Pengelolaan Lingkungan Alam Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Adat Suku Boti

Jum'at, 29 Juli 2022 03:51 WIB

Masyarakat adat (Indigenous peoples) mengambarkan kelompok masyarakat yang mempunyai peran signifikan atas pengelolaan keanekaragaman hayati, pelestarian tanah, laut, air dan keberlanjutan sumber daya alam (SDA). Walaupun jumlah masyarakat adat hanya sekitar 5 % dari populasi dunia, namun mereka terbukti mampu menjaga 80 % keanekaragaman hayati yang ada di bumi.

Beberapa suku seperti Māori cenderung lebih menghargai lingkungan alam daripada penduduk non-Pribumi di Selandia Baru. Suku Tonga, Zambia yang melestarikan lingkungan dengan penggunaan totem, tabu, pembagian lahan melalui pertanian organik, pembajakan, rotasi tanaman, menjaga daerah aliran sungai  dan menghindari ladang tanaman terlalu dekat dengan sumber air. Masyarakat adat di Indonesia memiliki cara-cara tersendiri dalam mempertahankan eksistensi pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Sampai saat ini, masyarakat adat terbukti mampu menjaga lingkungan alam. Mereka telah berhasil menjaga keharmonisan antara manusia dan lingkungan alam.

Penulis melihat bahwa ada celah untuk dirinya masuk meneliti bagaimana orang-orang suku adat di Indonesia dalam oengelolaan lingkungan berbasis teori konstuksi sosial. Hal ini lah yang menyebabkan penulis menjadikannya sebagai sebuah penelitian dengan judul “Konstruksi Sosial Pengelolaan Lingkungan Alam Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Adat Suku Boti” yang berfokus pada fenomenologi yang ada di Desa Boti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Suku Boti merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang masih mempertahankan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan alam. Mereka mampu hidup selaras dengan alam dengan mempertahankan nilai-nilai yang diajarkan leluhur secara turun-temurun.

Masyarakat adat Suku Boti masih memegang teguh warisan budaya leluhur baik berupa fisik, perilaku, maupun ide. Masyarakat adat Suku Boti secara sadar berperilaku resisten terhadap perubahan globalisasi. Sebagian besar unsur budaya asing yang masuk dapat difilter, serta mereka masih mempertahankan sistem kepercayaan, tradisi, dan mitologi.

Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal

Zulkhaedir memaparkan bahwa masyarakat Boti memaknai alam sebagai sumber kehidupan. Oleh kerena itu, mereka menjalankan aktivitas pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal sebagai upaya penghormatan terhadap alam, yang dikenal dengan sebutan “Talas”. Adapun kebiasaan seperti Nasi fain Metan yaitu kebiasaan untuk tidak melakukan perusakan pada hutan larangan, Kae yaitu menjaga beberapa jenis tumbuhan agar dapat hidup sesuai siklus kehidupan alami tanpa banyak campur tangan manusia secara berlebihan, lalu ada kebiasaan Tpnat Oematan dimana menjaga mata air dan kebiasaan Tjen Hau, yaitu menanan pohon lebih banyak dari jumlah pohon yang telah digunakan.

Paparan selanjutnya bahwa model konstrusi sosial pengelolaan lingkungan menitikberatkan pada beberapa hal utama dalam 3 tahap proses dialektika yang berjalan secara simultan, pertama masyarakat merupakan ciptaan manusia (society is a human product), dimana berbagai produk aktivitas fisik dan mental yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Suku Boti  merupakan hasil konstruksi sosial para nenek moyang/leluhur yang telah terjadi dalam waktu lama. Kedua, masyarakat merupakan kenyataan objektif (man is an objective reality), dimana berbagai produk aktivitas subjektif dalam pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal yang telah dilaksanakan dalam waktu sangat lama, kemudian akan sangat kuat dan melembaga.

Pada akhirnya aktivitas subjektif yang telah menjadi pengalaman intersubjektif Masyarakat Adat Suku Boti akan mengalami proses reifikasi, sehingga segala aktivitas yang pada awalnya meruapkan aktivitas subjektif, kemudian berubah dalam sebuah proses reifikasi, dimana aktivitas tersebut seolah menjadi sesuatu yang berada diluar penciptanya dan secara objektif dapat mengatur kembali kehidupan mereka.

Ketiga masyarakat merupakan produk sosial (man is a social product), dimana aktivitas pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Suku Boti merupakan hasil sosialisasi dari para orang berpengaruh, sehingga manusia merupakan produk dari sebuah konstruksi sosial yang terjadi.

Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh Masyarakat adat suku Boti  merupakan aktivitas yang telah dilakukan secara berulang-ulang (continuously) melalui penegasan oleh kelompok masyarakat dan lingkungan sekitar mereka sehingga pada akhirnya telah menjadi suatu kebiasaan (habitus process), yang kemudian telah menjadi suatu kelembagaan, serta berlangsung secara terus-menerus hingga terbentuk proses reifikasi, dimana pemahaman segala aktivitas-aktivitas dalam mengelola lingkungan berbasis kearifan lokal seolah-olah bukan lagi merupakan produk masyarakat, menjadi faktisitas yang asing dan berada di luar kendalinya.

Dalam konteks kehidupan Masyarakat adat suku Boti, sejak kecil mereka telah diperkenalkan bagaimana praktek pengelolaan lingkungan yang dilandaskan pada kearifan lokal yang dilakukan oleh keluarga, orang tua dan kerabat terdekat, sehingga pengaruh para significant others tersebut melekat dalam diri mereka, dan menjadi stream of experiences (aliran pengalaman), dimana Masyarakat adat suku Boti mengalami berbagai pengalaman dari kehidupan sehari-hari.

Pengalaman tersebut nantinya akan terkumpul menjadi pengetahuan, yang kemudian pengetahuan tersebut digunakan oleh mereka untuk menjadi referensi dalam menjalankan tindakan sehari-hari. Sedangkan, sosialisasi sekunder dalam pandangan teori konstruksi sosial menjelaskan tentang bagaimana sosialisasi yang dilakukan terhadap individu dapat dilakukan melalui organisasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Dalam konteks Masyarakat adat suku Boti, sosialisasi sekunder tentang pengelolaan lingkungan dilakukan oleh lembaga adat terhadap individu. Sosialisasinya diajarkan lewat praktek pengelolaan lingkugnan berlandaskan pada kearifan lokal disetiap aktivitas seperti ritual, kebiasaan hukum adat, dan sosialisasi para orang berpengaruh melalui kalender 9 hari dalam kepercayaan Halaiaka. Aktivitas ini secara turun temurun diajarkan ke individu-individu mereka.

Shared: