Teliti Negotiated Order dalam Politik Anggaran, Kaspinor Maju untuk Meraih Gelar Doktor

Rabu, 08 September 2021 23:42 WIB

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Sejalan dengan tujuan bernegara dan juga konsisten dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dilansir dari situs resmi Kementrian Keuangan, APBD harus dibuat menyesuaikan rakyat. Artinya manfaat pengelolaan keuangan daerah harus dirasakan oleh masyarakat sebesar-besarnya. Dan tentu semaksimal mungkin.

APBD merupakan hasil kebijakan Pemerintah Daerah yang berjalan dari rangkaian proses panjang. Pembahasannya melibatkan lembaga eksekutif dan legislatif. Ini menyebabkan terbukanya berbagai kesempatan dan peluang untuk melakukan negosiasi bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu.

Melihat faktor terbukanya negosiasi terkait kepentingan tertentu terkait APBD, Kaspinor yang merupakan salah satu mahasiswa program studi Doktor Sosiologi UMM, mengangkat permasalahan tersebut untuk ditinjau lebih rinci dalam sebuah penelitian disertasi. Ia mengambil tajuk ‘Negotiated Order Dalam Politik Anggaran’.

Penelitian yang akan  bertujuan untuk memahami,  mengetahui  dan  mendeskripsikan proses pengambil kebijakan anggaran serta bentuk dari kepentingan aktor pengambil kebijakan anggaran di Provinsi Kubumaya. Secara garis besar, Kaspinor menjelaskan bahwa Grand Theory, yaitu Negotiated Order yang dikembangkan oleh Anselm Strauss dan rekan-rekannya pada 1960-an dan 1970-an. Asumsi utama teori Negotiated Order adalah bahwa 'Organisasi bersatu bukan karena struktur perannya, tetapi karena anggotanya secara sadar atau tidak sadar membangun dan merekonstruksi tatanan, terus menegosiasikan pengaturan formal dan informal di antara mereka sendiri.

Kemudian menggunakan paradigma definisi sosial dan melalui pendekatan kualitatif dengan lokasi di Provinsi Kubumaya, kota Madya Raya (Nama Samaran). Subjek penelitian dipilih dari unsur Eksekutif yakni TAPD dan unsur Legislatif yakni Banggar DPRD Pemerintah Provinsi Kubumaya sebanyak lima orang.

“Penggalian data dalam penelitian kualitatif akan berfokus pada hasil observasi. Dalam hal ini, saya mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan kebijakan anggaran di Provinsi Kubumaya dengan mengikuti proses tersebut dari awal penyusunan, pembahasan, penetapan dan pelaksanan APBD. Setelah itu, pengumpulan data dan pengujian keabsahan data juga dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, serta analisis dokumen terkait APBD,” ujar mahasiswa yang juga pejabat pemerintah tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 207 Ayat 1, ‘Hubungan kerja antara DPRD dan Kepala Daerah didasarkan atas kemitraan yang sejajar’ yang mana berarti kebijakan APBD dibuat berdasarkan persetujuan dua pihak. Yaitu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebagai perpanjangan tangan dari Eksekutif dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai perpanjangan tangan dari Legislatif.

Kedua pihak ini sebagaimana tertulis dalam regulasi, melaksanakan berbagai Pertemuan Formal diantaranya Rapat TAPD, Rapat Gabungan dan Rapat Banggar, yang seharunya menjadi ajang dibuatnya kesepakatan bersama. Namun demikian, hasil dari observasi yang dilakukan Kaspinor dalam beberapa kali pertemuan formal dimana peneliti terlibat secara langsung, terdapat berbagai upaya yang bertujuan untuk ‘menunda’ keputusan.

Hal ini harus dilaksanakan Pertemuan Informal, yang bukan merupakan bagian dari regulasi, namun dengan sengaja dikawal para aktor pengambil kebijakan anggaran, untuk menciptakan sebuah keputusan yang dapat mempengaruhi keputusan akhir APBD. Itu lazim disebut ‘Rapat Setengah Kamar’.

Rapat atau pertemuan ini memang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau bukan merupakan bagian formal dari proses perencanaan anggaran daerah (seperti, Rapat TAPD, Rapat Banggar dan Rapat Gabungan). Namun demikian, pertemuan ini dengan sengaja dikawal dan dilaksanakan para aktor yang merupakan bagian dari TAPD dan Banggar DPRD, secara terus-menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan dan kelaziman dan menciptakan sebuah tatanan sosial. Uniknya, meskipun hanya sebuah pertemuan informal, hasil dari Rapat Setengah Kamar dapat mempengaruhi hasil akhir keputusan kebijakan Anggaran suatu daerah. Hal ini menyangkut terakomodirnya Pagu Indikatif Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Pokok Pikir (Pokir) DPRD.

Legal standing tentang pokir memang ada, maka dari itu setiap anggota dewan terus memperjuangkan supaya program/kegiatannya bisa dialokasikan. Tidak heran jika setiap rapat akan berjalan sangat alot dan dinamis sampai tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak (TAPD & Banggar DPRD).

Pada kesempatan lain, Kaspinor melakukan wawancara dengan salah satu anggota TAPD dengan harapan mendapat sedikit gambaran tentang pandangan pihak Eksekutif terhadap eksistensi sebuah pokir. Data yang diperoleh dari hasil wawancara menunjukkan bahwa, praktik Negotiated Order terkait Pokir juga terjadi antara pihak Legislatif dan Eksekutif. Ini berupa perminataan pembagian dana hibah bagi dapil tempat anggota DPRD terpilih yang diyakini untuk merealisasikan pokir.

Praktik Negotiated Order

Praktik Negotiated Order yang terjadi dalam negosiasi pagu anggaran dapat dilihat dari penyaluran Pokir dewan yang tidak hanya dibahas dalam forum formal. Potensi dari legimitasi dari DPRD akan cenderung lebih dominan dalam menciptakan narasi untuk melakukan negosiasi  anggaran.

Dengan terakomodirnya program/kegiatan yang telah disetuju oleh pihak TAPD, besaran anggaran yang telah ditentukan merupakan hasil pertukaran kepentingan. Jika mengacu pada pernyataan informan, maka pertukaran kepentingan tersebut adalah dalam bentuk menaikkan volume anggaran dalam pengadaan program hibah/bantuan sosial kepada kelompok masyarakat tertentu.

Kaspinor menuliskan dalam disertasinya adapun pihak lain yang juga terlibat dalam proses politik anggaran adalah seorang ‘Mediator’ yang bertugas me-mediasi, kepentingan TAPD dan DPRD agar dapat mencapai keputusan bersama. Mediator biasanya merupakan pihak yang pernah terlibat secara langsung pada proses politik anggaran dan mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan anggota TAPD atau anggota Banggar DPRD, yang bertugas pada proses politik anggaran dalam kurun waktu tersebut. Dalam penelitiannya ini Kaspinor mampu membuktikan, bahwa Negotiated Order dalam politik anggaran nyatanya juga terjadi di Provinsi Kubumaya, tempat peneliti melakukan penelitian. Yang mana memperbesar kemungkinkan bahwa, praktik serupa dapat pula terjadi di daerah lainnya. Tidak hanya di Republik Indonesia, namun juga di belahan dunia lainnya.

Proposisi Penelitian

Kaspinor mendapati beberapa proposisi dari penelitian ini  dimana jika proses pengambilan kebijakan terkait politik anggaran terdapat pertemuan informal (Rapat Terbatas) di luar berbagai pertemuan formal, maka  keputusannya berpengaruh besar pada hasil akhir APBD.

Selanjutnya jika Rapat Terbatas merupakan hal yang lazim dilakukan antara Lembaga Eksekutif  (TAPD) dan Lembaga Legislatif (Banggar DPRD) terkait pembahasan politik anggaran, maka sebuah sistem, kegiatan ini akhirnya menciptakan suatu tatanan dan kebiasaan yang membentuk konsep Negotiated Order dalam proses politik anggaran.

Proposisi lainnya adalah jika dalam proses politik anggaran, TAPD dan Banggar DPRD mempunyai kepentingan dan bersimbiosis mutualisme dengan saling memberikan keuntungan, maka akan mewujudkan  berbagai rancangan Usulan/ Program/ Proyek/ Pokir.

Beberapa saran yang Kaspinor berikan sebagai peneliti dan juga salah satu Pejabat Pemerintah  adalah Pemerintah khususnya yang bertanggung jawab terhadap pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) diharapkan dapat Membina SDM yang berintegritas, menguasai peraturan perundang-undangan, mumpuni menyaring, mengolah dan menyampaikan data kepada publik serta berbagai pihak yang membutuhkan informasi.  

Kedua, pemerintah daerah diharap mampu Memaksimalkan fungsi Banggar, TAPD dalam merancang, menyetujui, menetapkan APBD yang Pro Job, Pro Poor dan Pro Growth untuk menghasilkan APBD yang lebih transparan, akuntabel serta berkualitas dalam pencapaian VISI dan MISI daerah. Terakhir, perlunya menjalin kerjasama dengan media lokal dan nasional dalam rangka sosialisasi APBD secara transparan demi terwujudnya transparansi akuntabilitas dan responsibilitas publik dalam proses penyempurnaan penganggaran. (*)

Sumber: www.timesindonesia.co.id

Shared: