Perkembangan zaman yang semakin modern akan mampu menggiring posisi pendidikan agama Islam untuk menjadi prioritas dalam sebuah pembelajaran di lingkungan lembaga pendidikan. Hal mendasar yang bisa dilakukan oleh para akademisi adalah memberikan makna pada proses pembelajaran sebagai transfer of knowledge. Lalu, pada akhirnya akan ditutup dengan transfer of value dari tenaga pendidik kepada peserta didik. Konsep ini dapat berwujud dalam indoktrinasi pengetahuan keagamaan yang bersifat kognitif melalui proses pembelajaran literasi al-Quran.
Azyumardi Azra yang merupakan seorang cendekiawan muslim menyatakan bahwa Perguruan Tinggi Islam memiliki dua peran. Pertama peran struktur organisasional, yakni mampu menciptakan intelektual muslim masa depan yang mampu memberikan pembaharuan pemikiran di bidang pendidikan Islam. Peran kedua adalah peran sosial. Yakni mampu menciptakan tatanan yang beradab melalui outcome yang berkualitas. Selain itu, Perguruan Tinggi Islam bertanggungjawab untuk mampu menciptakan outcome yang berkarakter serta memiliki kemampuan intelektual dan agamis.
Namun, realita di lapangan mengungkapkan hal yang berbeda, yakni keterampilan literasi al-Quran mahasiswa masih sangat rendah. Hal ini merujuk pada data tentang problematika nasional yakni lebih dari 80% mahasiswa baru tidak bisa membaca al-Quran dan lebih dari 50% umat Muslim di Indonesia tidak bisa mengaji.
Temuan realita tersebut yang akhirnya membuat Husnul Khotimah, salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang ini menjadikannya sebuah topik dalam penelitian disertasinya dengan tajuk “Model Pembelajaran Literasi Al-Quran Di Perguruan Tinggi Islam”. Disertasi yang berfokus untuk mendalami bagaimana model pembelajaran literasi al-Quran yang ada pada tingkat pendidikan tinggi. Khususnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri serta bagaimana dampaknya terhadap peningkatan literasi al-Quran mahasiswa yang ada disana.
Husnul menemukan fakta internal kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri menunjukkan bahwa kompetensi literasi al-Quran yang dimiliki mahasiswa sangat bervariasi. Di mana dari 2916 mahasiswa baru tahun akademik 2019/2020 terdiri dari 8% mahasiswa mendapatkan nilai A (sangat bagus), 26% mendapatkan nilai B (bagus), 54% mendapatkan nilai C (cukup), 8% mendapatkan D (kurang), dan 4% mendapatkan nilai E (sangat kurang).
Kevariasian prosentase ini dilatarbelakangi oleh adanya dua unsur. Yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.Unsur intrinsik bisa berupa mindset yang tertanam dalam diri mahasiswa terhadap kegiatan membaca al-Quran. Keberadaan media sosial mampu menggeser pola pikir mahasiswa yang pada akhirnya mampu menjadi kiblat mereka dalam beraktifitas.
Unsur kedua berupa unsur ekstrinsik, yakni latar belakang yang dimiliki oleh mahasiswa baik latar belakang keluarga atau lingkungan sekitar maupun latar belakang pendidikan yang dienyam sebelumnya. “Itulah alasan mengapa saya mengambil tema ini menjadi disertasi saya,” ujar mahasiswa yang juga berprofesi sebagai dosen tersebut.
Husnul mengatakan bahwa temuan penelitian yang dihasilkannya berupa suatu model pembelajaran akan mencapai hasil maksimal jika dilakukan secara totalitas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahap perencanaan berupa pemilihan tenaga pendidik yang qualified. Penyusunan modul pembelajaran berdasarkan James D. Russel menyatakan bahwa salah satu kelebihan dari kemandirian dalam menyusun modul adalah target yang dicanangkan dalam modul tersebut sangat realistik dan sesuai dengan tujuan insturksional yang pada akhirnya mudah untuk dijangkau oleh mahasiswa sebagai peserta didik dan pengklasifikasian mahasiswa sebagai peserta didik yang didasarkan pada kompetensi kognitif.
Tahap pelaksanaan diawali dengan kondisi kelas yang homogen menyebabkan perbedaan model pembelajaran antara kelas satu dengan kelas lainnya. Seperti yang terlihat pada kelas A, dimana mayoritas mahasiswanya memiliki kompetensi literasi al-Quran diatas rata-rata.
Mereka lebih nyaman jika menggunakan model pembelajaran pemrosesan informasi Robert Gagne, sebaliknya bagi mahasiswa kelas D, dimana mayoritas mahasiswanya memiliki kompetensi literasi al-Quran dibawah rata-rata, akan lebih nyaman jika menggunakan model pembelajaran tingkah laku, yakni model pembelajaran langsung Siegfried Engelmann.
Kedua model pembelajaran ini menempatkan peran tutor sebagai “model konseptual” bagi seluruh mahasiswa, baik dari aspek kognitif maupun afektif. Albert Bandura dalam teori kognitif sosial menyebutkan bahwa tutor bisa berperan sebagai live model, symbolic model dan verbal description model. Ketiganya akan nampak pada proses pembelajaran (vicarious learning).
Kondisi ini berbanding lurus dengan komponen-komponen yang ada dalam model pembelajaran, dimana pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran. Bagi mahasiswa kelas A, mereka akan nyaman dengan student centered approach dimana prinsip andragogi lebih ditonjolkan. Sebaliknya, bagi mahasiswa kelas D, mereka akan nyaman dengan teacher centered approach yang identik dengan prinsip paedagogi. Perbedaan juga muncul dalam pelaksanaan strategi pembelajaran, yakni kreativitas tutor dalam mengelola kelas yang akan memunculkan respon penguatan (bagi mahasiswa yang memiliki mindset positif) dan respon penolakan (bagi mahasiswa yang memiliki mindset negatif).
Hal senada terjadi pada pelaksanaan strategi pembelajaran yang digunakan. Kombinasi antara strategi pembelajaran baca simak yang diminati oleh mahasiswa kelas A dan strategi pembelajaran sorogan yang diminati oleh mahasiswa kelas D mampu mencerminkan tahap-tahap dalam teori kognitif sosial Albert Bandura yakni tahap perhatian, tahap penyimpanan dalam ingatan dan tahap reproduksi. Ketiga tahapan ini nampak pada implementasi metode pembelajaran, yakni kombinasi antara metode tilawati dan metode yanbua. Inti dari kedua metode ini adalah perlakuan tutor dalam mengelola kelas satu dengan lainnya disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan mahasiswa.
Penegasan muncul dalam teknik pembelajaran yang bertujuan agar mahasiswa mampu membaca al-Quran baik dan benar. Hal ini membutuhkan pembiasaan yang tinggi hingga teknik pembelajaran tersebut mampu menyatu dalam diri mahasiswa, seperti yang tercermin dalam teori humanistik Abraham Maslow.
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, terdiri dari dua macam, yakni tahap tah}sin al-Quran dan tahap tash}ih al-Quran. Tahap tah}sin al-Quran dilakukan oleh tutor kelas dan berfungsi untuk memperbaiki bacaan-bacaan mahasiswa sedangkan tashih al-Quran dilakukan oleh mushohhih IAIN Kediri dan berfungsi untuk menjamin kualitas bacaan mahasiswa. Beberapa aspek dalam evaluasi adalah qira’ah, muhafadhah dan kitabah.
Tahapan-tahapan tersebut lalu terangkum mendai mondel MANTEP yang terdiri dari Model konseptual, Amati, meNirukan, Tashiih}, Evaluasi dan memBiasakan. Ketika model MANTEB ini diimplementasikan maka akan menimbulkan peningkatan literasi mahasiswa dalam tiga aspek, yakni kognitif (berupa peningkatan pemahaman bacaan al-Quran mahasiswa), afektif (berupa perubahan sikap dan tingkah laku mahasiswa terhadap tutor literasi al-Quran), dan psikomotorik (berupa peningkatan ketrampilan membaca dan menghafal al-Quran mahasiswa). (*)