertian lain adalah dialektika alam ialah terciptanya keteraturan, di mana jagad cilik (sebab) bertemu dengan jagad gedhe (akibat). Dengan demikian woh dapat juga disebut sebagai buah perbuatan yang permanen dan tetap (gulung).
Dari hasil pemaknaan tersebut Slamet menarik kesimpulan dimana Orang Jawa masih berpengang teguh pada ajaran leluhur namun memiliki adaptasi di era kontemporer. Tidak hanya itu saja, ajaran yang bersumber dari falsafah Jawa warisan leluhur di mana bahwa ajaran tersebut membimbing manusia untuk menjadikan tentrem ing ati.
Tentrem bagi orang Jawa kontemporer lebih bersifat holistik bahwa tentrem di samping sebagai kebutuhan individu, akan tetapi juga keteraturan sistem yang guyup rukun, harmoni serta bersifat kolektivitas. Artinya bahwa tentrem bagi orang Jawa kontemporer tidak untuk individu saja. (*)
Sumber: www.timesindonesia.co.id