Demokrasi memberIkan ruang yang luas dalam hal pemilihan pimpinan. Baik di tingkat pusat maupun daerah.Salah satu pesta demokrasi yang cukup hangat setelah pemilihan presiden atau Pilpres yaitu Pemilihan Kepala Daerah atau yang awam disebut pilkada. Pelaksanaan Pilkada di setiap daerah tentu memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri dan berbeda. Baik itu struktur politik, struktur ekonomi maupun struktur sosial masyarakatnya. Keterlibatan jaringan sosial tidak dapat dihindarkan bagi daerah-daerah tertentu, dimana masyarakatnya sangat kuat memegang teguh tradisi adat yang didasarkan pada suatu ikatan dalam melakukan pertukaran peran (patron klien) berpegang pada prinsip kekerabatan.
Pola hubungan ini tidak hanya terjadi pada struktur formal tetapi terjadi juga pada struktur informal, seperti dalam organisasi-organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi lainnya. Di mana pembentukannya didasarkan pada aturan formal, sehingga hubungan sosial di antara mereka ini memiliki celah akan terjadi adanya hubungan patronklien kepada sesama anggota dalam organisasi sosial itu sendiri. Selain itu calon Walikota dan Wakil Walikota juga perlu memperhatikan peta politik yang merupakan perangkat informasi yang akurat yang memberi gambaran secara jelas terkait calon secara langsung. Peta politik yang dimiliki calon walikota dan wakil walikota.
Selanjutnya akan menjadi rujukan dalam memilih jalan yang paling tepat dalam mencapai tujuannya. adanya peta politik ini, para kandidat akan lebih mengetahui dari berbagai kekuatan dan kelemahan baik itu dari calonitu sendiri maupun kelemahan rival pesaingnya. Dengan diketahuinya terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan tersebut maka bagi seorang calon tidak akan terkecoh lagi dari berbagai informasi yang sifatnya menyesatkan sehingga pada akhirnya dapat merugikan bagi calon yang akan mengikuti kontestasi pilkada, maka dengan demikian si calon bisa fokus dengan target dan sasaran yang harus di raih. Seorang calon Walikota dan Wakil Walikota tidak bisa mengabaikan keberadaan jaringan organisasi sosial yang berpengaruh dalam masyarakat dimana jaringan organisasi ini dapat dijadikan suatu rujukan bagi para pemilih untuk memberikan dukungan suara kepada calon Walikota dan Wakil Walikota. Namun yang lebih penting lagi adalah para calon harus melakukan komunikasi dan hubungan keterdekatan dengan para ulama dan tokoh masyarakat. Komunikasi itu untuk mendapatkan semacam restu bagaimana caranya untuk bisa mengalahkan pada pesaingnya sehingga bisa menang pada Pilkada Walikota dan Wakil Walikota.
Ada sikap masyarakat yang menginginkan pemimpin kota Palangka Raya harus masyarakat sipil, senior dan berpengalaman, namun ada pula yang menginginkan orang yang energik dan muda namun memiliki popularitas tinggi. Fenomena menarik dalam Pilkada di kota Palangka Raya menurut Hasan adalah bagi calon berasal dari putra daerah, selain memiliki modal sosial didapat dari para pejabat namun ada pula mendapat dukungan lain yang sangat berperan disaat menjelang Pilkada kota Palangka Raya. Dukungan yang berperan bagi calon adalah berupa bantuan dari para roh leluhur yang sudah meninggal (dalam kepercayaan masyarakat Dayak) dengan tujuan meminta ijin dan restu. Bagi si calon Walikota dan Wakil Walikota melalui bantuan dari seorang Supranatural memintakan kepada “Ranying sunying / Yang Maha Kuasa melalui ritual yang dinamakan Sangiang”, yang dipandu oleh “Basir atau Pisor” (Pemimpin acara riual adat) maka prosesi ritual, dilakukan untuk berkomunikasi dengan rohleluhur untuk dapat membantu meraih keinginannya.
Selain mendapat dukungan Supranatural melalui “Sangiang” ada pula sicalon meminta dukungan kepada para Kiai ternama, baik yang berada di Palangka Raya maupun di luar Kalimantan Tengah. Disisi lain adanya peran kekuatan Supranatural seperti ini selalu ada dan menjadi prasyarat, bahkan merupakan suatu keharusan bagi putra daerah untuk melakukan acara ritual untuk meminta ijin dari para roh leluhur, Sama halnya ketika ada pelaksanaan Pemilihan Legislatif maupun Pilkada. Bahkan tidak hanya sebatas ijin serta persetujuan dari para roh leluhur, namum juga membukakan jalan dan sekaligus sebagai pendamping selama proses Pilkada berlangsung. Para calon mempunyai keyakinan bahwa dengan adanya komunikasi dan kekuatan dari para lelehur menandakan bahwa perjalanan menuju kontestasi akan diberikan kelancaran dan harapan untuk memenangkan kontestasi Pilkada dapat dicapai.
Hasan menjelaskan bahwa dalam penelitian ini yang di jadikan pijakan teori yang digunakan adalah teori Bourdieu tentang modal sosial. Teori yang dsampaikan Bourdieu dalam kaitannya dengan perilaku bagi seseorang yang ikut berkontstasi untuk memperebutkan suatu jabatan seperti Pemilihan kepala daerah (Pilkada), apabila jika dikaji lebih lanjut perilaku calon yang ikut berkontestasi di Pilkada selalu menyakini adanya kekuatan Supranural, yang dibantu melalui perantara Kiai dan Paranormal sebagai jaringan modal sosial maka secara logika itu tidaklah rasional, namun jika memperhatikan teori sosial mengenai modal sosial yang dikemukakan Pierre Bourdieu maka untuk menjawab permasalah tersebut diperlukan suatu penelitian (riset) tersendiri antara “Objektivitas dan Subjektivitas.
Sebagai implementasi pelaksanaan demokrasi bagi suatu negara yang menganut paham demokrasi Pancasila, dan jika mencermati fenomena dalam pelaksanaan Pilkada Kota Palangka Raya dalam memilih Walikota dan Wakil Walikota dimana terdapat suatu realita masyarakat kota Palangka Raya dalam upaya memenangkan dirinya bersaing untuk mendapatkan dan meraih suara terbanyak maka harus memiliki modal sosial yang kuat, jaringan nilai-nilai, norma, resiprositas, mendapatkan kepercayaan yang luas, memiliki karisma sebagai pemimpin, momentum yang tepat dan rekam jejak yang baik yang tidak pernah melakukan perbuatan yang tercela. Selain itu untuk mencapai kemenangan pilkada perlu adanya dukungan penguasa daerah, melibatkan para tokoh masyarakat dan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh budaya, juga peran generasi muda/anak milineal serta peran supranatural (kyai, tuan Guru, dan para normal), yang selalu memberikan semangat dan dorongan dan memberi keyakinan atas upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai kemenangan.
Hasan mendapati bahwa ternyata teori modal sosial dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, kemudian dilanjutkan Putnam dan Fukuyama tersebut masih kurang lengkap, tidak hanya dukungan oleh jaringan sosial yaitu berupa dukungan ekonomi, dukungan politik dan dukungan budaya namun juga ada ditemukan dukungan sosial berupa kekuatan supranatural yang terdiri dari paranormal dan para kiai. Atas dasar itulah maka Hasan menambah dan menyempurnakan teori modal sosial tersebut dengan membangun teori baru menjadi: “Modal sosial selain diperlukan adanya dukungan dari jaringan-jaringan sosial seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya namun juga diperlukan dukungan Supranatural yang ada dalam masyarakat” Ujarnya.