Harmoni Enam Wajah (Best Practice Pendidikan Multikultural di Madura)

Secara umum, Masyarakat Madura dikenal sebagai entitas yang taat beragama dan teguh dalam memegang tradisi Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki sikap toleransi dalam menjalani kehidupan beragama. Pondasi dasar keagamaan masyarakat Madura adalah kepatuhan kepada kiai, yang menyentuh aspek sosial dan politik dalam kehidupan mereka. Namun kesan demikian dalam beberapa tahun terakhir mulai terdekonstruksi dan esklasi konflik antar aliran keagamaan semakin marak. Fakta menujukkan bahwa peristiwa konflik kelompok syi’ah di Sampang,  konflik NU dan Muhammadiyah, konflik Antara NU,Muhammadiyah, dan FPI di Desa Bragung Kecamatan Gukuk-Guluk Kabupaten Sumenep.

Problem hubungan antar aliran keagamaan Islam tersebut membuat Moh. Dannur mahasiswa Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat tema pendidikan multikultural dalam aliran keagamaan Islam. Memperhatikan misi  amar ma’ruf nahi mungkar yang menjadi ideologi setiap kelompok tidak hanya melahirkan fenomena konversi anggota, akan tetapi juga berpotensi melahirkan konflik, Rasa empati sesama anggota kelompok dapat menjadi sentimen dan menjadi alat untuk mempertegas batas-batas perbedaan. Batas-batas ini melahirkan dua kemungkinan: pertama, apabila mengalami ketegangan maka akan berpotensi melahirkan konflik; kedua, batas-batas menjadi cair dan lentur, maka akan melahirkan intensitas interaksi, penerimaan, toleransi antar kelompok.

Lebih lanjut Moh. Dannur memandang bahwa kompleksitas persoalan hubungan antar aliran dalam Islam dapat diminimalsir dengan penguatan pemahaman, kompetensi komunikasi dalam membangun kepekaan terhadap keragaman antar budaya. Sikap ini dapat ditransformasikan melalui pendidikan antar-budaya, di samping itu pendidikan multikultural memberikan kesempatan kepada guru dan peserta didik untuk terlibat dalam penyelesaian konflik budaya, membangun empati, menguatkan solidaritas yang akan mengantarkan pada kesetaraan.

Pria kelahiran Madura ini melihat bahwa pendidikan non-formal menjadi alternatif penanaman nilai-nilai multikultural karena sifatnya yang luwes, mampu mengakomodir kebutuhan peserta didik, serta pembelajaran yang heterogen. beberapa interaksi yang dijalin sehari-hari antara masyarakat cukup efektif mengendalikan berbagai problematika sosial dan menjaga keharmonisan.

Beberapa permasalahan-permasalahan yang dibaca oleh Moh. Dannur mengantarkannya berfokus pada usaha menyingkap kontruksi pemahaman multikultural yang disosialisasikan melalui kegiatan keagamaan. Proses memberikan pemahaman ragam interpretasi teks-teks Agama, berkaitan dengan delektika yang terjadi di tengah masyarakat, sedangkan dalam konteks aplikatif ide ini juga akan berbenturan dengan tradisi keagamaan yang sudah ada. Titik tekan dalam kajian yang ia lakukan adalah pada bagaimana kontruksi pendidikan multikultural antar aliran keagamaan dalam membentuk harmoni sosial di tengah masyarakat yang beragam, bagaimana penanaman pemahaman multikulturalisme faham keagamaan di tengah msyarakat serta dampak terhadap terjadinya akulturasi tradisi keagamaan.

Dengan menggunakan teori Multikultural James Banks, kontruksi sosial Peter L Berger dan teori akulturasi Berry sebagai pisau anlsisanya, Danur mendapat tiga temuan penting bagi pengembangan khazanah keilmuwan Islam khususnya dalam konteks multkulturalisme aliran keagamaan yang kurang mendapat sorotan dari beberapa peneliti sebelumnya. Pertama, pendidikan multikultural faham keagamaan terdiri dari tiga dimensi penting, yakni rekategorisasi, desakralisasi aliran keagamaan, pemahaman ragam interpretasi fiqih Islam, menekankan pada substansi bukan pada aspek formal atau tata cara.

Rekategorisasi ini sebagaimana tujuan utama dari pendidikan multikultural seperti yang diungkapkan oleh Banks adalah untuk mengurangi rasa sakit dan diskriminasi yang dialami anggota beberapa kelompok etnis dan ras karena karakteristik ras, fisik, dan budaya mereka yang unik. Rekategorisasi pada akhirnya membuat prasangka dan sakit hati golongan yang selama ini mengalami diskriminasi mulai mencair seiring dengan berjalannya waktu.

Lebih Jauh, problem muncul dalam kontek aplikatif, perbedaan pandangan terhadap beberapa tradisi keagamaan tetap menjadi permasalahan di tengah masyarakat. Dalam pemaknaan berbeda dapat dipahami bahwa menghindari beberapa kategori hanya dapat dilakukan saat penyampaian materi saja. Masyarakat belum memahami sepenuhnya bahwa terdapat beragam penafsiran para ulama terhadap teks-teks agama.

Maka langkah selanjutnya adalah proses desakralisasi organisasi keagamaan, desakralisasi menempatkan aliran keagamaan sebagai bagian dari dinamika keberagamaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi. Menurut penuturan informan proses ini diawali dengan menempatkan ungkapan yang merepresentasikan organisasi keagamaan dalam perbincangan keseharian. Melalui perbincangan santai itulah proses desakralisasi organisasi keagamaan berlangsung dengan sendirinya. Selain itu, beberapa tokoh agama juga mulai mensosialisasikan bahwa organisasi keagamaan hanyalah kendaraan untuk mencapai ridha Allah.

Setelah terjadi rekategorisasi dan desakralisasi, pandangan umum dalam masyarakat berubah. Muncul kesadaran untuk memahami yang menyangkut ibadah dan tradisi yang dilaksanakan sehai-hari. Kondisi ini, memudahkan bagi para kyai, ustadz untuk menyampaikan materi khilafiyah yang selama ini dianggap tabu dikalangan masyarakat, tentu dengan porsi yang disesuaikan.

Temuan berikutnya terkait analisis proses dealektika faham multikulturalisme aliran keagamaan di tengah masyarakat. Dealektika ini berdinamika dalam tiga hal yakni ekternalsasi, objektifikasi dan internalisasi. Ekternalisasi/adaptasi merupakan momen dimana aliran keagamaan beradaptasi untuk memahami pentingnya kehidupan yang dilandasi dengan multikulturalisme faham keagamaan, adaptasi ini dilakukan dengan menelaah teks-teks al-Qur’an dan hadist yang menganjurkan untuk membangun ukhuwah islamiyyah serta fakta sejarah para ulama, bahwa perbedaan pandangan fiqih tidak serta merta melahirkan konflik.

Dalam konteks ini, ide multikulturalisme menghadapi proses objektifikasi. Aliran keagamaan dan institusi sosio-kultural, dikategorikan sebagai entitas yang berbeda, tetapi saling berhadapan, yang menghasilkan proses objektivikasi. Begitu juga dengan kehadiran ide dakwah baru yang menekankan persamaan dan kelompok keagamaan juga akan mengalami objektifikasi. Dalam proses objektifikasi, dimungkinkan terjadi pemaknaan baru dalam memahami ide dakwah yang menekankan pada multikulturalisme paham keagamaan. Pemaknaan berbeda ini dapat terlihat dari anggapan elit keagamaan yang menerima dan menolak ide dakwah yang diprakarsai oleh da’i muda dengan berbagai alasan yang dipengaruhi oleh sejarah perjalanan dakwah baik dalam lingkup desa maupun lingkup global. Dalam lingkup desa misalnya dapat kita lihat pada penolakan beberapa elit NU, sedangkan penolakan yang dilatar belakangi oleh isu dakwah global rata-rata disuarakan oleh anggota Muhammadiyah dan Persis. Sedangkan penolakan anggota salafi lebih dikarenakan konsep berfikir yang tekstual.  

Selanjutnya adalah proses internalisasi. Dalam proses internalisasi hal terpenting adalah sosialisasi yang dilakukan dengan dua jalur yakni, sosialisasi primer (keluarga) dan jalur sosialisasi sekunder (kelompok aliran keagamaan). Multikulturalisme paham keagamaan menjadi bagian dari proses adaptasi, interaksi dan identifikasi diri dengan dunia sosio-kultural. Dalam pemaknaan berbeda multikulturalisme paham keagamaan mengalami proses dialektika antara individu dan dunia sosio-kultural. Sebagai proses dialektika maka terjadi proses penarikan keluar dan ke dalam, “multikulturalisme faham keagamaan” merupakan entitas yang berada diluar, akan tetapi juga menjadi entitas yang berada dalam diri individu.

Temuan ketiga  adalah tradisi-tradisi keagamaan yang lahir dari proses akulturatif dan menghasilkan tradisi keagamaan baru dalam Islam yang unik, keunikan ini disebabkan proses akulurasi tradisi yang dipengaruhi kepercayaan Hindu, Budha, dan kepercayaan animisme dan Islam yang lahir di Timur Tengah, mendapat tantangan baru dengan hadirnya model keberagamaan yang tekstual atau puritan yang membawa slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.

Dialog tradisi keagamaan yang terjadi merupakan kelanjutan dari dialog budaya Jawa dan Islam yang melahirkan Islam sinkretis, menuju dialog Islam sinkretis dengan gerakan puritanisme agama. Pertemuan ini mengilhami perubahan beberapa tradisi keagamaan. secara aplikatif mutikulturalisme aliran keagamaan akan meniscayakan beberapa perubahan tradisi baik dari kalangan sikretis maupun kelompok puritan. Menelaah pertentangan antara sinkretis dan kelompok Puritan, apa yang terjadi di lokasi penelitian menjadi fenomena unik, karakter dakwah kelompok puritan seakan melebur dalam wajah Islam sinkretis, begitu juga sebaliknya, pola dakwah pribumisasi kelompok sinkretis seakan terseret dalam puritanisasi.

Shared: