Memiliki sebuah pemahaman tentang sejarah dapat membuat orang-orang menghargai warisan keagamaan yang mereka peluk dengan lebih baik. Dalam kaitannya dengan Islam dan asal-muasalnya, lalu bagaimana seseorang dapat melihat sejarah mampu untuk mempengaruhi mereka dalam menggunakan dan mempraktikkan ritual-ritual keagamaan di lingkungannya. Bagaimana kita memahami sejarah atau masa lampau akan mempengaruhi baik apa yang kita lakukan sekarang maupun di masa yang akan datang?
Melihat pemahaman terkait sejarah Islam dan asal muasalnya, Robert Pope, salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang, mengambil penelitian dengan berfokus dalam pendekatan moderen dalam pendidikan Islam. Penelitian yang berfokus pada seperti apa perkembangan sejarah dan pendidikan Islam di kalangan pendidikan tingkat perguruan tinggi serta bagaimana model pendekatan yang dilakukan.
Ketika agama Islam datang ke Indonesia berabad-abad yang lalu, sejarahnya telah menjadi “sebuah kepercayaan yang telah baku dan tidak dapat berubah”. Pemahaman akan sejarah agama Islam tersebut, yang disusun pada Dinasti Abbasid di Baghdad, telah menjadi standar pemahaman sejarah bagi seluruh generasi di Indonesia. Meski demikian, selama lebih dari 30 sampai 40 tahun belakangan, pembelajaran-pembelajaran tentang Islam yang lebih modern telah berkembang pesat, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda dari pendekatan tradisional dalam pendidikan Islam.
Pembelajaran-pembelajaran tersebut memusatkan perhatiannya pada konteks dan juga sumber-sumber yang dekat waktunya pada masa hidup Muhammad, termasuk Dinasti Umayyad sebelum Baghdad. Dengan beberapa sumber yang sering justru ditemukan dalam bahasa-bahasa kuno selain bahasa Arab dikarenakan tidak adanya literatur terkait sejarah Arab sebelum Qur’an.
Dengan perkembangan ini, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi lebih lanjut telah memiliki akses terhadap pendidikan Islam yang melampaui Timur Tengah. Seperti lulusan dari IAIN yang kembali dari McGill University dan juga universitas-universitas lain telah menyebarkan pendekatan modern untuk pembelajaran-pembelajaran Islam ke seluruh tanah air. Merema juga mengenalkan standar akademis ketika berinteraksi dengan berbagai topik yang berhubungan dengan pendidikan Islam.
Dalam masa awal jabatannya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (1971-1978), Mukti Ali mengirim lebih dari 50 dosen Muslim muda dari institusi-institusi Islam di Indonesia untuk belajar di luar negeri. Pendekatan ini dulu digunakan untuk memodernisasi jaringan pendidikan IAIN di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, hal-hal semacam ini telah menjadi indikasi bahwa Indonesia memiliki tingkat keterbukaan untuk berinteraksi dengan sebuah pendekatan modern terhadap pembelajaran-pembelajaran Islam, dan secara potensial, Indonesia memiliki pengaruh penting dalam cakupannya secara global.
Dalam presentasinya terkait "Pendidikan dan Literasi di Dunia Muslim: Jalan Menuju Masa Depan", mantan Rektor UIN Jakarta menjelaskan: “Cukup disayangkan bahwa dalam proses pengajaran dalam pendidikan Islam pada umumnya, pembelajaran dengan cara hafalan cenderung mendominasi. Dengan demikian, pikiran menjadi pasif dengan hanya menerima informasi saja daripada kreatif dengan memiliki rasa keingin-tahuan akan semua pengetahuan yang diterima dilihat sebagai sesuatu yang baku dan semua kitab ataupun buku-buku cenderung hanya dihafalkan.
Dengan alasan inilah, maka penting untuk mengenalkan metode-metode pengajaran yang baru di semua tingkatan pendidikan Islam. Ada banyak mata pelajaran yang membutuhkan pemikiran kritis. Dengan berpikir kritis, tidak akan mengurangi nilai sebuah kepercayaan, namun justru akan lebih memahaminya secara jelas.
Pembelajaran-Pembelajaran Islam di Dalam Kelas
Bangsa Indonesia telah menggolongkan agama-agama, di mana setiap warganya harus menganut salah satu dari agama tersebut yang diakui oleh negara. Sebagai dampak dari penggolongan agama ini, pendidikan agama juga terbagi-bagi, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke pendidikan menengah atas di sekolah. Di dalam kelas, murid terkotak-kotak sesuai dengan agama yang dianut oleh orang tua mereka. Dengan dilakukannya hal seperti ini, siswa-siswa yang merupakan penganut kepercayaan lain tersudutkan meski secara halus dan hal ini juga sebagai dampak dari anggapan bahwa kepercayaan-kepercayaan lain tersebut tidak sesuai dengan “jalan kebenaran”.
Ketegangan seringkali terjadi diantara siswa yang mempertahankan tradisi keagamaan dan kitab suci mereka yang dipandang sebagai kebenaran yang hakiki. Dalam beberapa hal, kejadian semacam ini bisa dipahami dikarenakan siswa-siswa tersebut telah diajarkan sejak dini bahwa agama yang dianut oleh orang tua merekalah satu-satunya agama yang benar. Tujuan dari pendidikan agama di Indonesia sebenarnya diharapkan untuk mencegah dan mengubah kejadian-kejadian semacam ini. Pendidikan-pendidikan agama sudah tidak lagi mengajarkan hanya tentang agama, namun juga tentang bagaimana cara berinteraksi, bergaul, dan menghargai tradisi-tradisi agama lainnya. Hal ini juga dikarenakan posisi kita sebagai bagian dari masyarakat global, dimana bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan saling terhubung satu dengan yang lainnya. Dialog yang terjadi dalam ruang kelas harus menjadi tempat dan sarana yang mampu membentuk anak-anak muda ini untuk masa depan mereka.
Sasaran dari Kurikulum PAI 2013 adalah untuk menyiapkan generasi muda dalam memiliki keterampilan hidup baik sebagai individu maupun sebagai warga bangsa, lalu menumbuhkan generasi yang produktif, kreatif, dan inovatif. Model pembelajaran yang mengedepankan pengamatan, pertanyaan, percobaan, dan analisa. “Daripada pendekatan yang hanya menekankan tentang hafalan dan bacaan-bacaan dari buku, pendekatan baru inilah yang membuat para siswa mulai memahami dinamika pola pikir kritis,” ujar Robert
Pola berpikir kritis inilah yang membuat para siswa, bahkan siswa-siswa yang masih duduk di tingkat pendidikan dasar, untuk berpikir secara kritis dalam berbagai hal. Kemampuan ataupun keterampilan tersebut dapat juga meliputi tentang menanyakan sesuatu dan juga mengemukakan pendapat atau pemikiran yang berbeda dari yang biasanya anak-anak secara tradisional hanya diajarkan untuk melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja. Universitas-universitas seperti UIN Yogyakarta telah mengirim ribuan alumni mereka ke seluruh penjuru tanah air. Harapannya mereka bisa menyebarluaskan sebuah pendekatan baru terhadap pendidikan-pendidikan Islam yang akan mewujudkan terciptanya masyarakat dunia.
Banyak para tenaga pendidik menjelaskan bahwa mereka harus menghadapi lingkungan ataupun situasi yang menantang dalam pendidikan, termasuk terpapar oleh pelecehan, isolasi, dan intimidasi yang disebabkan oleh pola pikir negatif yang berawal dari pandangan-pandangan konservatif. Terkadang, para tenaga pendidik tersebut berinteraksi dengan para mahasiswa yang sudah mulai terpapar oleh radikalisme meskipun sebenarnya para mahasiswa tersebut belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan mereka terpapar radikalisme justru dari pihak-pihak lain. Yang menjadi tantangan bagi para alumni dalam situasi dan lingkungan semacam ini baik dalam pendidikan tinggi maupun tingkat universitas adalah para siswa ataupun mahasiswa tersebut mengidolakan guru-guru agama mereka yang masih berpaham konservatif.
Di dalam dunia yang global dan saling terkait ini, generasi muda perlu untuk mengembangkan keterampilan ataupun kemampuan untuk berinteraksi dengan kebudayaan yang majemuk di sekitar mereka. Dengan informasi yang sangat mudah mereka dapatkan, mereka harus mampu bergaul dengan dibekali pola pikir kritis. Untuk mewujudkan hal tersebut, para tenaga pendidik harus mengalami dan mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mampu menjadikan ruang kelas sebagai penghasil masyarakat global di masa depan. (*)