Tinjauan Sosiologis PAI sebagai Praktik Pendisiplinan

Senin, 13 Desember 2021 23:57 WIB

 

 

Sekolah merupakan lembaga pendidiakan formal yang secara sistematis merencanakan pembinaan, pengajaran dan pelatihan kepada siswa. Tujuannya agar dapat berkembang sesuai dengan potensinya. Sekolah juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan keberagamaan siswa. Dalam upaya meningkatkan mutu dan SDM di dunia pendidikan, masing-masing lembaga pendidikan berupaya memajukan pendidikan di daerahnya sehingga muncullah model-model sekolah yang memiliki ciri khas masing-masing.
Sekolah Nasional Bertaraf Internasional, Sekolah Plus, Sekolah Terpadu, dan Sekolah Unggulan merupakan beberapa sekolah yang memiliki ciri khas. Mereka menawarkan program-program yang pada dasarnya ingin mengembangkan dan memajukan pendidikan daerahnya. Salah satu sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah daerah sebagai salah satu sekolah unggulan/ plus salah satunya adalah SMA Plus Negeri 17 Palembang. Sekolah tersebut mewajibkan siswanya kelas X untuk tinggal di asrama selama satu tahun penuh. Asrama tersebut untuk membentuk pribadi siswa yang unggul berkomitmen serta disiplin tinggi sebagai representasi dari sekolah unggulan.
Berdasarkan pada surat Gubernur Sumatera Selatan Nomor 224/SK/VIII/2000 adalah salah satu sekolah unggulan di Palembang. Selain itu, peraturan-peraturan seperti UU Nasional Nomor 23 Tahun 1999, Surat Kakanwil Depdiknas Provinsi Sumatera Selatan Nomor 129/111/KP/2000 juga menjadi dasar penyelenggaraan sekolah unggul. Hadirnya asrama karena adanya discouse bahwa SMA umum kurang maksimal dalam mengintegrasikan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Oleh karenanya, asrama dibangun demi meningkatkan ketiga aspek, sekaligus pembentukan karakter.
Hasil observasi awal, Dwi Noviani melihat bahwa hadirnya asrama justru tidak sepenuhnya mewujudkan sinkronisasi antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini karena pendisiplinan yang terjadi tidak membuahkan kepatuhan tetapi justu penyiasatan terhadap aktifitas afeksi yang dianggap tidak terlalu berdampak pada pembentukan realitas yang dihadapi setelah siswa lulus dari asrama. Implikasinya, para siswa berstrategi terhadap kegiatan keberagamaan baik alasan sakit, mensturasi, terlambat, bolos dan lainnya. Berdasarkan hasil observasi tersebut, Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang tersebut mengangkat fenomena tersebut menjadi sebuah penelitian disertasi dengan tajuk ”Pendidikan Agama Islam Sebagai Praktik Pendisiplinan (Suatu Tinjauan Sosiologis)”.  Melalui penelitian ini, Dwi berusaha mendeskripsikan pendisiplinan kegiatan keagamaan dan implikasinya di sekolah umum berasrama SMA Plus Negeri 17 Palembang.

Praktik Keberagamaan yang Terbebani
Dwi melihat bahwa pendisiplinan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di sekolah umum berasrama SMA Plus Negeri 17 Palembang untuk melatih kedisiplinan terhadap siswa, juga menanamkan nilai-nilai religius. Siswa yang tinggal di asrama kehidupan sehari-harinya dipengaruhi oleh habitus yang dibentuk oleh pihak sekolah yang telah terprogram dengan baik. Padatnya kegiatan asrama disusul dengan berbagai kegiatan sekolah untuk memenuhi peningkatan kognitif dan religius siswa dengan berbagai aturan yang membatasinya. Sehingga siswa melupakan sisi moralitas karena waktu dan tenaga telah habis untuk memenuhi tuntutan peningkatan kognitif secara terus menerus.
Pendisiplinan terhadap praktik keberagamaan di sekolah umum berasrama SMA Plus Negeri 17 Palembang melahirkan homogenitas yang dibentuk melalui jadwal. Keseragaman tersebut tidak terletak pada atribut seragam sekolah saja, tetapi juga terletak pada penyeragaman konsientisasi atau kesadaran siswa, bahwa harus tunduk pada alat pendisiplinan dan pengawasan, yang secara berangsur mengakibatkan hilangnya daya kritis beragama dalam praktik keseharian di sekolah dan asrama. Temuan dari penelitian peneliti tersebut merupakan praktik keberagamaan yang terbebani bukan aib atau bahkan kesalahan karena hasil praktik sosial yang dimobilisasi oleh modal. Sehingga, teori pada penelitian ini untuk kasus asrama di SMA Plus Negeri 17 Palembang berbeda dengan teori Bourdieu. Di mana praktik keberagamaan yang terbebani adalah hasil Modal x Habitus + Ranah = Praktik.
Dwi mengungkapkan bahwa hasil penelitiannya ini  membalikkan teori praktik sosial Bourdieu. Yakni, (habitus x modal) + ranah = praktik, serta menolak temuan Parama (2012), menyatakan pendidikan religiositas membentuk habitus siswa. 

Studi serupa juga dilakukan oleh Pawestri; Kholifah (2020), Rohmatin; Mudzakkir (2013). Berdasarkan penemuan terbaru ini, maka semua teori yang mengatakan praktik sosial/ tindakan dapat tercipta melalui hubungan yang intens antara habitus dan modal yang terjadi pada suatu tempat/ ranah tidak dapat dibenarkan. Selain berbeda dengan teori Bourdieu, temuan ini juga menolak pendapat Gaddis (2013), menyatakan pentingnya habitus dalam hubungan antara modal budaya dan prestasi akademik bagi kaum muda yang kurang beruntung. Pendapat ini didukung oleh beberapa sarjana, antara lain Krisdinanto (2014), Daroini; Handoyo (2015).
Pendapat-pendapat ini tidak berdasarkan pada studi lapangan, tetapi bersifat common sense dari observasi sekilas dari kecenderungan yang sedang terjadi. Praktik keberagamaan yang terbebani adalah hasil (Modal x Habitus) + Ranah = Praktik, yang di dapat dari modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik dalam ruang pendisiplinan dan pengawasan, sehingga praktik keberagamaan hanya kepatuhan dilingkup asrama. Dwi berharap hasil penelitiannya ini dapat menjadi rujukan bagi kepala asrama, pembina dan seluruh stakeholder sekolah agar program-program kegiatan keagamaan harus menyesuaikan kondisi fisik siswa, sehingga praktik keberagamaan sesuai dengan tujuan sekolah berdasarkan visi dan misi. (*)


 

Shared: